Oleh :
Mukhlis Mustofa
Dosen FKIP Universitas Slamet Riyadi Surakarta Program Studi PGSD dan Konsultan Pendidikan Yayasan Pendidikan Jama’atul Ikhwan Surakarta
Mempersepsikan profesi guru kerapkali dibenturkan beragam tantangan utamanya terkait pemenuhan pensejahteraan. Beragam benturan tidak jarang mengaburkan esensi profesi menghadapi beragam konsekuensi pembelajaran. Kaum politis populis Nampak sedemikian reaktif menyikapi permasalahan guru ini, beragam stigma disematkan dengan berujung guru tidak elok memeprtanyanyakan kesesjahteraan lebih dikedepankan untuk mengaburkan esensi edukasi berkelanjutan. Tantangan pendidikan kian beragam memerlukan penyikapan serba kekinian. Sebuah Epos Mahabarata mengisahkan Bambang ekalaya berkeinginan menjadi pemanah handal, laku perwujudannya ia menemui Resi Dorna untuk berguru kepadanya. Sayangnya sang resi menolak permintaan tersebut karena hanya menerima keturunan hastina dan kurawa sebagai muridnya. Ditengah kegalauan dan keinginan kuat menjadi ahli memanah Ekalaya membuat patung Resi Dorna dan berlatih memanah dihadapan patung bersangkutan. Alhasil Bambang Ekalaya pun menjadi ahli memanah hingga setara dengan Arjuna sebagai murid langsung Resi Dorna.
Kesetaraan hasil pembelajaran berpola diinspirasi patung ini sedemikian kuat menggelegak di benak bambang Ekalaya hingga menjadi ksatria siap tanding. Epos tersebut menggambarkan betapa sosok guru berkualitas sedemikian kuat menginspirasi berpengaruh pada hasil pembelajaran walaupun dalam bentuk patung. Fenomena kepemilikian boneka sebagai booster semangat akhir-akhir ini marak dengan sebutan spirit doll. Fenomena ini sebenarnya menunjukkan bahwa sosok inspiratif yang digambarkan dari patung resi dorna betapa mewarnai dalam setoap proses pembelajaran. Medio 2022 muncul fenomena Spirit Doll, Tren atau Masa Kecil Kurang Bahagia?. Fenomena Spirit Doll dari Sudut Pandang Psikolog sosial seperti tersaji diatas Merupakan realitas kekinian dan tidak sekedar gaya hidup semata. Pesohor di dunia entertainment negeri beberapa waktu terakhir berseloroh betapa dia memperlakukan boneka layaknya seorang bayi lengkap dengan pengasuhnya.
Tanpa disadari manakala guru mampu mendoktrinasi siswa selama proses pembelajaran tidak ubahnya spirit doll bagi kaum pesohor diatas tanpa harus mewujudkan dalam bentuk patung maupun boneka. Krusialnya sosok seorang guru dalam tataran ideal mutlak diwujudkan mengingat keberadaannya sebagai garda depan edukasi di seluruh pelosok negeri. Apakah guru masih mengalami permasalahan non pembelajaran dalam menghadapi kehidupan sehingga memudarkan keinginan mewujudkan sosok inspiratif? Peneguhan sosok inspiratif ini terkadang terhalang Gegap Gempita dunia keguruan dengan nuansa perkembangan dalam ranah pencerdasan ini pada akhirnya terhenti pada keinginan hakiki perubahan persepsi diri untuk meraih rezeki.
Ditengah deraan permasalahan kependidikan baik secara struktural maupun nalar ilmiah, tuntutan guru menjadi role model bukanlah semudah membalikkan telapak tangan. Keteladanan pendidik seakan menjadi barang usang ditengah perkembangan kekinian dan guru selama ini termarginalkan dengan beragam posisi. Pada masa pendemi covid-19 saat ini tantangan keteladanan guru ini menuai jalan terjal. Ditengah Pendidikan dijalankan dengan pola Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) Prinsip keteladanan menjadi dianggap sebuah kemustahilan seiring beragam tuntutan peradaban zaman didalamnya yang tidak disikapi proporsional oleh guru.
Mewujudkan guru kreatif dan inspiratif merupakan sebuah tuntutan logis dalam konteks kekinian. Dibalik booming beragam media menjadikan guru berpotensi memunculkan beragam intrepetasi. Perwujudan guru inspiratif sedikit banyak berlawanan dengan konteks kekinian profesi guru. Harapan indah beban guru bersangkutan sedemikian sakralnya dan berpotensi meneguhkan pernyataan tidak membumi pada profesi guru. Perwujudan guru inspiratif namun pengebirian profesi dilakukan sedemikian masif menjadikan pertanyaan tersendiri dan manakala tidak disikapi proporsional justru menyuburkan pesimisme dikalangan guru.
