Judul : Mata dan Rahasia Pulau Gapi
Penulis : Okky Madasari
Penerbit : Gramedia , 2018
Tebal Buku : 256 Hal
ISBN : 9786020619385
Katagori : Novel Anak
Peresensi : Uswah Sahal
Mahasiswa Pascasarjana Kajian Sastra dan Budaya Universita Airlangga
Selain novel “Mata di Tanah Melus” karya Okky Madasari yang pernah saya ulas beberapa bulan lalu, saya juga tertarik mengulas tetralogi Mata yang lain yakni “Mata dan Rahasia Pulau Gapi”. Bagi saya yang sedang berfokus meneliti sastra popular khususnya sastra anak, Mata dan Rahasia Pulau Gapi menjadi angin segar sebagai wujud hadirnya sastra anak progresif yang melampaui fungsi pedagogis konvensional. Mengapa demikian?
Di tengah kemajuan yang semakin modern, banyak penerbit anak menghindari cerita-cerita mitos karena dianggap tidak relevan dan tidak sesuai dengan pangsa pasar, sehingga cerita mitos-mitos lokal sering digantikan dengan tokoh fantasi yang generik dan aman secara pasar. Meski berbicara soal mitos, novel ini tidak dihadirkan layaknya cerita takhayul yang harus ditinggalkan demi rasionalitas modern, tapi dihadirkan sebagai ekspresi yang menyampaikan etika hidup bagaimana menghargai sejarah juga etika hidup yang harus selaras dengan lingkungan.
Mata dan Rahasia Pulau Gapi menceritakan Matara yang gagal masuk ke sekolah impian, bersama orangtuanya, Matara pindah ke Pulau Gapi di wilayah timur laut kepulauan Indonesia Ternate, Maluku Utara. Selama perjalanannya, Mata menemukan bahwa Pulau Gapi menyimpan jejak perlawanan terhadap kolonialisme, kisah-kisah makhluk halus dan mitos gunung, serta konflik antara warisan budaya lokal dan arus pembangunan modern. Mitos dalam novel ini hadir melalui kepercayaan masyarakat terhadap roh-roh gunung, cerita leluhur, dan kekuatan gaib yang menjaga pulau. Mitos tersebut diceritakan lewat sosok Pak Zul guru mengaji Matara.
Cerita yang paling disukai Matara adalah cerita Gunung Gamalama yang melindungi Pulau Gapi, juga tentang bencana besar yang terjadi di pulau ini ratusan tahun silam. Dimulai dengan kuda-kuda yang mengamuk selama berhari hari, ayam-ayam jantan yang berkokok sepanjang hari, ayam-ayam betina yang gelisah dan tak mau bertelur. Sapi-sapi melarikan diri dari kendang, lalu gerombolan monyet berkeliaran di jalanan hingga ular-ular besar yang masuk ke rumah. (Madasari, 2018: 26)
Sampai pada akhirnya datang banyak pendatang, orang-orang berkulit putih yang menganggap Pulau Gapi masih tertinggal sehingga harus dilakukan pembangunan mal dan hotel. Pembangunan menjadi jalan keluar untuk mengubah nasib jutaan orang. Jalan yang disampaikan kepada masyarakat agar orang-orang meyakininya. Pembangunan mal dan hotel itu akan dilakukan di atas benteng yang dianggap pusaka oleh masyarakat sekitar. Sultan petinggi Pulau Gapi tak menyadari bahwa kehadiran orang-orang itu ingin mencari untung sebanyak-banyaknya dan mencari rempah-rempah dengan harga semurah-murahnya. Baiknya, masyarakat Gapi masih percaya bahwa mengubah dan merusak tradisi akan membawa malapetaka. Banyak masyarakat percaya bahwa benteng itu adalah benteng suci. Siapa pun yang berniat menghancurkannya akan siap diserang oleh laba-laba, bahkan bisa berujung pada kematian.
Mitos sebagai Bahasa Alternatif untuk Menafsir Alam
Kita seringkali mendengar pengetahuan tradisional “Jika hutan rusak, tempat sakral rusak, roh-roh akan marah dan bencana pasti terjadi” Gambaran tersebut banyak sekali ditemukan di setiap bab novel ini. Saya mencoba mengambil contoh berikut:
“Matara menceritakan kembali kisah Pak Zul tentang jiwa manusia yang telah menjadi pelindung pulau ini sejak lima ratus tahun yang lalu. Mereka adalah orang-orang yang gugur dalam pertempuran atau dibunuh baik oleh kesultanan maupun oleh Portugis. hari ini. Benteng-benteng itu adalah rumah mereka… jiwa-jiwa itu akan membunuh siapa saja yang akan merusak bentengnya.” (Madasari, 2018: 194)
Kutipan ini menunjukkan mitos sebagai pelindung kultural dan ekologis. Jiwa-jiwa para pejuang yang gugur dianggap tidak lenyap, melainkan berubah menjadi entitas spiritual yang menjaga pulau dan benteng, sebagaimana dalam kajian ekofeminisme alam dan roh leluhur dianggap sebagai kekuatan hidup dan penjaga keseimbangan bukan objek eksploitasi. Dalam hal ini, kepercayaan masyarakat terhadap sejarah menjadi sebuah kepercayaan sakral, di mana para korban kekerasan kolonial dan politik tidak dihapus tapi diabadikan dalam bentuk roh pelindung. Akhirnya dalam konteks ini mitos mampu menciptakan bentuk perlindungan simbolik terhadap warisan budaya dari ancaman eksternal termasuk pembangunan modern yang merusak situs-situs bersejarah.
