30 C
Sidoarjo
Saturday, December 6, 2025
spot_img

Inklusi Sejati di JSEF: Melawan Stigma dengan Ekonomi Kreatif

Oleh :
Hikmah Shefi Azrielda
Mahasiswi Prodi Sosiologi, FISIP Universitas Muhammadiyah Malang

Jatim Socio-Economic Festival (JSEF) selalu menjadi etalase megah bagi potensi ekonomi Jawa Timur. Namun, tahun ini, ada satu sudut yang menarik perhatian dan membawa pesan yang jauh lebih dalam daripada sekadar transaksi jual beli. Sudut itu adalah stan Dinas Sosial (Dinsos) Jatim, yang dengan berani membawa karya-karya dari kelompok yang sering dianggap marginal: para penyandang disabilitas dan Penerima Manfaat (PM) Balai Rehabilitasi Sosial.

Kehadiran produk-produk ini di JSEF adalah sebuah deklarasi politik sosial. Ini bukan lagi era di mana penyandang disabilitas hanya ditempatkan sebagai objek belas kasihan atau penerima bantuan sosial pasif. Dinsos Jatim, melalui pameran ini, secara tegas mendudukkan mereka sebagai subjek ekonomi kreatif yang produktif dan kompetitif. Ini merupakan pergeseran paradigma yang fundamental dan patut diapresiasi secara luas.

Kita harus mengapresiasi langkah ini. Di tengah hiruk pikuk pameran, di mana setiap brand berlomba menonjolkan keunggulan produk, karya-karya dari Balai PRS PMKS Sidoarjo, misalnya, berhasil mencuri perhatian. Pengunjung tidak hanya sekadar melirik, tetapi melakukan dialog, melihat kualitas, dan pada akhirnya, membeli.

Produk yang dipamerkan bukanlah sekadar kerajinan tangan biasa. Mereka menunjukkan tingkat keterampilan yang diasah melalui pembinaan intensif. Bayangkan: tas-tas estetik yang dibuat dari bahan ramah lingkungan, kain batik dengan motif khas yang dirancang PM, hingga hasil sulam pita yang menuntut ketelitian tinggi, yang sering dijadikan hiasan halus pada aksesori. Variasi dan kualitas produk ini menegaskan keseriusan PM dalam menjalani proses rehabilitasi.

Berita Terkait :  Percepat Penurunan Stunting, Pemkab Mojokerto Perkuat Duta Genre Desa

Keberhasilan produk ini menembus pameran bergengsi seperti JSEF adalah indikator kuat dari dua hal: Pertama, kualitas pembinaan di Balai. Pendekatan rehabilitasi sosial telah berevolusi, kini berfokus pada skill-based dan kemandirian ekonomi. Balai berfungsi sebagai pusat pelatihan vokasi yang efektif. Kedua, adanya sinergi yang tepat, termasuk peran pendampingan kritis dari pihak luar-seperti yang dilakukan oleh mahasiswa magang CoE Sosiologi FISIP UMM-yang membawa perspektif baru dalam mendorong partisipasi PM. Mahasiswa membawa wawasan tentang tren pasar dan pengemasan produk, memastikan hasil karya PM tidak hanya berkualitas secara teknis, tetapi juga relevan secara estetika dan pemasaran.

Pameran ini adalah ruang verifikasi bagi kualitas produk PM. Ketika konsumen membeli tas atau batik buatan mereka, konsumen tidak sedang beramal. Mereka sedang membeli kualitas yang telah teruji, sekaligus melakukan investasi sosial. Ini adalah momen krusial yang mengubah persepsi publik secara radikal: dari ‘kasihan’ menjadi ‘berdaya’. Inilah langkah konkret menuju normalisasi peran ekonomi disabilitas.

Konsep inklusi seringkali disempitkan hanya pada urusan aksesibilitas fisik, seperti ramp atau fasilitas umum. Tentu saja, akses fisik penting, namun inklusi sejati adalah ketika kelompok marjinal memiliki akses yang setara ke pasar dan kesempatan ekonomi. Tanpa akses pasar yang adil, semua keterampilan vokasi yang telah diasah di Balai akan sia-sia dan kembali terperangkap dalam lingkaran ketergantungan.

