Menjelang tahun 2025, spekulasi harga pangan, mulai meng-hantui pedagang. Sangat mengkhawatirkan perdagangan bakal lesu, karena kenaikan PPN menjadi 12%. Serta rencana kenaikan harga gabah, yang pasti diikuti kenaikan harga beras. Maka Pemerintah wajib melakukan segala-galanya untuk mencegah inflasi sektor pangan. Terutama harga beras. Antara lain dengan melepas Beras Cadangan Pemerintah (BCP). Serta menggelontor sisa beras impor memenuhi pasar.
Spekulasi pasokan beras biasa semakin “menggila” pada awal tahun. Bertepatan awal musim tanam. Menyebabkan harga beras membubung tinggi. Meliar tanpa alasan. Walau stok beras sebenarnya masih surplus 2 juta ton di Gudang Bulog. Pemerintah wajib melakukan segala-galanya untuk mencegah inflasi sektor pangan. Termasuk “meng-aman-kan” cadangan total yang dimiliki pemerintah, sebanyak 8,3 juta ton. Aman sampai 3 bulan pertama tahun 2025.
Harga pangan (terutama beras) tidak boleh “memeras” perekonomian masyarakat, karena menjadi bahan pangan pokok. Pemerintah memikul tanggungjawab mengelola stabilitas pasokan dan harga pangan. Tercantum dalam UU Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan. Pada pasal 13, dinyatakan, “Pemerintah berkewajiban mengelola stabilitas pasokan dan harga Pangan Pokok, mengelola cadangan Pangan Pokok Pemerintah, dan distribusi Pangan Pokok untuk mewujudkan kecukupan Pangan Pokok yang aman dan bergizi bagi masyarakat.”
Kewajiban pemerintah bukan sekadar stabilitas pasokan. Melainkan juga stabilitas harga. Spekulasi harga pangan akan dikait-kaitkan dengan gejala La-Nina, berupa banjir bandang di berbagai kawasan sentra pangan. La-Nina dengan curah hujan yang melebihi normal (lebih dari 2.500 mm per-tahun) akan menyebabkan banjir bandang. Niscaya menghambat distribusi. Namun yang paling mengkhawatirkan, adalah banjir yang merendam persawahan. Pada awal musim tanam bulan Januari, benih yang baru disemai akan terbawa banjir. Harus tanam ulang. Berujung waktu panen raya mundur.
Pemerintah perlu gerak cepat memantau perkembangan musim. Manakala terjadi banjir yang merendam persawahan, diperlukan segera benih baru. Segera pula ditanam ulang. Pengalaman semusim tanam yang lalu (2023 – 2024), harga beras merambat naik tak terbendung. Sejak bulan Juli 2023 telah terjadi defisit. Sampai bulan September, defisit diperkirakan mencapai 420 ribu ton. Menyebabkan CBP yang dikelola Bulog terkuras hampir separuh (45,75%) dari batas aman stok beras.
CBP nasional seharusnya mencapai 1,2 juta ton, tapi pada Agustus tinggal 652 ribu ton (54,25%). Maka wajar pemerintah selalu impor beras. Sekaligus menjaga stabilitas harga. Karena ongkos produksi beras nasional lebih mahal dibanding impor. Terutama beras dari Vietnam, dan Kambodia. Serasa percaya tak percaya, harga beras “memimpin” laju inflasi pada Maret – April 2024. Melebihi dampak kenaikan harga BBM pada September 2023.
Maka harga beras wajib terkendali. Karena beras merupakan salahsatu komoditas pokok yang menyumbang 3% pada Indeks Harga Konsumen (IHK). Menjadi pilar penghitungan inflasi. Pemerintah bagai “takluk” pada harga pasar. Pada Mei 2024, HET (Harga Eceran Tertinggi) beras premium, dinaikkan menjadi Rp 14.900,- per-kilogram. Sedangkan beras medium seharga Rp 12.500.
Terdapat mandatory yang wajib dilakukan pemerintah. Yakni merealisasi UU Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan. Pada pasal 25 ayat (1), menyatakan, “Pemerintah dan Pemerintah Daerah mengendalikan ketersediaan Barang kebutuhan pokok dan/atau Barang penting di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam jumlah yang memadai, mutu yang baik, dan harga yang terjangkau.”
Harga wajib beras terjangkau. Tiada yang suka beras mahal. Pedagang tidak suka harga beras mahal, karena menyebabkan omzet turun. Petani juga tidak suka harga beras mahal, karena petani juga mengkonsumsi beras.
——— 000 ———