Tiada Gubernur Jakarta yang bisa “menaklukkan” banjir. Walau sudah digagas rekayasa cuaca. Realitanya, ibukota sangat rawan terhadap hujan, selalu darurat banjir, setiap tahun. Semakin sering banjir, walau hujan tidak lama. Sampai masuk kompleks istana negara. Kerugian tak ternilai, diantaranya libur karyawan, libur sekolah, dan perusahaan tutup operasional. Bahkan daerah penyangga (terutama seantero Jawa) juga mengalami kerugian ekonomi, akibat tersendatnya pasokan bahan pangan. Menyulut kerugian nasional.
Begitu pula ASN (Aparatus Sipil Negara) jajaran Pemprop DKI Jakarta, sampai bisa mengambil cuti selama sebulan. Karena banjir masuk rumah sampai setinggi 150 senti-meter. Menyebabkan sulit beraktifitas, sampai tidak bisa berangkat kerja. Serta berlanjut pembersihan rumah. Kepedihan dampak banjir makin komplet, ditambah pemadaman listrik oleh PLN, sebagai antisipasi bahaya arus liar akibat kabel putus.
Banjir Jakarta selalu menimbulkan kompleksitas. Bahkan menyebabkan kerugian ekonomi secara nasional. Perekonomian tingkat grass-root akan menyusut tajam. Tidak terkecuali pedagang sayur dan buah, mengalami penyusutan suplai. Seluruh jenis sayur dan buah, sangat rentan terhadap hujan. Serta transportasi dan distribusi bahan pangan dari berbagai daerah tersendat. Kerugian niscaya dialami daerah penyokong. Termasuk Jawa Timur sebagai pemasok telur, daging ayam, daging sapi, susu, dan cabai.
Sudah banyak dibangun mengelilingi kawasan Jakarta, terutama dari arah selatan. Sampai dikenal sebagai kawasan “seribu waduk.” Tetapi banjir tetap datang (tepat waktu) tiap musim hujan. Beberapa sungai selalu meluap. Antara lain Kali Krukut yang biasa menggenangi kawasan Tanah Abang. Air mengalir dari Situ Citayam, Bogor, Depok, Jagakarsa, Cilandak, Pasar Minggu, Kemang, Mampang Prapatan, Gatot Subroto, Tanah Abang, dan Pecinan Glodok.
Juga terdapat “ikon keperkasaan air,” yang ditampakkan oleh Kali Ciliwung, dengan berbagai legenda. Memiliki hulu di gunung Pangrango, dengan sumber air pada ketinggian 3002 meter, meliuk-liuk mengalir di sepanjang 119 kilometer wilayah ibukota. Bermuara akhir di Teluk Jakarta. Diantara 13 sungai yang mengalir di Jakarta, Ciliwung memiliki dampak paling luas ketika musim hujan. Karena mengalir melalui tengah kota Jakarta dan melintasi banyak perkampungan padat, dan kumuh. Banjir akibat luapan Ciliwung bisa mencapai ketinggian hingga 2,5 meter!
Warga Jakarta seolah-olah telah “kenyang” sengsara akibat banjir. Selama dua pekan terakhir, sudah beberapa kali mengungsi. Ribuan unit usaha kuliner (gerobak dorong), dan warung makan juga terpukul banjir. Seluruh profesi yang bekerja di darat, unit usaha mikro dan kecil, bagai libur kerja. Sedangkan profesi kelautan tak kalah nelangsa. Nelayan juga menambatkan perahu di pinggir pantai, tidak melaut karena badai dan angin laut. Sekaligus pendangkalan muara membawa sedimentasi pantai.
Tetapi setiap korban bencana alam, memiliki hak memperoleh bantuan, sesuai amanat UU Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana. Pada pasal 26 ayat (2), dinyatakan, “Setiap orang yang terkena bencana berhak mendapatkan bantuan pemenuhan kebutuhan dasar.” Pada pasal 53, terdapat enam jenis kebutuhan dasar. Yakni, air bersih dan sanitasi, pangan, sandang, layanan kesehatan, dan layanan psiko-sosial. Serta rehabiliatsi rumah tinggal di tempat asal, atau relokasi. Bantuan dari APBD (lokal) seyogianya telah dikucurkan mendahului sokongan pemerintah pusat.
Korban banjir Jakarta, juga memiliki hak memperoleh bantuan permodalan. Diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2008 Tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana. Secara khusus tercantum pada pasal 27 ayat (1). Pemerintah juga perlu meng-inisiasi sistem distribusi pasokan pangan (dan obat-obatan) antar-propinsi, khusus saat ibukota dilanda banjir rutin.
——— 000 ———