Berita Terkait :  KA Tambahan Anjasmoro Layani Penumpang di Stasiun Bojonegoro Selama Libur Kemerdekaan

Dinsos Jatim telah membuka pintu akses pasar yang selama ini tertutup oleh stigma. Dengan menempatkan produk PM di JSEF, Dinsos mengirim pesan jelas kepada seluruh pelaku usaha dan masyarakat: potensi ekonomi para penyandang disabilitas adalah nyata, dan produk mereka layak bersaing di level premium.

Tantangannya ke depan adalah keberlanjutan. JSEF adalah ajang tahunan, namun siklus produksi PM berlangsung sepanjang tahun. Oleh karena itu, kita dituntut untuk berpikir lebih jauh. Jika produk mereka mampu bersaing di mal, mengapa akses pasar ini tidak diperluas secara permanen? Pemerintah daerah perlu memastikan bahwa produk-produk dari Balai ini memiliki jalur pemasaran yang terstandardisasi. Ini bisa diwujudkan melalui kemitraan strategis dengan ritel modern, pengembangan platform e-commerce khusus (dengan dukungan logistik dan digital marketing), maupun melalui kewajiban alokasi produk dalam pengadaan barang/jasa pemerintah. Skema affirmative action dalam pengadaan barang pemerintah menjadi kunci agar produk PM mendapat pasar yang pasti.

Artikel opini ini hendak mendudukkan persoalan: keberdayaan disabilitas bukanlah domain filantropi, melainkan domain pembangunan ekonomi dan hak asasi manusia. Kehadiran Dinsos Jatim di JSEF memberikan wawasan baru bahwa investasi sosial yang cerdas adalah investasi yang fokus pada skill dan akses pasar. Program rehabilitasi harus berorientasi pada hasil (produk) dan penjualan (pasar).

Dampak psikologis dari keberhasilan penjualan ini jauh lebih besar daripada sekadar nilai rupiahnya. Seperti yang disampaikan oleh Aulia Fitria Sari, ASN Fungsional Pekerja Sosial Balai PRS PMKS Sidoarjo, “Mengubah stigma membutuhkan lebih dari kata-kata; ia membutuhkan bukti nyata berupa produk yang dihargai oleh pasar. Ketika produk mereka laku, nilai diri mereka ikut terangkat. Itulah inti dari rehabilitasi berbasis keberdayaan.” Kutipan ini merangkum seluruh filosofi pemberdayaan: pengakuan melalui transaksi komersial adalah validasi tertinggi atas kemampuan individu.

Berita Terkait :  Jadi Lokasi Pelaksana, Rektor Unair Ingatkan Kejujuran di UTBK-SNBT

Peran perguruan tinggi, seperti CoE Sosiologi UMM, juga menjadi krusial dalam memberikan pendampingan berbasis riset, memastikan program pembinaan di Balai tidak sekadar rutinitas, tetapi memiliki pendekatan kritis, humanis, dan adaptif terhadap kebutuhan pasar. Sosiolog memiliki peran menganalisis dinamika kelompok PM, memastikan motivasi internal tetap tinggi, dan menjembatani PM dengan struktur pasar yang kompleks. Sinergi ini harus diperkuat, menjadikan Balai sebagai laboratorium sosial-ekonomi.

Inklusi sejati terjadi ketika kita tidak lagi perlu menyebut ‘produk disabilitas’, tetapi cukup menyebut ‘produk berkualitas’ yang kebetulan dibuat oleh penyandang disabilitas. JSEF adalah langkah awal yang brilian ke arah itu. Kini tinggal bagaimana keberanian ini diterjemahkan menjadi kebijakan yang berkelanjutan dan terstruktur. Komitmen Pemprov Jatim untuk terus mengalokasikan ruang dan sumber daya bagi kelompok ini akan menentukan keberhasilan program inklusi Jawa Timur di masa depan

————— *** ——————–

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow

Berita Terbaru