27 C
Sidoarjo
Tuesday, March 25, 2025
spot_img

Idul Fitri, Halal Bi Halal, dan Warisan Mbah Wahab

Oleh:
Zainal Muttaqin
Adalah founder Komunitas Santri Melek Teknologi (SAKTi) Indonesia dan Kepala Bagian Humas Kantor Gubernur Jawa Timur

Hari raya Idul Fitri selalu menjadi momen yang dinanti-nanti, tidak hanya oleh umat Islam di seluruh dunia, tetapi juga oleh masyarakat Indonesia yang kaya akan ragam budaya. Di Indonesia, Idul Fitri lekat dengan sebuah tradisi khas yang jarang dijumpai di negara lain: Halal Bi Halal.

Bagi kita, Halal Bi Halal adalah lebih dari sekadar ajang silaturahmi. Ia menjadi ruang terbuka untuk saling memaafkan dan mempererat tali persaudaraan yang mungkin sempat merenggang. Tradisi ini seolah menjadi “bahasa rekonsiliasi” yang sangat efektif di tengah masyarakat kita yang majemuk.

Salah satu tokoh penting yang berjasa membumikan tradisi ini adalah KH Abdul Wahab Hasbullah, atau yang akrab kita kenal sebagai Mbah Wahab. Ulama besar asal Tambakberas, Jombang, Jawa Timur ini adalah salah satu pendiri dan penggerak Nahdlatul Ulama (NU) sekaligus peletak dasar Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum. Beliau bukan hanya seorang guru bangsa, tetapi juga pahlawan nasional yang meninggalkan warisan sosial yang luar biasa.

Sebagai santri Tambakberas, saya ingin bernostalgia, mengingat kembali nasihat-nasihat Mbah Wahab dan kisah Halal Bi Halal yang dahulu sering diceritakan oleh para guru saya.

Halal Bi Halal: Sederhana tapi Bermakna
Sejarah mencatat, sekitar tahun 1948, ketika suhu politik Indonesia memanas pasca kemerdekaan, Presiden Soekarno meminta nasihat dari Mbah Wahab. Dengan kebijaksanaan khasnya, beliau menyarankan: “Bung Karno, kumpulkan mereka, bikin Halal Bi Halal!” Sebuah gagasan sederhana namun mampu menjadi jembatan penting dalam meredakan ketegangan politik saat itu.

Berita Terkait :  Didukung Pertumbuhan Pendapatan Dua Digit, IOH Capai Pertumbuhan 15 Persen pada EBITDA

Sejak saat itu, Halal Bi Halal berkembang menjadi budaya nasional yang terus kita lestarikan. Tak hanya di lingkungan keluarga atau RT, tetapi juga menjadi ruang rekonsiliasi di kantor, organisasi, hingga lembaga-lembaga negara.

Islam sendiri sangat mendorong umatnya untuk gemar memaafkan. Allah SWT berfirman dalam QS. Ali Imran ayat 134:

“(yaitu) orang-orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, orang-orang yang menahan amarahnya, dan orang-orang yang memaafkan kesalahan orang lain. Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan.”

Makna Jabat Tangan dalam Maaf
Apa yang paling sering kita lakukan saat Halal Bi Halal? Ya, berjabat tangan. Di Indonesia, salaman adalah simbol maaf yang kuat. Saat kita menggenggam tangan orang lain, kita juga melepaskan beban emosi, menurunkan gengsi, dan membuka diri untuk memulai hubungan yang lebih baik.

Rasulullah SAW bersabda: “Tiadalah dua orang Muslim yang berjumpa lalu bersalaman, melainkan dosa keduanya akan diampuni sebelum mereka berpisah.” (HR. Abu Daud)

Jadi, berjabat tangan bukan sekadar gestur sopan, melainkan komunikasi personal yang penuh makna. Ia adalah pernyataan damai yang tulus, tanda bahwa kita ikhlas memaafkan dan membuka lembaran baru, atau istilah populernya, “kosong-kosong.”

Kata “Maaf” Sebagai Diplomasi
Mbah Wahab bukan hanya ulama, tetapi juga dikenal sebagai sosok yang mahir dalam diplomasi. Beliau memahami bahwa bangsa ini berdiri di atas fondasi keberagaman. Dalam berbagai forum, baik di pesantren, masyarakat umum, hingga kalangan elit politik, beliau mengajarkan pentingnya menahan diri dan mengutamakan persatuan.

