Oleh :
Dr Elinda Rizkasari
Dosen prodi PGSD Unisri Surakarta
Beberapa tahun terakhir, istilah gentle parenting ramai diperbincangkan di media sosial. Video singkat tentang cara orang tua menenangkan anak yang tantrum, mengajaknya berdialog, atau menolak dengan tenang tanpa bentakan, sering kali viral. Sebagian memuji, sebagian lagi mencibir: “lembek”, “membuat anak manja”. Pandangan itu muncul karena satu salah paham besar: gentle parenting disamakan dengan pola asuh permisif. Padahal, esensi gentle parenting justru keseimbangan antara empati dan konsistensi bukan “membiarkan”, melainkan mengarahkan dengan hormat.
Apa dan untuk apa gentle parenting?
Gentle parenting berakar pada riset psikologi perkembangan modern: membesarkan anak dengan respect, empathy, understanding, dan boundaries. Artinya, anak diperlakukan sebagai subjek didengar perasaannya namun tetap ada batas yang jelas dan konsisten. Ketika anak menolak tidur, misalnya, orang tua menjelaskan alasan aturan (butuh istirahat) dan tetap konsisten mematikan televisi pada jam yang disepakati. Anak belajar disiplin bukan karena takut, melainkan karena mengerti alasan di balik aturan.
Konsensus kesehatan anak juga bergerak ke arah ini. WHO tahun 2025 menegaskan hukuman fisik bukan hanya tidak efektif jangka panjang, tetapi juga terkait risiko kesehatan mental: kecemasan, depresi, harga diri rendah, serta perilaku kekerasan di kemudian hari. Analisis lintas 49 negara berpendapatan rendah menengah menunjukkan anak yang mengalami hukuman fisik 24% lebih kecil kemungkinannya berada “on track” perkembangan dibanding yang tidak mengalaminya.
Mengapa disebut lebih manusiawi?
Kata “manusiawi” dalam gentle parenting bukanlah jargon kosong. Pola ini berangkat dari kesadaran bahwa anak juga manusia yang punya hak, perasaan, dan martabat. Anak berhak didengar meskipun belum bisa berargumen selayaknya orang dewasa. Anak berhak diperlakukan dengan hormat meskipun belum bisa memahami logika sepenuhnya.
Psikolog anak menekankan bahwa pengalaman masa kecil sangat memengaruhi perkembangan otak dan kesehatan mental di masa dewasa. Anak yang sering diteriaki, ditampar, atau dipermalukan mungkin memang “nurut” dalam jangka pendek. Namun, penelitian menunjukkan pola asuh keras dapat meninggalkan jejak luka batin: rasa rendah diri, kecemasan, atau pola komunikasi penuh konflik ketika mereka dewasa. Sebaliknya, anak yang dibesarkan dengan empati cenderung lebih percaya diri, berani mengungkapkan perasaan, dan peka terhadap orang lain. Mereka belajar bahwa aturan bisa ditegakkan tanpa kekerasan, dan disiplin diinternalisasi sebagai nilai, bukan rasa takut.
Salah kaprah apakah gentle = lembek?
Salah satu alasan gentle parenting kerap disalahpahami adalah karena sebagian konten di media sosial hanya menampilkan sisi kelembutannya. Padahal, esensi gentle parenting justru perpaduan kelembutan dan ketegasan.
Contohnya, saat anak meminta jajan berlebihan. Orang tua gentle tidak serta-merta menuruti semua permintaan dengan alasan kasihan, melainkan menjelaskan bahwa terlalu banyak jajan bisa membuat sakit perut. Meski anak mungkin marah atau ngambek, orang tua tetap konsisten dengan aturan sambil menemani anak menghadapi kekecewaannya. Inilah yang membedakan gentle parenting dengan pola permisif: ada empati, tetapi tetap ada batas.
Relevansi di Indonesia
Di banyak keluarga Indonesia, pola asuh otoriter masih dianggap wajar. Ungkapan “anak harus nurut pada orang tua” sering kali dijadikan tameng untuk membenarkan kekerasan verbal maupun fisik. Di sisi lain, perubahan zaman membuat orang tua generasi milenial dan Gen Z mulai mempertanyakan cara lama yang penuh bentakan.
Gentle parenting menawarkan jalan tengah: disiplin tetap dijaga, tetapi dengan pendekatan yang ramah pada emosi anak. Nilai ini sebenarnya selaras dengan budaya lokal. Dalam falsafah Jawa, misalnya, dikenal pepatah ngemong mendidik dengan mengasuh dan menjaga. Dalam Islam, Nabi Muhammad meneladankan kelembutan dalam mendidik anak. Artinya, gentle parenting bukan konsep asing, melainkan bisa berakar kuat dalam nilai budaya kita.
Tantangan dan kesalahpahaman
Tentu, menerapkan gentle parenting tidak selalu mudah. Tantangan terbesar justru ada pada orang tua sendiri. Dibutuhkan kesabaran ekstra, kemampuan mengelola emosi, serta komunikasi yang baik antara ayah dan ibu.
Sayangnya, tidak semua orang tua mendapat dukungan lingkungan. Masih ada stigma: kalau anak tantrum di depan umum, orang tua yang tidak membentak dianggap gagal mendidik. Atau, keluarga besar yang ikut menghakimi karena melihat gentle parenting sebagai cara modern yang “tidak sesuai budaya”. Padahal, pola ini tidak menolak budaya, hanya menolak kekerasan.
Bagaimana praktiknya di rumah?
Di dalam keseharian, gentle parenting terwujud lewat aturan yang sedikit tapi jelas, bukan larangan yang menumpuk dan berubah-ubah. Orang tua menjelaskan alasan di balik setiap aturan dengan bahasa sederhana agar anak mengerti, bukan sekadar memaksa. Konsekuensi tetap diberlakukan secara konsisten, bukan dalam bentuk hukuman fisik, melainkan konsekuensi logis yang bisa dipahami anak.
Saat anak kecewa, orang tua memberi ruang untuk mengekspresikan emosinya tanpa merasa terancam. Kalimat sederhana seperti “Ibu tahu kamu kesal” menjadi cara untuk memvalidasi perasaan, sembari mengajarkan bahwa marah itu wajar tetapi tidak boleh merugikan orang lain. Yang terpenting, orang tua sendiri belajar menahan reaksi impulsif.
Selain itu, gentle parenting juga menekankan kerja sama ayah dan ibu. Keduanya harus sejalan agar anak tidak bingung dengan aturan yang berbeda. Evaluasi rutin di antara orang tua-misalnya membicarakan apa yang berhasil dan apa yang masih sulit-menjadi kunci keberlangsungan pola asuh ini.
Dengan demikian, gentle parenting bukan sekadar teori, melainkan praktik nyata yang membentuk lingkungan rumah penuh kehangatan, ketegasan, dan konsistensi.
Dengan data terbaru dari WHO, UNICEF, dan penelitian psikologi perkembangan, arah besar sudah jelas: kekerasan bukan lagi alat didik. Gentle parenting bukan tren sesaat, tetapi pendekatan yang menegakkan disiplin dengan cara yang lebih sehat dan manusiawi.
Kita bisa menegakkan batas tanpa bentakan. Kita bisa mengajarkan tanggung jawab tanpa merendahkan. Dan kita bisa membesarkan anak yang Tangguh karena ia tumbuh dari rumah yang aman, penuh empati, serta konsisten. Gentle parenting bukan tentang anak yang manja, melainkan tentang membesarkan manusia yang utuh: tegas, berempati, dan berani bertanggung jawab.
———– *** ———–


