27 C
Sidoarjo
Monday, December 15, 2025
spot_img

Kejari Nganjuk Tahan Sekdis Kominfo Dugaan Korupsi Fiber Optik Senilai Rp6 Miliar

Kasipidsus Kejari Nganjuk, Yan Aswari memasangkan borgol di pergelangan tangan Sujono, sebelum dibawa ke Rutan Klas IIB Nganjuk, Rabu (8/10/2025)

Penyidik Tipikor Telusuri Keterlibatan Pihak Lain

Kejari Nganjuk, Bhirawa.
Kejaksaan Negeri (Kejari) Nganjuk menahan Sujono, Sekretaris Dinas Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Kabupaten Nganjuk sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi penyalahgunaan jabatan dalam proyek pengadaan jaringan intra fiber optik Tahun Anggaran 2024.

Sujono ditetapkan tersangka pada Rabu (8/10/2025) setelah penyidik menemukan bukti kuat terkait dugaan pemerasan yang dilakukan Sujono terhadap pihak penyedia proyek. Di hari yang sama, ASN yang pernah menjabat Plt Kepala Dinas Kominfo Nganjuk tersebut ditahan di Rutan Kelas IIB Nganjuk.

Kasus ini bermula dari laporan masyarakat yang masuk pada 13 Januari 2025. Tim penyidik kemudian melakukan penyelidikan sejak 8 Agustus 2025 hingga akhirnya menemukan indikasi kuat adanya praktik pemerasan.

Dalam penyidikan terungkap, pada tahun anggaran 2024 dengan pagu proyek senilai Rp6 miliar, Sujono yang saat itu menjabat Pejabat Penatausahaan Keuangan (PPKeu) kemudian naik menjadi Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), diduga memaksa penyedia proyek untuk menyetorkan uang sebesar Rp70 juta setiap bulan. Total uang yang diterima selama 12 bulan mencapai Rp840 juta.

“Penyedia terpaksa menyerahkan uang tersebut karena adanya tekanan dari tersangka. Jika menolak, pelaksanaan pekerjaan dan pencairan anggaran bisa dipersulit,” ungkap Kasi Pidsus Kejari Nganjuk, Yan Aswari, mewakili Kepala Kejari Nganjuk, Ika Mauluddhina.

Uang yang diterima tersangka, lanjut Yan, tidak pernah dilaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagaimana kewajiban pelaporan gratifikasi.

Sejauh ini, menurut Yan, uang tersebut diakui tersangka digunakan untuk keperluan pribadi sehari-hari.

Namun demikian, Yan menyebut tidak akan berhenti sampai di Sujono. Kejari Nganjuk masih akan menelusuri secara detail penggunaan uang haram tersebut, termasuk apakah ada pihak-pihak lain yang terlibat selain Sujono.

Berita Terkait :  Peringati Hari Ibu, DPC PB Serukan Perang Lawan Judol-Pinjol Ilegal

“Apakah nanti akan ditemukan fakta-fakta baru atau ada pihak-pihak (lain) yang terlibat, kita akan dalami. Sehingga tidak berhenti sampai di sini saja. Kita masih berproses,” ungkap Yan Aswari.

Tersangka Sujono dijerat Pasal 12 huruf e, Pasal 12B ayat (2), atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001.

Adapun pihak yang memberikan uang kepada Sujono dalam kasus ini adalah PT Laxo Global Akses Sidoarjo, selaku rekanan pemenang tender proyek pengadaan jaringan intra fiber optik Dinas Kominfo Nganjuk 2024.

Sementara itu, kuasa hukum tersangka, Anang Hartoyo, menyatakan pihaknya masih akan mempelajari dasar penetapan tersangka.

“Dasar penetapan (tersangka) ini tadi terkait mengenai gratifikasi. Untuk langkah hukum selanjutnya, kami masih akan berkomunikasi dengan keluarga klien,” ujarnya.

Kasus ini menambah daftar panjang dugaan praktik korupsi di lingkup pemerintahan daerah di Nganjuk, khususnya Dinas Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Kabupaten Nganjuk tampak gemerlap dari luar: pusat data berdengung, jaringan serat optik menjelajah, dan slogan Smart City terpampang di setiap laporan. Namun di balik kabel-kabel yang menjanjikan konektivitas itu, ternyata berjalin sebuah jaringan lain, jaringan gratifikasi dan penggelembungan anggaran yang beroperasi senyap, tapi sistematis.

Menanggapi berita di tangkapnya Sekretaris Dinss Kominfo, Sujono oleh kejaksaan Nganjuk pads hari Rabu (08/10/2025).selama 20 hari kedepan untuk kepentingan penyidikan. Pujiono, Direktur Edu Politik, sebuah lembaga pengamat kebijakan dan advokasi publik berkomentar.

“Semua bermula dari pos sederhana dalam APBD 2023: belanja Internet Dedicated Main Link senilai Rp 2,18 miliar. Angka yang masih wajar untuk kebutuhan satu dinas yang menopang akses jaringan 52 OPD. Tapi menjelang tutup tahun, sesuatu berubah. Di penghujung Desember, muncul RUP baru senilai Rp 7,92 miliar untuk paket yang sama tanpa revisi, tanpa lokasi, hanya sebaris entri yang tiba-tiba melesat dari dua menjadi hampir delapan miliar rupiah”, ungkapnya.

