Oleh :
Arief Azizy
Bergiat di Jaringan GusDURian Kediri dan Peneliti di Laboratorium for Psychology
Indigenous and Culture Studies di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Gagasan makan bergizi gratis menjadi salah satu janji politik yang paling menarik perhatian publik belakangan ini. Siapa yang bisa menolak ide tentang anak-anak sekolah yang mendapat makanan sehat tanpa harus membayar? Sepintas, program ini terdengar seperti solusi sederhana atas masalah gizi buruk dan ketimpangan sosial. Namun dibalik slogan yang membius itu, tersimpan persoalan besar yang tak boleh diabaikan: ilusi kesejahteraan yang rapuh.
Dalam banyak studi tentang kebijakan sosial, bantuan langsung seperti ini seringkali lebih bersifat simbolik ketimbang struktural. Amartya Sen, dalam bukunya Development as Freedom, mengingatkan bahwa upaya meningkatkan kesejahteraan tidak cukup dengan memberikan bantuan sesaat, melainkan harus membuka akses pada kebebasan ekonomi, pendidikan, dan partisipasi sosial secara berkelanjutan. Program makan gratis, jika tidak dibarengi dengan reformasi sistemik, hanya akan menjadi tambal sulam yang cepat pudar.
Mari kita lihat kenyataan di lapangan. Memberikan makanan bergizi secara cuma-cuma butuh biaya besar. Pemerintah harus mengalokasikan anggaran tambahan yang tidak sedikit untuk logistik, distribusi, pengawasan kualitas, dan manajemen harian. Jika tidak dikelola dengan baik, potensi kebocoran anggaran, korupsi kecil-kecilan, hingga kualitas makanan yang buruk bisa menghantui pelaksanaannya. Sejarah program bantuan sosial di Indonesia menunjukkan, tanpa pengawasan ketat, niat baik pun bisa berakhir ironi.
Lebih jauh, ketergantungan pada program semacam ini bisa menciptakan mentalitas konsumtif. Masyarakat menjadi penerima pasif, bukannya didorong untuk berdaya dan mandiri. Seperti diingatkan James C. Scott dalam Seeing Like a State, proyek-proyek sosial yang mengabaikan realitas sosial lokal dan hanya mengandalkan pendekatan dari atas (top-down) sering kali gagal mencapai tujuan sejatinya.
Tidak ada yang salah dengan memberikan akses pada gizi yang layak, apalagi untuk anak-anak, generasi masa depan bangsa. Tapi program ini seharusnya tidak berhenti pada pemberian makan gratis. Ia harus menjadi bagian dari agenda besar memperbaiki kualitas pendidikan, reformasi pelayanan kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi keluarga. Tanpa itu, makan bergizi gratis hanya menjadi kosmetik sosial yang menutupi ketimpangan struktural yang lebih dalam.
Fakta global juga menunjukkan, negara-negara yang berhasil memperbaiki gizi anak-anaknya melakukannya melalui pendekatan multi-sektor. Sebuah laporan UNICEF tahun 2021 menegaskan bahwa keberhasilan program gizi bergantung pada kombinasi intervensi: mulai dari sanitasi lingkungan, pendidikan orang tua, ketersediaan air bersih, hingga akses kesehatan yang terjangkau. Memberi makan saja, tanpa memperbaiki ekosistem pendukungnya, hanya akan menghasilkan perubahan jangka pendek.
Selain itu, kita harus waspada terhadap jebakan politik populis. Program makan gratis berpotensi dijadikan alat pencitraan jangka pendek ketimbang program pembenahan jangka panjang. Dalam The Populist Temptation, Barry Eichengreen menyebut bahwa populisme sering memanfaatkan program sosial instan untuk meraih dukungan, namun abai membangun fondasi ekonomi yang kokoh.
Risiko politisasi program ini nyata. Alih-alih fokus pada peningkatan kualitas gizi, orientasi pelaksanaannya bisa bergeser ke proyek politik penuh simbol. Distribusi makanan menjadi arena kampanye terselubung, kontrak pengadaan rawan menjadi ladang rente, dan masyarakat lagi-lagi hanya menjadi objek, bukan subjek perubahan.