Tuntutan publik agar percepatan reposisi pendidikan sesuai konteks kekinian merebak dan tak pelak guru menjadikan guru tidak ubahnya sansak penyimpangan pendidikan. Jangankan menginspirasi sekedar berkreasi saja guru menjadi sasaran bully dengan beragam versi .Bagaimanakah selayaknya memposisikan profesi guru dalam pemartabatan pendidikan menjadi pertanyaan pokok menyikapi sporadisnya tuntutan profesionalitas guru selama menjalankan tugasnya.
Pergulatan Administrasi
Keinginan menjadikan guru inspiratif tidak ubahnya menegakkan benang basah di tempat lembab. Fenomena ini berpijak bahwa sedemikian sakralnya administrasi guru sehingga tidak jarang mengubur idealisme pembelajaran. Keinginan guru mengembangkan pembelajaran dihadang tuntutan administratif, permasalahan jam mengajar guru profesional cukup memberi pelajaran betapa mengurus guru tidak sekedar urusan mekanik semata.
Sangatlah menggelikan manakala memperhitungkan profesionalisme guru sebatas besaran jam mengajar 24 jam/minggu. Permasalahan ini semakin parah mengingat untuk merealisasikan besaran jam tersebut guru harus melakukan beragam metode. Menggeser guru honorer, menambah jabatan administratif hingga mengajar hingga beberapa sekolah dimahfumkan untuk mencapai besaran kuantitatif tersebut. Keheranan publik sendiri pun muncul bagaimana mungkin seorang guru dianggap profesional sementara untuk mencapainya dipengaruhi dengan mentalitas sikut menyikut yang menunjukkan rendahnya kompetensi emosional pribadi bersangkutan.
Pendewaan jam mengajar untuk dianggap guru profesional tersebut tidak lepas dari kuatnya pengebirian guru dengan beragam regulasi profesi. Dampak konkrit pengebirian berbasis regulasi ini menjadikan keberadaan guru inspiratif kunjung terealisasi. Keberadaan guru diberangus sedemikian rupa sehingga tidak bertaji dan seakan tidak memiliki nyali untuk mengatasi keresahan pendidikan berbasis kapitalisasi pembelajaran. Posisi Guru sedemikian manisnya melihat penyimpangan pendidikan berlangsung di depan mata sementara tindakan konkrit minimal aksi keprihatinan tidak jua muncul.
Revolusi keguruan merupakan harga mati untuk mengatasi carut marut profesi keguruan ditengah maraknya tuntuan pada profesi guru ini. Perubahan mainstream guru dalam menjalankan tugas profesinya menjadikan pembelajaran teramat berarti bagi negeri ini. Guru inspiratif pun tidak sebatas pengedepanan narsisme sempit guru bersangkutan namun benar-benar pelurusan profesi guru ditengah godaan matrealisme. Pemberlakuan revolusi keguruan ini menjadi optimal dengan memperhatikan beberapa elemen pokok diantaranya
Pengembangan networking seutuhnya bagi profesi guru merupakan langkah awal revolusi keguruan. Saat ini komponen guru masih terpecah dalam beragam bentuk yang mengatasnamakan organisasi profesi guru. Bukannya mengecilkan arti Persatuan Guru Republik Indonesia ( PGRI ) dalam menjalankan peran organisasinya, namun pada kenyataannya belum seluruh guru mengakui kebermaknaan organisasi profesi ini. Kemunculan beragam organisasi guru lain selayaknya disikapi sebuah mekanisme kebebasan berserikat dan berkumpul profesi guru bukannya mencurigai organisasi lain tidak ubahnya organisasi terlarang. Relasi positif antar organisasi yang mengatasnamakan guru ini akan mengikis stigma marginalisasi guru berbasis status kepegawaian.
Kinerja guru akan sedemikian bermakna jika memberikan warna bagi siswanya tidak ubahnya terdoktrinasi dan terhipnotis berperilaku positif dalam ranah edukatif negeri. Kuatnya peran guru selama melaksanakan tugas pembelajarannya tidak ubahnya motivasi tersendiri bagi siswa tanpa perlu bantan spirit doll. Persepsi ini muncul bukannya tanpa alasan. Jika spirit doll milik pesohor Nampak nyata didepan panca indera maka sisi spirit yang dihasilkan guru melekat kuat di benak siswa dan memberikan warna tersendiri namun harus dipupuk dengan laku positif.
Kuatnya spirit pembelajaran yang dihadirkan sang guru tanpa perlu memaksa siswa membuat simbol kebendaan layaknya spirit doll karena spirit itu sudah menjadi habit siswa dalam ikhtiar memecahkan permasalahan sebagai bekal masa depan. Guru inspiratif bukan sekedar imajinatif jika seluruh komponen guru melakukan usaha sadar demi pencerdasan anak bangsa seutuhnya tanpa pretensi berlebihan.
———- *** ————


