Oleh :
Dr Alfian Dj MH
Staf Pengajar Madr Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta
Generasi Z yang lahir pada rentang tahun 1997 hingga 2012 merupakan generasi yang dibesarkan dalam era digital. Berbagai aktivitas, mulai dari membaca, menonton film, hingga berbelanja dapat dilakukan dengan sentuhan layar smartphone.
Belakangan ada fenomena menarik, di tengah gempuran serta laju digitalisasi yang tidak pernah berhenti, sebuah gerakan baru justru lahir dari generasi yang paling dekat dengan teknologi, Gen Zmulaimencoba untuk merasakan dunia pra Digital, bahkan termasuk didalamnya kembali akrab dengan buku berbentuk fisik.
Pada gelaran Indonesia International Book Fair (IIBF) 24 September 2025.Deretan rak buku banyak yang habis terjual,mulai dari novel fantasi hingga buku filsafat yang berat. hal ini menjadi fenomena menarik ditengah banyaknya kritik terhadap generasi Z.Seiring dengan itu ruang ruang perpustakaan kini kembalimenjadi ruang hidup, ditandai dengan hadirnya anak anak muda yang menjadikan perpustakaansebagai tempatuntuk berdiskusiserta membangun percakapan tanpa notifikasi smartphone.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) dan Perpustakaan Nasional (Perpusnas) memperkuat fakta di atas, di mana Indeks Tingkat Kegemaran Membaca (TGM) Nasional terus meningkat dan mencapai angka menggembirakan pada 2024.Rentang usia usia 15-26 tahun menjadi penyumbang terbesar TGM tersebut, hal ini membuktikan Gen Z menjadi kelompok usia paling aktif menggunakan platform perpustakaan digitaldi iPusnas.
Meski ada indikasi kembali ke dunia fisik, Gen Z sebenarnya tidak benar benar menjauhi digital.Mereka menggabungkan keduanya dalam satu alur.dalam perkembangannya kini ada yang dinamakan Currently reading yangmerupakan istilah untuk menunjukkan aktifitas buku yang sedang dibaca, Kehadiran tren currently reading tidak hanya membuat aktivitas membaca terasa lebih menyenangkan dan relevan dengan kehidupan digital, tetapi juga memotivasi banyak orang untuk meningkatkan minat membaca untuk konsisten menyelesaikan buku yang dibaca.
Gen Z juga membangun komunitas buku di media sosial, ada BookTok (TikTok) dan bookstagram (Instagram), gerakan ini membagi rekomendasi buku yang layak dibaca sebagai tren, gerakan ini menimbulkan efek domino yang cepat menyebar sehingga menimbulkan efek Fear of Missing Out ( FOMO) yang positif sehingga menumbuhkan minat membaca antar mareka.
Aktivitas membaca yang dulu terasa personal, berubah menjadi pengalaman kolektif yang hangat dan menyenangkan.Kebangkitan literasi bukan lagi sekadar slogan,gerakan semakin berdenyut dan dapat disaksikan langsung di toko toko buku yang kembali penuh oleh wajah wajah Generasi Z.
Kini semakin banyak toko toko buku kecil yang artistikbertumbuh.areka datang bukan hanya untuk membeli buku, tetapi juga untuk duduk tenang, membaca pelan atau sekadar meresapi atmosfer yang tidak dapat diberikan oleh layar mana pun. Fenomena ini menegaskan hal fisik dan ruang baca masih punya tempat terhormat di hati generasi yang katanya paling digital.
Toko toko buku kecil hingga perpustakaan yang tersebar di berbagai sudut kotamenjadi tempat bernafas bagi Gen Z yang ingin “melambat” sejenak dari bisingnya dunia daring, rak rak penuh buku, diskusi hangat telah kembali menjadi teman berbagi setidaknya itulah yang mulai terlihat di Yogyakarta yang selama ini lekat dengan kota pelajar.
Era digital bukanlah titik akhir, melainkan sebuah persimpangan menuju keseimbangan baru antara teknologi dan keheningan, layar dan kertas bisa berjalan berdampingan tanpa saling meniadakan.Arah baru yang ditempuh Gen Z bukanlah bentuk kemunduran, melainkan ajakan kembali pada sisi manusia yang sempat dikepung notifikasi tanpa henti.
Kenaikan literasi Gen Z yang diwarnai oleh budaya visual dan kecepatan media sosial ini harus menjadi titik refleksi bersama.Meskipun kebangkitan ini patut diapresiasi, kita perlu mencermati apakah peningkatan kuantitas bacaan terutama fiksi ringan dan pengembangan diri berbanding lurus dengan peningkatan kualitas literasi kritis dan literasi data mereka.
Di tengah arus informasi yang serba cepat dan rentan disinformasi, tantangan sesungguhnya bukanlah sekadar membuat anak muda membaca, melainkan melatih mereka agar mampu menganalisis konteks secara mendalam, memverifikasi sumber informasi, dan menghindari jebakan bias algoritma. Tren membaca ini dapat menjadi fondasi yang kokoh untuk membentuk Gen Z sebagai generasi yang cakap, kritis, dan bertanggung jawab dalam ekosistem digital untuk Indonesia yang lebih baik dimasa yang akan datang.
————– *** —————-