Hal menarik lain juga diceritakan oleh Okky lewat sosok Laba-laba penunggu benteng yang menyerang banyak pekerja karena merusak rumahnya. Banyak pekerja mati terkena racun laba-laba yang membuat masyarakat sekitar gempar. Banyak masyarakat Gapi menyimpulkan bahwa Laba-laba itu adalah jelmaan roh yang tidak mau tempat tinggalnya dihancurkan. Laba-laba tak mau orang merubah banyak hal dari benteng ini, bahkan sekalipun benteng ini sudah menjadi reruntuhan , biarkan tetap apa adanya menjadi sejarah dan kehendak alam.
Dari perspektif ini, pembangunan mal dan hotel yang mengakibatkan penghilangan situs sejarah yang disakralkan jadi punya dampak besar terhadap ekosistem di sekitarnya yang menimbulkan efek domino bagi terganggunya rutinitas semua makhluk yang tinggal di dalamnya. Pembangunan tanpa mengabaikan nilai-nilai sejarah, dan tempat sakral bukan tak mungkin kelak berujung pada perubahan keseluruhan budaya masyarakat tertentu.
Saras Dewi, seorang penulis dan penggerak ekofeminisme, mengajak kita melihat ulang hubungan manusia dan alam. Ia menyampaikan bahwa fenomena-fenomena yang sering kita anggap irasional seperti kejadian gaib atau kisah mistis sebenarnya bisa dipahami sebagai cara alam berbicara kepada kita. Bukan sekadar mitos, tapi isyarat ekologis: bahwa alam sedang terluka, cemas, atau memberi peringatan. Maka tidak mengherankan jika dalam budaya lokal, alam sering “bercerita” lewat suara-suara magis.
Sementara itu, Amitav Ghosh, dalam karyanya Nutmeg’s Curse: Parable for a Planet in Crisis, menggambarkan masa sebelum kolonialisme menjangkiti dunia. Di masa itu, manusia dan makhluk lain saling berinteraksi, membentuk kehidupan bersama dalam tatanan yang tidak hierarkis dan tidak eksploitatif. Namun, segalanya berubah ketika modernitas menggeser pandangan kita: alam diposisikan sebagai objek bisu, dan manusia dijadikan pusat segalanya (antroposentrisme) makhluk rasional yang merasa berhak menundukkan dunia.
Cara pandang inilah yang akhirnya melahirkan krisis ekologis global, karena saat kita berhenti mendengar alam, kita juga mulai kehilangan arah. Di masa depan, mungkin satu-satunya jalan keluar adalah memulihkan kembali hubungan spiritual dan etis dengan bumi bukan dengan teknologi semata, tapi dengan mendengar kembali suara yang pernah kita anggap mitos.
Karakter Perempuan dengan Subjek Pengetahuan yang Kuat
Tokoh “Mata” dalam novel ini tidak digambarkan sebagai “anak baik” yang penurut, layaknya cerita rakyat Bawang Putih atau Cinderella. Mata bukanlah anak perempuan pasif yang hanya mendengar dan mengikuti, melainkan subjek aktif dalam petualangannya. Ia mengajukan pertanyaan, mempertanyakan narasi dominan, dan terlibat langsung dalam proses penemuan makna. Dengan demikian, tentu novel ini juga memberi kontribusi terhadap upaya dekonstruksi peran gender dalam sastra anak, yang selama ini sering meminggirkan tokoh perempuan.Okky dengan sadar menciptakan pahlawan muda yang bisa menjadi representasi identitas anak perempuan yang bebas dan berpikir merdeka.
Semua disajikan dengan narasi yang kompleks baik secara tematik maupun emosional tanpa menggurui. Ia mengajak semua pembaca mulai dari anak hingga orang tua untuk menyelami tema besar seperti sejarah, penjajahan, identitas, dan spiritual, namun tetap dengan bahasa yang dapat diakses oleh anak-anak. Ini menjadikan Mata dan Rahasia Pulau Gapi sebagai representasi sastra anak progresif, yang menumbuhkan daya pikir kritis sejak dini.
Bagi saya, Mata dan Rahasia Pulau Gapi adalah lebih dari sekadar novel petualangan anak. Ia adalah jendela menuju pembacaan ulang atas sejarah, mitos, dan relasi manusia dengan alam. Okky Madasari, melalui gaya narasi yang sederhana namun sarat makna, membangun ruang di mana anak-anak diajak berpikir kritis, mencintai tanah air dengan cara yang reflektif, dan melihat bahwa masa lalu bukan beban, melainkan kekuatan untuk membentuk masa depan yang lebih adil. Sebuah bacaan dan pelajaran penting di tengah dunia yang semakin kehilangan makna dalam hubungan manusia dan alam.
–————— *** ——————–


