Oleh:
Estu Widiyowati
Dosen Ilmu Komunikasi, Universitas Slamet Riyadi, Surakarta
Banjir besar yang melanda sejumlah wilayah di Sumatera pada akhir tahun ini kembali menjadi pengingat pahit bahwa bencana di Indonesia tidak pernah sekadar persoalan curah hujan. Dalam beberapa pekan terakhir, publik dibanjiri berbagai pemberitaan mengenai rusaknya jembatan, longsor yang menutup jalur logistik, ribuan warga mengungsi, serta aktivitas ekonomi yang lumpuh total. Media nasional dan daerah berlomba menurunkan laporan. Namun, di tengah derasnya informasi, terdapat satu pertanyaan mendasar yang justru mengendap di bawah permukaan, “Apakah banjir di Sumatera memang “bencana alam”, atau sesungguhnya kegagalan tata kelola ruang dan lingkungan?”
Pertanyaan ini krusial, karena bagaimana media membingkai (framing) sebuah bencana akan menentukan bagaimana publik memaknainya, dan lebih jauh lagi – ke arah mana pemerintah akan didorong untuk bertanggung jawab. Bila banjir semata dipotret sebagai “musibah alam”, maka negara cukup hadir memberikan bantuan, berupa sembako, tenda darurat, perahu evakuasi. Namun jika media menyodorkan fakta bahwa banjir adalah akibat pembiaran kerusakan ekosistem, tata ruang yang dilanggar, hingga lemahnya pengawasan industri ekstraktif, maka yang dituntut bukan sekadar respon darurat, melainkan perbaikan kebijakan struktural.
Disinilah pentingnya membedah konstruksi media. Bagaimana media membingkai banjir Sumatera bukan hanya menentukan narasi, melainkan distribusi tanggung jawab.
Ketika Bencana Dilaporkan, Siapa yang “Bersalah”?
Laporan investigatif Tempo, juga media lainnya, terkait penyebab banjir di Sumatera memperlihatkan bahwa banjir ini tidak dapat dilepaskan dari kerusakan daerah aliran Sungai, maraknya aktivitas tambang batubara, dan pembukaan lahan yang tidak terkendali. Temuan awal penyelidikan, sebagaimana diberitakan, mengungkapkan indikasi kuat bahwa banjir terjadi akibat kombinasi curah hujan ekstrem dan buruknya tata kelola ruang yang dilegalkan oleh izin – izin yang diberikan pemerintah daerah maupun pusat.
Namun, yang menarik adalah bagaimana mayoritas media lain membingkai peristiwa yang sama. Pada hari – hari awal, sebagian besar judul berita mengarah pada narasi “Hujan Ekstrem Picu Banjir”, “Cuaca Buruk Lumpuhkan Akses Transportasi”, “Banjir Meluas, Ribuan Warga Mengungsi”. Tidak ada yang salah dengan fakta tersebut. Tetapi ada sesuatu yang hilang, yakni “dimana akar masalahnya?”. Media sering berhenti di permukaan – pada visual dramatis, pada angka kerusakan, tetapi absen menggali penyebab struktural yang menempatkan masyarakat pada risiko.Framing “bencana sebagai musibah alam” seolah menjadikan banjir sebagai fenomena yang tidak bisa dihindari. Seperti takdir. Padahal laporan investigatif justru menunjukkan adanya relasi kuat antara kerusakan lingkungan dan keputusan politik.
Framing Media dan Politik Pengetahuan tentang Bencana
Dalam kajian komunikasi, framing bukan sekadar bagaimana media menulis berita, tetapi bagaimana media mengarahkan publik untuk berpikir. Robert Entman (1993) menyebut framing sebagai upaya mengangkat aspek tertentu dari realitas untuk menonjolkan masalah, menjelaskan penyebab, membuat penilaian moral, dan menawarkan solusi.
Dalam pemberitaan banjir yang melanda Sumatera, media menampilkan dua konstruksi naratif yang berbeda, keduanya mempengaruhi cara publik memahami bencana. Frame alamiah menjadi bingkai yang paling sering muncul pada pemberitaan arus utama. Narasi ini menggambarkan banjir sebagai konsekuensi dari hujan ekstrem, cuaca yang tidak menentu, serta pengaruh perubahan iklim global. Dalam konstruksi ini, air yang meluap adalah fenomena alamiah yang tak terhindarkan; seolah – olah banjir hadir begitu saja tanpa keterkaitan dengan keputusan manusia. Pemerintah daerah pun digambarkan berada di garis depan “bekerja keras” mengevakuasi warga, menyiapkan posko darurat, dan menyalurkan bantuan. Visual para pejabat turun ke lokasi, meninjau jembatan rusak, atau menenangkan pengungsi memperkuat posisi mereka sebagai pihak yang “turut menjadi korban” dari situasi yang tidak dapat dikendalikan.