Berita Terkait :  Perkuat Akses Pekerja Migran Indonesia, APJATI Hadiri Business Matching di Eropa Barat, Tengah dan Timur

“Lonjakan itu ternyata bukan kebetulan. Tahun 2024 kemarin, dana tersebut menjelma menjadi dua kontrak besar: PT Laxo Global Akses dengan nilai Rp 6 miliar, dan PT Telkom Indonesia sekitar Rp 1,7 miliar. Kedua perusahaan ini menjadi pengendali penuh jalur digital Pemkab Nganjuk. Pagu yang melonjak di akhir 2023 sebagai realisasi langganan internet selama satu tahun di tahun 2024”, tambahnya.

Namun, di sela proyek jaringan itu, penyidik Kejaksaan Negeri Nganjuk menemukan aliran lain: uang setoran bulanan dari penyedia proyek fiber optik kepada Sekretaris Kominfo, Sujono, yang kini resmi menjadi tersangka. Totalnya mencapai Rp 840 juta, angka yang setara dengan 14 persen dari nilai proyek. Uang itu disebut-sebut sebagai “biaya pengamanan proyek”, istilah lunak untuk gratifikasi yang disepakati diam-diam.

Dari luar, semua tampak administratif: pagu disusun, e-purchasing dilakukan, kontrak ditandatangani. Tapi dokumen yang diperoleh menunjukkan bahwa pengumuman RUP tanggal 29 Desember 2023 digunakan sebagai “jembatan administratif” untuk menampung proyek 2024. Siasat klasik, paket dipasang di akhir tahun agar terhindar dari koreksi Bappeda dan Banggar, tapi bisa segera di kontrak begitu tahun baru berjalan.

Vendor pun tak kuasa menolak. Dalam banyak kasus, penyedia dipaksa ikut irama birokrat yang memegang kendali pencairan dana. Dalam kasus ini, indikasinya jelas: pembayaran berjalan lancar hanya bila setoran bulanan tetap mengalir.

Nama Laxo Global Akses muncul sebagai penyedia utama. Sebagai ISP resmi anggota APJII, Laxo memiliki izin operasional dan basis di Jawa Timur. Namun, transparansi kontraknya di pemerintahan daerah minim. Di LPSE, hanya tercatat nomor paket dan nilai, tanpa rincian spesifikasi teknis. Tak ada dokumen publik yang menjelaskan berapa titik koneksi aktif, berapa bandwidth yang dibeli, dan bagaimana pengawasan mutu dilakukan.

Berita Terkait :  Tanda Tangani SHA, Bank Sultra Resmi Jadi Bank Kelima Ber-KUB dengan Bank Jatim

Dengan ketiadaan data itu, pengawasan publik lumpuh total. Di atas kertas, jaringan fiber optik menghubungkan seluruh OPD; di bawah meja, justru uang yang menghubungkan pejabat dan penyedia.

Kisah ini bukan insiden tunggal. Dokumen perencanaan tahun 2025 menunjukkan penurunan pagu menjadi Rp 5,28 miliar, seolah ada koreksi. Tapi turunnya anggaran tidak otomatis berarti bersih; justru bisa jadi langkah “penyusunan ulang” pola lama dengan nominal baru.

Sumber internal menyebut, pengawasan terhadap Dinas Kominfo memang longgar. Selama beberapa tahun terakhir, bagian perencanaan dan operator LPSE berada di bawah kendali orang-orang yang sama orang-orang yang kini disebut-sebut masih memiliki hubungan dengan proyek-proyek digital senilai miliaran.

“Internet memang menghubungkan banyak hal,” ujar seorang pejabat anonim, “tapi di Kominfo, yang tersambung bukan hanya jaringan data, melainkan juga kepentingan.”

Penyidikan terhadap Sujono hanyalah pintu kecil dari rumah besar korupsi digital Nganjuk. Di baliknya, ada rancangan anggaran yang disetujui tanpa kajian, RUP yang diterbitkan di luar waktu, dan vendor yang seolah terpilih sebelum lelang dimulai.

“Dalangnya bukan satu orang. Ini tampak seperti konsorsium kepentingan internal: pejabat yang mengatur pagu, perencana yang mengubah RUP, dan penyedia yang siap menyesuaikan harga sesuai pesan sponsor”, pungkas Pujiono.

Kini, publik menanti apakah Kejari Nganjuk berani membuka siapa pengambil keputusan di balik lonjakan pagu Rp 7,9 miliar itu. Karena gratifikasi tak akan lahir tanpa izin, dan izin tak akan keluar tanpa restu di tahun politik 2024 kemarin.

Selama dalang di atas meja tak tersentuh, kasus ini hanyalah bab pertama dari kisah korupsi digital yang lebih besar: bagaimana proyek konektivitas justru memutus kepercayaan publik. Sementara Jono hanyalah perwira peluncur yang dikorbankan dalam bidak permainan catur. (dro.hel)

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow

Berita Terbaru