30 C
Sidoarjo
Friday, July 5, 2024
spot_img

Kampung Lontong Surabaya, Tradisi Makanan Khas Indonesia yang Tak Lekang Oleh Waktu

Siapa sangka di kota besar seperti Surabaya, ternyata terdapat satu pemukiman yang biasa disebut dengan kampung lontong. Dikatakan begitu karena sebagian besar mata pencaharian warga kampung tersebut adalah berjualan lontong.

Penulis : Putri Yunitasari Susanto

Setidaknya terdapat 76 keluarga yang berprofesi sebagai pengusaha lontong dan mampu memproduksi hingga 2 ton beras perharinya, untuk diubah menjadi santapan khas yang terbuat dari beras dan dibungkus daun pisang tersebut (Bog Tempe Menjadi Kampung Lontong Tahun 1974-202, 2018).

Kampung lontong terletak di gang Banyu Urip, Krajan, Kecamatan Sawahan, Kota Surabaya. Sebelum dikenal sebagai kampung lontong, sekitar tahun 1960, dulunya kampung lontong bereksistensi sebagai daerah penghasil tempe yang disebut dengan ‘Bog Tempe’ atau jembatan tempe.

Usaha lontong dimulai sekitar tahun 2000an yang dipelopori oleh Mbah Muntiyah dan Ramijah, lalu diteruskan oleh Suwarni dimana pada saat itu sedang mengalami keterpurukan ekonomi sehingga Ramijah memiliki itikad baik untuk menolong Suwarni yang sedang kesusahan dan kemudian produksi lontong yang beliau buat mulai terkenal di pasar – pasar tradisional yang terdapat di kota Surabaya.

Kesuksesan yang telah Suwarni raih dalam memasarkan lontong buatannya menjadi pemantik bagi para tetangga di Banyu Urip Lor untuk melakukan usaha yang sama, Suwarni dengan senang hati mengajarkan tata cara pembuatan hingga pengemasan lontong kepada para tetangganya, membuat kediamannya sering menjadi tempat singgah bagi para tetangga yang ingin melakukan usaha lontong seperti Suwarni.

Berita Terkait :  Di Momen Hari UMKM Internasional 2024, Khofifah Dorong UMKM Makin Go Global

Lontong yang mereka buat pun memiliki ciri khas yang sama dikarenakan resep pembuatan yang mereka pakai hanya satu yakni resep yang diajarkan oleh Suwarni, dan hal tersebut pun tak luput dari Ramijah sebagai kontributor besar karena beliau lah yang merupakan pemilik asli resep yang telah diturunkan kepada Suwarni.

Lontong hasil dari resep Ramijah memiliki warna kehijauan, hal tersebut terjadi karena pengemasan yang diajarkan oleh Ramijah dan Suwarni menggunakan daun pisang.

Hingga pada akhirnya, sekitar tahun 2001 sampai 2002, banyak sekali warga Banyu Urip Lor yang memproduksi lontong mereka sendiri hal tersebut membuat para warga sekitar menyebut kawasan tersebut menjadi “Kampung Lontong”. Kampung Lontong pun masih sangat aktif selama 24 tahun, pemerintah setempat pun juga banyak membantu UMKM Kampung Lontong ini agar tidak redup akan waktu sehingga dapat menyediakan lapangan pekerjaan bagi warga sekitar.

Lalu, pada tahun 2004 hingga 2005, para masyarakat yang membuat lontong awalnya tidak memilih daun pisang secara teliti dan perlahan-lahan namun sekarang mereka telah menggunakan daun pisang yang mereka pilih secara seksama agar kualitas lontong yang mereka produksi menjadi tetap berkualitas dan tidak mengecewakan para pelanggan setia mereka.

Sebelumnya pun dikarenakan daun yang mereka gunakan terlalu keras membuat para masyarakat pembuat lontong melakukan penjemuran di jalan-jalanan sekitar. Dari menyuplai daun dan beras hingga sekarang hanya melakukan penyuplaian daun saja untuk memproduksi lontong yang mereka jual

Berita Terkait :  Dorong Pemberdayaan Masyarakat Bromo, LPS Resmikan Gedung Javanica Graha

Produksi lontong setiap harinya terbilang cukup konsisten dan padat, karena hampir di setiap rumah pasti ada pembuat lontong, jadi tak heran jika dinamai Kampung Lontong.

Dalam sehari para pembuat lontong bisa menghasilkan 400 biji lontong hingga 1 kuintal lontong. kegiatan produksi kerja dimulai dari 1/2 siang dan pada saat proses pembuatan lontong membutuhkan sekitar dua karung beras, 500 helai daun pisang dan gas elpiji ukuran 3 kilogram.

Beras dimasukkan ke bungkus daun pisang yang tadinya sudah dibentuk bulat panjang dan dibuat lubang di bagian ujungnya agar beras tersebut tidak tumpah. Setelah dimasukkan ke daun pisang, bungkusan beras tersebut direbus dalam panci besar hingga 4-5 jam.

Para warga memiliki pilihannya sendiri untuk memilih beras dan daun pisang nya, para pembuat lontong lebih senang menggunakan daun pisang klutuk dan mencampur beras pilihan dengan beras bulog.

Karena jika menggunakan daun pisang jenis lain, maka hasil lontongnya tidak bagus seperti pada normalnya. Bisa jadi warnanya menjadi merah, bau, dan rasanya pahit. Lontong sendiri dapat bertahan sehari atau dua hari.

Kini pembeli bisa juga memesan dengan berbagai ukuran beserta harga yang ditetapkan, Siap melayani untuk produksi dalam jumlah besar hingga eceran sesuai keinginan. Untuk saat ini Kampung Lontong Surabaya memproduksi lontong yang di bandrol dengan kisaran harga mulai dari Rp1.200 – Rp2500.

Berita Terkait :  Pemkab Bangkalan, Universitas Trunojoyo Madura dan BI Gelar DigiCreative Fest 2024

Pesanan akan dibuat setiap harinya, jadi sudah dipastikan fresh dari tangan produsen nya langsung. Untuk ketahanan lontong bisa sampai 2 hari dan untuk penyimpanan dengan suhu yang dingin bisa bertahan sampai 1 minggu. [*]

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Berita Terbaru