Framing semacam ini memunculkan sejumlah implikasi sosial dan politik yang kuat. Publik cenderung bersimpati karena melihat banjir sebagai musibah murni; pemerintah terhindar dari kritik karena digambarkan sebagai aktor yang sedang berjuang, bukan sebagai pihak yang berperan dalam membentuk risiko. Lebih jauh, narasi alamiah membuat akar persoalan – kerusakan tata ruang, eksploitasi lahan, pembukaan kawasan hutan tanpa kendali – menjadi samar, tenggelam di bawah derasnya laporan situasional. Pada akhirnya, pemberitaan berhenti pada gejala, bukan penyebab.
Berbeda dengan itu, sebagian media lain menggunakan frame kesalahan manusia (human – induced disaster frame), yang menempatkan banjir bukan sebagai takdir, melainkan akibat dari serangkaian keputusan dan kelalaian struktural. Laporan investigatif suatu media, misalnya, menampilkan data faktual mengenai penggundulan hutan, tumpukan sedimentasi akibat pertambangan, lubang – lubang eks tambang yang tak direklamasi, hingga alih fungsi lahan yang menghilangkan daerah resapan. Dalam bingkai ini, banjir dipahami sebagai konsekuensi logis dari tata kelola yang salah arah – bukan hujan yang tiba – tiba menjadi lebih ganas, tetapi lingkungan yang dibuat semakin rapuh oleh ulah manusia.
Narasi seperti ini membawa implikasi politik yang berbeda pula. Publik tidak lagi melihat banjir sebagai musibah pasif, melainkan sebagai hasil dari kebijakan yang buruk, sehingga muncul tuntutan terhadap pemerintah untuk memberikan penjelasan. Pemerintah tidak lagi cukup difoto sedang membagikan bantuan; mereka harus menjawab mengapa izin tambang dikeluarkan di wilayah rawan, mengapa hutan ditebang tanpa pengawasan, dan mengapa tata ruang diabaikan. Tekanan publik menjadi lebih terarah, bukan pada penanganan darurat semata, tetapi pada perbaikan regulasi, pengetatan izin, dan reformasi tata kelola ruang.
Dua bingkai tersebut menciptakan dua realitas yang berbeda, satu, menjadikan banjir sebagai fenomena alam semata, dan yang kedua, menelanjangi bencana sebagai produk keputusan manusia. Pilihan frame yang digunakan media, pada akhirnya, menentukan kemana arah perbincangan publik bergerak – apakah menuju empati dangkal, atau menuju akuntabilitas struktural.
Sumatera sebagai “Luka Hidrologis”: Bukan Sekadar Musibah
Sumatera bukan panggung bagi banjir tiba – tiba yang muncul tanpa jejak. Sejarah panjang mencatat bahwa sejak masa kolonial, banjir bandang sudah pernah berulang kali menerjang berbagai wilayah, dari Lembah Anai hingga kawasan pegunungan dan dataran rendah. Namun dalam dua dekade terakhir, frekuensi dan intensitas banjir besar tampak meningkat, dan bukan hanya dipicu oleh hujan deras semata. Realitas alam pulau ini kini sulit dilepaskan dari jejak manusia – tutupan hutan semakin menyusut, izin tambang dan perkebunan sawit menebar ke kawasan hulu, dan daerah resapan air serta daerah aliran sungan (DAS) terus menyempit akibat alih fungsi lahan.
Dengan kata lain, apa yang tampak di permukaan sebagai bencana alam, sesungguhnya adalah puncak gunung es – akumulasi degradasi ekologis dan keputusan kebijakan selama bertahun – tahun. Banjir bandang yang saat ini terjadi di Sumatera, seharusnya menjadi “alert” kolektif, bahwa pulai ini sedang memasuki fase krisi ekologis, bukan hanya pada aspek cuaca, tetapi sistem. Jika kita terus membiarkan kerusakan hutan, membuka izin ekstraktif tanpa mitigasi, dan mempertajam alih fungsi lahan tanpa evaluasi lingkungan, maka musim hujan berikutnya bukan hanya soal genangan, tetapi tentang terulangnya tragedi, dengan korban jiwa, kehilangan aset, dan kehancuran ekosistem.
Banjir di Sumatera bukan “kejadian takdir”. Ia adalah cerminan bagaimana manusia telah mengubah wajah alam secara sistemik. Bila media dan publik terus melihatnya sebagai “bencana alam”, maka akar masalah tak pernah tersentuh. Tetapi jika kita berani memahami banjir sebagai akibat kegagalan tata kelola lingkungan, maka peta tanggung jawab berubah, bukan hanya tugas BPBD atau relawan darurat, tetapi tanggungjawab bersama – korporasi, pemerintah, dan kita sebagai masyarakat.Dengan demikian, tugas media, akademisi, aktivis, dan masyarakat sipil adalah mengubah bingkai, dari bencana alam menuju kegagalan tata kelola; dari simpati sesaat menuju tuntutan keadilan ekologis; dari tanggap darurat menuju pencegahan struktural.
Hanya dengan kerangka demikan, upaya penanggulangan bencana bisa melebar dari perahu darurat dan tenda pengungi, kea rah rehabilitasi ekologis, regulasi yang adil, dan tata ruang yang menghormati hak hidup alam serta manusia.
———— *** —————-