Lebih kritis lagi, kita harus bertanya: apakah makan gratis benar-benar menyentuh akar masalah ketimpangan ekonomi di Indonesia? Data BPS menunjukkan, ketimpangan pendapatan tetap tinggi di berbagai wilayah, bahkan setelah berbagai program bantuan sosial digelontorkan. Tanpa perbaikan mendasar pada struktur ekonomi-seperti penciptaan lapangan kerja, reformasi agraria, hingga peningkatan akses pendidikan vokasi-maka program makan bergizi hanya mengobati gejala, bukan penyakitnya.
Kita perlu mengubah cara pandang. Program seperti makan gratis harus dipandang sebagai trigger atau pemicu untuk perubahan struktural yang lebih luas, bukan sebagai tujuan akhir. Artinya, di balik setiap makanan gratis yang dibagikan, harus ada upaya serius memperkuat kapasitas keluarga agar suatu saat mereka tidak lagi membutuhkan subsidi serupa.
Kenyang Hari Ini, Krisis Esok Hari
Lebih jauh, jebakan makan bergizi gratis bisa memperlemah etos kerja dan mental kemandirian jika tidak diimbangi dengan program pemberdayaan. Dalam Dead Aid, ekonom Dambisa Moyo mengingatkan bahwa bantuan yang salah kaprah justru berpotensi memperpanjang kemiskinan dengan menciptakan ketergantungan jangka panjang. Semangat untuk mandiri perlahan terkikis karena ada rasa nyaman dalam posisi sebagai penerima.
Hal ini seharusnya menjadi alarm bagi para pengambil kebijakan. Memberikan makan bergizi gratis memang baik untuk merespons krisis sesaat-seperti di tengah pandemi atau bencana alam. Namun untuk jangka panjang, langkah semacam ini mesti disertai strategi keluar (exit strategy): bagaimana keluarga yang semula dibantu bisa diberdayakan sehingga suatu saat tidak lagi bergantung pada negara.
Tanpa desain kebijakan jangka panjang, program ini bisa mendistorsi prioritas pembangunan. Anggaran yang semestinya digunakan untuk memperbaiki pendidikan, infrastruktur kesehatan, atau menciptakan lapangan kerja produktif malah tersedot untuk belanja konsumtif rutin. Ini memperlemah daya tahan ekonomi nasional dan mempersempit ruang fiskal untuk investasi jangka panjang.
Lebih berbahaya lagi, budaya subsidi konsumsi yang masih bisa membentuk generasi yang pasif terhadap perubahan. Anak-anak tumbuh dengan mental “menunggu bantuan” alih-alih terdorong untuk berkreasi dan berinovasi. Dalam Why Nations Fail karya Daron Acemoglu dan James Robinson, disebutkan bahwa bangsa-bangsa besar jatuh bukan karena kemiskinan sumber daya, melainkan karena kegagalan membangun institusi yang mendorong inisiatif rakyat.
Karena itu, alih-alih terjebak dalam ilusi kesejahteraan instan, bangsa ini harus berani merancang kebijakan gizi anak yang berkelanjutan: menguatkan ekonomi keluarga, memperbaiki pola asuh, memperbaiki layanan kesehatan dasar, serta meningkatkan literasi gizi masyarakat.
Optimisme harus dibangun bukan dari banyaknya makanan gratis yang dibagikan, melainkan dari semakin sedikitnya rakyat yang membutuhkannya. Membangun kesejahteraan itu soal jangka panjang, kesabaran, dan reformasi sistemik. Tidak ada solusi instan. Seperti dikatakan Thomas Piketty dalam Capital and Ideology, ketimpangan hanya bisa dikurangi melalui kombinasi kebijakan yang progresif dan investasi serius pada pendidikan dan kesehatan rakyat.
Jadi, publik perlu lebih kritis. Kita boleh mengapresiasi niat baik memberikan makan bergizi gratis. Namun kita juga harus menuntut agar program ini tidak menjadi candu populisme yang meninabobokan rakyat dalam ilusi kesejahteraan. Yang kita butuhkan bukan sekadar kenyang sesaat, tetapi perubahan struktural yang memungkinkan setiap orang berdiri di atas kakinya sendiri.
Karena sejatinya, kesejahteraan tidak dibangun dari apa yang diberikan negara sesaat, melainkan dari sistem yang membuat rakyat mampu bertahan, tumbuh, dan mandiri dalam jangka panjang.
–————- *** —————-


