31 C
Sidoarjo
Friday, December 5, 2025
spot_img

Ironi Demokrasi Indonesia, Rakyat Membayar, DPR Menikmati

Oleh:
Estu Widiyowati
Dosen Ilmu Komunikasi – Universitas Slamet Riyadi, Surakarta

Ketika rakyat masih bergulat dengan harga kebutuhan pokok yang kian melambung, akses kesehatan yang terbatas, serta pendidikan yang belum sepenuhnya merata, para wakil rakyat di Senayan justru kembali menjadi sorotan. Bukan karena keberhasilan legislasi yang berpihak pada masyarakat, melainkan polemik tunjangan yang mereka nikmati. Dari gaji pokok, berbagai fasilitas, hingga aneka tunjangan yang nilainya tak sedikit, anggota DPR kerap tampil sebagai kelompok elite yang hidup nyaman di atas kontribusi pajak masyarakat. Ironinya, sebagian besar kebijakan yang mereka hasilkan seringkali dianggap tak sebanding dengan besarnya biaya yang ditanggung rakyat.

Fenomena ini memperlihatkan betapa demokrasi di Indonesia masih menyisakan jurang yang dalam antara representasi ideal dan praktik yang terjadi. Demokrasi, dalam konsep dasarnya, adalah mekanisme dimana suara rakyat diperjuangkan, aspirasi ditampung, dan kesejahteraan publik menjadi prioritas utama. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan hal sebaliknya. Jabatan wakil rakyat tampak lebih menyerupai sarana memperkaya diri ketimbang ruang pengabdian. Tidak heran bila kepercayaan publik terhadap DPR terus menurun dari tahun ke tahun. Laporan dari berbagai lembaga survey menegaskan DPR kerap berada di posisi rendah dalam hal tingkat kepercayaan dibanding lembaga negara lain.

Dalam rilis Indikator Politik Indonesia (Januari 2024), tingkat “cukup/sangat percaya” kepada DPR tercatat 64,8%-lebih rendah dibanding TNI (89,3%), Presiden (86,7%), Kejaksaan Agung (76,2%), Polri (75,3%), Pengadilan (75,2%), MK (70,8%), KPK (70%), dan MPR (70%). Pola ini secara visual memperlihatkan DPR berada di bagian ekor dari spektrum kepercayaan institusional, sinyal kuat bahwa legitimasi representatifnya lebih rapuh relatif terhadap lembaga lain.

Kecenderungan serupa tampak konsisten lintas lembaga survei. Pada Juli 2023, Lembaga Survei Indonesia (LSI) melaporkan kepercayaan terhadap DPR hanya 54%, menjadikannya-bersama partai politik – di strata terbawah dibandingkan institusi lain. Ini bukan sekadar angka sesaat, melainkan pola berulang yang menegaskan adanya jarak psikologis dan politik antara warga dan wakilnya. Bahkan, pada forum evaluasi kinerja internal di awal 2024, pengakuan terbuka bahwa DPR “paling buruk” soal kepercayaan publik ikut beredar di ruang pemberitaan – sebuah cermin keprihatinan yang datang dari dalam pagar Senayan sendiri.

Berita Terkait :  Polres Bojonegoro Meriahkan Hari Bhayangkara Ke-79 dengan Lomba Perang Guling

Data terbaru yang dikutip sejumlah media dari survei Indikator kembali menempatkan DPR dan partai politik di posisi rendah pada akhir 2024 hingga awal 2025. Metrik kepercayaan terhadap DPR berada di kisaran 62-64%, tetap di bawah banyak institusi eksekutif dan penegak hukum-menandakan bahwa meski fluktuasi terjadi, struktur hierarki kepercayaan belum bergeser secara signifikan: DPR masih kalah dipercaya.

Jika kinerja tidak tampak impresif, sementara wacana soal remunerasi dan fasilitas terus mengemuka, maka persepsi “jabatan sebagai sarana memperkaya diri” menemukan amunisi.

Diskursus tunjangan perumahan – ketentuan rumah dinas atau kompensasinya – misalnya, secara normatif memang berlandas aturan, tetapi transparansi besaran dan rasionalisasinya perlu terus dibuka agar publik melihat kaitannya dengan tugas dan kinerja, bukan sebagai privilese kosong. Pembahasan hukum – normatif mengenai dasar pemberian tunjangan perumahan DPR mempertegas bahwa problem utamanya bukan sekadar legalitas, melainkan legitimasi – yakni apakah desain fasilitas proporsional dengan mandat representasi dan hasil kerja. Hal ini menjadi sinyal alarm serius bahwa legitimasi politik tengah mengalami erosi.

Untuk memahami ironi ini, mari kita tengok kondisi nyata rakyat. Data Badan Pusat Statistik (BPS) per Agustus 2025 menunjukkan bahwa harga beras sebagai kebutuhan pokok masyarakat terus merangkak naik. Biaya kesehatan juga terus membebani, terutama bagi keluarga miskin yang masih kesulitan mengakses layanan berkualitas meski ada program BPJS. Pendidikan, walau digembar – gemborkan gratis, masih menyisakan beban biaya buku, transportasi, dan seragam. Dalam situasi serba sulit ini, rakyat dituntut untuk berhemat, sementara disisi lain, wakil rakyat justru bergelimang tunjangan.

