Ke-tersedia-an pupuk bersubsidi masih selalu menjadi perdebatan. Banyak kalangan DPR (dan DPRD) memperoleh laporan ke-langka-an pupuk. Namun pemerintah (dan pabrik pupuk) selalu menyatakan surplus. Sehingga ke-cukup-an pupuk masih menjadi kekhawatiran bersama seluruh kalangan ke-pertani-an. Khususnya pupuk bersubsidi sering “menghilang” dan harga melambung saat dibutuhkan pada musim tanam. Namun banyak kelompok tani (Poktan) berhasil meng-inovasi pembuatan pupuk mandiri organik.
Seperti masyarakat kabupaten Blitar, Jawa Timur, yang memiliki pupuk mandiri, diberi nama “Biosaka.” Bermakna “Bio Soko Alam kembali ke alam,” dikembangkan sejak tahun 2006, oleh seorang petani bernama Anshar. Menggunakan Biosaka, bisa menghemat ketergantungan pada pupuk dan pestisida antara 50% hingga 70%. Serta terbukti hasil pertanian makin melimpah. Membuat takjub Menteri Pertanian. Namun pupuk organik Biosaka, tidak bisa dibuat dengan mesin. Harus hand made (untuk me-maksimal-kan manfaat.
Sebenarnya Biosaka bukan pupuk, melainkan elisitor. Yakni, semacam zat yang dapat merangsang respons pertahanan diri pada tumbuhan. Semacam ke-kebal-an alami tanaman untuk melawan stres biotik akibat hama, dan penyakit. Juga kebal terhadap abiotik (kekeringan ekstrem). Ironisnya, Biosaka belum memiliki izin edar (sebagai pupuk) dari Kementerian Pertanian. Statusnya hingga saat, adalah “Bahan pengelolaan tanaman dan lahan.” Konon beberapa kriteria tidak dipenuhi dalam Biosaka.
Bahkan konon, Biosaka tidak dapat di-industrialisasi. Berdasar kriteria BSIP (Badan Standarisasi Instrumen Pertanian), Biosaka tidak dapat dikategorikan sebagai pupuk, juga bukan pestisida. Karena tidak memenuhi standar kandungan hara makro dan mikro. Bahkan menurut tim kajian IPB (Institut Pertanian Bogor), Biosaka tidak dapat di-standarisasi ilmiah. Karena bahan bakunya beragam, dan cara pembuatannya juga bervariasi.
Namun walau belum memperoleh izin edar, Biosaka boleh digunakan pada area lokal. Sudah ribuan hektar lahan persawahan di Blitar (dan daerah sekitar) menggunakan Biosaka. Sekaligus menghemat biaya (input) ke-pertani-an cukup besar. Cocok untuk tanaman padi, jagung, kedelai, sampai cabai. Sehingga bisa digunakan pada musim tanam padi, dan gadu (musim tanam kedua). Seperti “pupuk mandiri” lokal lainnya, jika diedarkan sampai jauh di luar daerah, akan ditangkap Polisi, karena di-kategori pupuk ilegal.
Pupuk (dan pestisida) masih di-dominasi produk industri besar, BUMN (Badan Usaha Milik Negara). Namun pada musim tanam Oktober 2025 – Maret 2026, harga pupuk bersubsidi diturunkan, rata-rata sebesar 20%. Pupuk urea, semula Rp 2.250 per-kilogram, menjadi Rp 1.800,- per-sak isi 50 kilogram seharga Rp 90 ribu. Pupuk NPK juga turun, semula Rp 2.300,- per-kilogram menjadi Rp 1.840,-, per-sak kemasan 50 kilogram seharga Rp 92 ribu. Begitu pula pupuk ZA, semula Rp 1.700,- per-kilogram, menjadi Rp 1.360,-, per-sak isi 50 kilogram menjadi Rp 68 ribu.
Dengan penurunan harga pupuk, diharapkan bisa mengurangi biaya peng-garapan ladang. Jika ditambah dengan harga gabah yang dinaikkan pemerintah (menjadi Rp 6.500,- per-kilogram), petani lebih beruntung. Artinya, Indeks diterima (It) naik, sedang Indeks dibayar (Ib) turun. Seharusnya berujung peningkatan NTP (Nilai Tukar Petani). Namun beras cadangan milik petani (yang berada di lumbung) harus dijaga stabil. Jika petani kekurangan beras konsumsi, maka harus membeli dengan harga yang berlaku (cukup mahal).
Pemerintah wajib lebih seksama meng-kalkulasi kebutuhan pupuk bersubsidi. Pada tahun 2025, total alokasi pupuk bersubsidi diperkirakan mencapai sebanyak 9,55 juta ton. Konon sudah tersalurkan sekitar 6,8 juta ton. Masih harus lebih digelontor. Distribusi pupuk bersubsidi juga wajib dijaga, karena kemampuan negara masih belum sebanding dengan RDKK (Rencana Detil Kebutuhan Kelopok).
——— 000 ———