Berita Terkait :  Cara Cerdas Minum Kopi

Dalam perspektif ilmu komunikasi, Mbah Wahab mengajarkan apa yang disebut sebagai komunikasi rekonsiliasi yaitu membangun kembali relasi yang renggang melalui empati, ketulusan, dan simbol budaya seperti berjabat tangan, senyuman, serta duduk bersama. Semua ini terangkum dalam tradisi Halal Bi Halal ala Mbah Wahab.

Teori symbolic interactionism mengajarkan bahwa manusia memberi makna pada setiap tindakan sosial, termasuk Halal Bi Halal. Ketika kita berjabat tangan dan saling memaafkan, kita sedang membangun ulang makna sebuah hubungan, dari yang mungkin retak, menjadi utuh kembali.

Bahkan lebih dalam lagi, dari kacamata ilmu komunikasi, Halal Bi Halal ala Mbah Wahab ini juga bisa kita sebut sebagai “komunikasi damai”, yang terbukti mampu menyatukan kelompok-kelompok yang berbeda pandangan, di berbagai kondisi dan tingkatan masyarakat.

Halal Bi Halal di Era Digital
Perkembangan teknologi membuat Halal Bi Halal kini tak lagi terbatas secara fisik. Banyak di antara kita yang juga melakukannya melalui pesan singkat, video call, atau media sosial. Meski tak bisa berjabat tangan secara langsung, esensinya tetap sama: membuka ruang maaf dan mempererat kembali hubungan.

Rasulullah SAW bersabda: “Sebarkan salam, berikan makanan, sambunglah silaturahmi, dan shalatlah saat orang lain tertidur; niscaya engkau masuk surga dengan damai.” (HR. Tirmidzi)

Kini, menyambung silaturahmi tak hanya dilakukan lewat langkah kaki, tetapi juga bisa melalui pesan WhatsApp atau panggilan video. Era digital bukanlah penghalang untuk menyampaikan maaf yang tulus. Bahkan, teknologi mempermudah kita untuk merajut kembali hubungan yang terpisah jarak, tanpa kehilangan esensi ketulusan.

Berita Terkait :  KAI Daop 8 Surabaya Ingatkan Pengendara Waspada di Perlintasan Sebidang

Mari Berebut Warisan Mbah Wahab
Warisan Mbah Wahab semakin relevan di tengah dinamika sosial-politik Indonesia yang kerap terpolarisasi. Dunia digital yang serba cepat kadang memperbesar potensi salah paham, sindiran, bahkan perpecahan. Budaya saling memaafkan yang diwariskan Mbah Wahab perlu kita terjemahkan tak hanya di ruang fisik saat Lebaran, tapi juga di ruang-ruang digital yang kita huni setiap hari.

Rasulullah SAW bersabda: “Tidaklah Allah menambah kepada seorang hamba yang suka memaafkan kecuali kemuliaan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Saya pribadi selalu teringat suasana di kampung halaman, bagaimana setelah shalat Idul Fitri, kami saling mengunjungi tetangga, memeluk orang tua, dan bersalaman sambil meneteskan air mata. Kadang ada kesalahpahaman kecil sebelumnya, tapi semua luluh dalam satu genggaman tangan dan senyum tulus.

Kini, di era digital, saya pun sering mengirim pesan maaf lewat gawai. Rasanya memang berbeda, namun niat dan ketulusan tetap tersampaikan sepenuh hati.

Mbah Wahab dan guru-guru kita telah memberi teladan luar biasa bahwa memaafkan adalah kekuatan. Mari kita warisi semangat ini. Jadilah pribadi yang mudah memaafkan, ringan mengulurkan tangan, dan terus menjaga persaudaraan, baik di dunia nyata maupun di ruang digital.

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1446 H, mohon maaf lahir dan batin. Semoga Allah SWT menerima seluruh amal ibadah kita selama bulan Ramadan tahun ini dan mempertemukan kita kembali dengan Ramadan di tahun-tahun berikutnya. Amin.

————– *** —————–

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow

Berita Terbaru