Besaran gaji dan tunjangan DPR memang fantastis jika dibandingkan dengan pendapatan mayoritas rakyat. Gaji pokok anggota DPR berkisar Rp 4,2 juta. Namun, jumlah tersebut hanyalah puncak kecil dari gunung es kesejahteraan legislatif. Anggota DPR menerima berbagai tunjangan – tunjangan keluarga, beras, jabatan, transportasi, komunikasi, Listrik, hingga tunjangan reses. Diluar itu, masih ada tunjangan perumahan yang nilainya mencapai Rp 50 juta per bulan. Jika dihitung secara total, pendapatan anggota DPR bisa menembus Rp 91 – 100 juta per bulan. Bandingkan dengan pendapatan rata – rata buruh Indonesia yang hanya berkisar Rp 3 – 4 juta per bulan, bahkan lebih rendah di daerah – daerah. Ketimpangan ini mempertegas ironi demokrasi kita – rakyat bekerja keras demi sesuap nasi, sementara wakilnya menikmati kenyamanan dari keringat pajak rakyat.

Berita Terkait :  Managemen Enam Langkah Cuci Tangan sebagai Upaya Pencegahan Penyakit Diare

Polemik tunjangan DPR sejatinya bukan hanya perkara angka dalam lembaran anggaran, melainkan persoalan moral dan legitimasi politik. Ketika wakil rakyat menikmati berlapis – lapis tunjangan di tengah kondisi ekonomi masyarakat yang serba sulit, publik wajar mempertanyakan kepekaan sosial dan etika politik para legislator. Dalam perspektif utilitarianisme, kebijakan dan tindakan politik seharusnya menghasilkan manfaat terbesar bagi masyarakat banyak. Tunjangan yang besar tanpa transparansi fungsi dan urgensi hanya akan menegaskan jarak antara rakyat dan wakilnya. Lebih jauh, kondisi ini melahirkan ketidakadilan simbolik – rakyat diminta berhemat, sementara para wakil justru bergelimang fasilitas.

Etika politik menuntut wakil rakyat untuk menempatkan kepentingan publik di atas kenyamanan pribadi. Namun, realitas tunjangan DPR memperlihatkan hal sebaliknya – kepentingan diri lebih diutamakan ketimbang pengabdian. Disinilah letak ironi demokrasi kita – institusi yang mestinya menjadi corong rakyat justru sibuk mengurus kesejahteraan internalnya. Jika ini dibiarkan, bukan hanya kredibilitas DPR yang kian runtuh, melainkan juga legitimasi demokrasi itu sendiri.

Reformasi perlu ditempuh. Pertama, transparansi anggaran DPR harus ditingkatkan. Publik berhak mengetahui secara detail berapa jumlah tunjangan yang diterima, untuk apa digunakan, dan bagaimana mekanisme evaluasinya. Kedua, besaran tunjangan perlu dikaitkan dengan kinerja. Tidak ada alasan untuk menikmati fasilitas berlebihan jika kualitas legislasi rendah atau fungsi pengawasan lemah. Ketiga, DPR harus menumbuhkan kesadaran etis bahwa pengabdian politik bukan ruang untuk mengumpulkan privilese, melainkan tanggung jawab moral terhadap konstituen. Tanpa itu, demokrasi hanya akan menjadi ritual formal, sementara substansinya menguap di antara gedung megah parlemen.

Berita Terkait :  Kepercayaan Meningkat, Unusa Kukuhkan 4.875 Maba

Sebagai pembanding, di beberapa negara demokrasi maju, gaji dan tunjangan anggota parlemen diatur secara ketat dan transparan. Bahkan ada negara yang menautkan kenaikan gaji anggota parlemen dengan inflasi atau pertumbuhan ekonomi, sehingga tidak menimbulkan kecemburuan sosial. Indonesia bisa belajar dari praktik semacam ini agar demokrasi lebih sehat.

Pada akhirnya, pertanyaan mendasar perlu kembali digelorakan – Untuk siapa demokrasi ini dijalankan? Bila rakyat dibebani oleh kenaikan harga pangan, pendidikan, dan kebutuhan dasar lainnya – sementara wakilnya menikmati berbagai tunjangan – maka demokrasi semakin kehilangan substansinya. Demokrasi bukan sekadar ritual lima tahunan saat rakyat datang ke TPS, melainkan komitmen sehari – hari untuk menempatkan kepentingan rakyat sebagai prioritas. Gedung DPR tidak semestinya menjadi symbol keterpisahan, tetapi rumah aspirasi yang menjembatani harapan rakyat dengan realitas kebijakan.

Ironi tunjangan DPR adalah cermin yang memaksa kita seolah dihadapkan pada paradoks: demokrasi sebagai sistem yang seharusnya mengedepankan keadilan dan kesejahteraan bersama malahan menjadi panggung ketimpangan simbolik. Kritik tajam dari Direktur Indonesia Political Review (IPR), Iwan Setiawan, yang menyebut bahwa besarnya gaji dan tunjangan DPR melukai hati rakyat, hanya satu dari sekian banyak suara keresahan. Kritik tegas ini mencerminkan keresahan publik yang legit dan mendesak. Jika dibiarkan, krisis kepercayaan akan merembet lebih jauh, menggerogoti fondasi demokrasi itu sendiri.

Jika rakyat terus membayar dengan keringat dan pajak, sementara wakilnya hanya menikmati hasil tanpa menghadirkan kebijakan yang berpihak, maka demokrasi kehilangan makna sejatinya. Gedung DPR tidak semestinya menjadi menara gading yang jauh dari realitas rakyat, melainkan rumah aspirasi yang menjembatani harapan dengan kenyataan. Ironi tunjangan DPR seharusnya menjadi cermin bagi kita semua – apakah demokrasi sedang dirawat, atau justru diperdagangkan?.

———- *** ————-

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow

Berita Terbaru