29 C
Sidoarjo
Monday, November 25, 2024
spot_img

Fenomena Berpantun Dewasa ini


Oleh :
Daroe Iswatiningsih
Dosen FKIP, Magister Pendidikan Bahasa Indonesia dan Kepala Lembaga Kebudayaan Universitas Muhammadiyah Malang

Musim hujan menanam padi
Bertemu teman duduk bersua
Media Bhirawa jendela negeri
Baca dan belajar wujudkan cita

Saat ini membacakan pantun menjadi sebuah tradisi dalam mengawali atau membuka acara. Beragam acara yang penulis ikuti seperti konferensi, webinar, seminar, lokakarya, sambutan wisuda, dan yang lain selalu terselip pembacaan pantun. Tentu hal ini membuat suasana acara hidup dan ceria. Biasanya peserta akan menimpali kata “cakep” dengan irama panjang di setiap baris yang dibacakan. Di akhir pantun peserta akan bertepuk tangan, terlebih jika pantun yang dibacakan sangat kontekstual.
Pantun merupakan salah satu bentuk puisi tradisional Melayu yang sudah dikenal sejak lama di Nusantara. Sebagai bagian dari budaya lisan, pantun berkembang di tengah-tengah masyarakat sebagai sarana komunikasi, hiburan, serta media untuk menyampaikan pesan moral dan nasihat. Keberadaan pantun mencerminkan kekayaan budaya dan keindahan bahasa masyarakat Nusantara. Dengan pola khas berupa empat baris (dua baris sampiran dan dua baris isi) serta rima a-b-a-b.
Pantun tidak hanya berfungsi sebagai sarana komunikasi, tetapi juga sebagai media untuk menyampaikan nilai-nilai sosial, norma, hingga kritik yang bersifat halus namun mendalam. Di tengah perkembangan zaman, pantun tetap memiliki tempat dalam kehidupan masyarakat dan terus relevan, terutama setelah pengakuannya oleh UNESCO pada tahun 2020 sebagai Warisan Budaya Tak Benda Dunia. Tulisan ini membahas pantun sebagai representasi budaya dan dinamika sosial masyarakat Indonesia, relevansinya dalam pembelajaran, serta pentingnya pengakuan UNESCO bagi pelestarian pantun.

Pantun Cerminan Budaya Lokal
Pantun mengandung pesan-pesan yang mencerminkan nilai-nilai budaya dan kehidupan masyarakat. Dalam masyarakat tradisional, pantun sering digunakan sebagai sarana pengajaran moral, penghiburan, ungkapan cinta, persahabatan, dan kebijaksanaan. Penggunaan sampiran dan isi yang seimbang mencerminkan keharmonisan dalam kehidupan sosial, di mana sampiran berperan sebagai pengantar atau penghubung, sedangkan isi menyampaikan makna atau pesan utama. Hal ini selaras dengan sifat masyarakat Indonesia yang cenderung mengedepankan keselarasan dan keseimbangan dalam berinteraksi. Seorang pakar sastra Melayu, James T. Collins (1998), menyatakan bahwa pantun bukan hanya sekadar permainan kata, tetapi juga wadah bagi masyarakat Melayu untuk menyampaikan gagasan, kepercayaan, dan nilai-nilai sosialnya.
Adapun budaya apa saja yang tercerminkan dalam sebuah pantun? Sebagaimana pandangan Koentjaraningrat (1993), bahwa terdapat tujuh unsur kebudayaan secara universal, yakni, 1) sistem mata pencaharian, 2) sistem teknologi dan peralatan, 3) sistem pengetahuan, 4) bahasa, 5) kesenian, 6) religi, dan 7) sistem organisasi kemasyarakatan. Untuk itu, pantun dapat mencerminkan berbagai unsur budaya tersebut bergantung pada konteks penggunaannya. Misalnya, pada tradisi “Pantun Palang Pintu” masyarakat Betawi. Masing-masing perwakilan kedua keluarga akan menggunakan pantun berbalas untuk mengiringi proses pernikahan. Pantun mereka bersifat jenaka, humor, nasihat, kesiapan dan kesunguhan mempelai, dan nasihat.
Dalam pembelajaran bahasa Indonesia, beberapa pantun yang dihasilkan mahasiswa dari berbagai wilayah di Indonesia mencerminkan kearifan lokal budaya setempat. Beberapa aspek budaya yang digambarkan mencakup, kuliner, produk lokal, tradisi, adat istiadat, kesenian, destinasi wisata, kekayaan alam, mitos, dan bahasa. berikut contoh pantun.
Ke Tarakan naik sampan
Menikmati malam sambal berdendang
Temburungan enak dibumbu santan
Rasa khasnya bikin lidah bergoyang (Herlin, Saba)

Berita Terkait :  Tragedi Rafah dan Bukti Cacatnya Hukum Internasional

Tari Pakarena ada di Makassar
Tari Remo ada di Surabaya
Hormat adat budaya sekitar
agar hidup rukun antar sesama (Abd, Rahman, Makassar)

Pantun dan Dinamika Sosial
Dalam sejarahnya, pantun berfungsi sebagai alat untuk mengekspresikan perubahan dan dinamika sosial yang terjadi di tengah masyarakat. Pantun dapat memuat kritik sosial yang disampaikan dengan cara halus dan estetis. Misalnya, pantun yang berisi sindiran terhadap perilaku yang tidak sesuai dengan norma masyarakat. Menurut Ahmadi (2015), Pantun sering digunakan sebagai sarana kritik sosial, tetapi disampaikan dengan cara yang tidak frontal sehingga tidak menimbulkan konflik. Oleh karena itu, pantun memiliki fleksibilitas sebagai media untuk menyampaikan pesan moral, sosial, bahkan politik dalam format yang menyenangkan dan tidak menggurui. Tentu pantun yang menarik untuk dibacakan dalam suatu acara yang sesuai dengan situasi dan kondisi, dengan kata lain yang bersifat kontekstual.
Di era modern, pantun masih tetap hidup meskipun bentuk dan penggunaannya telah mengalami perubahan. Di berbagai kesempatan, baik acara nonformal maupun acara formal, pantun sering digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan ringan atau humoris. Hal ini menunjukkan bahwa pantun mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman dan tetap relevan meski dunia telah berubah secara signifikan. Misalnya, pada era digital, pantun sering digunakan dalam konten-konten digital untuk menghibur atau menyampaikan kampanye sosial yang relevan dengan situasi masyarakat. Berikut contoh pantun yang kontekstual, dibacakan saat menerima mahasiswa baru.
Kampus UMM putih warnanya
Diminati banyak mahasiswa
Maba Bahasa Indonesia Menyala
Calon sukses generasi bangsa

Berita Terkait :  "Wajib Aman" di Smelter

Relevansi Pantun dalam Pembelajaran
Pantun memiliki nilai edukatif yang tinggi, terutama dalam pembelajaran bahasa dan sastra di sekolah. Pantun dapat digunakan untuk mengajarkan keterampilan berbahasa, seperti memahami pola rima, kosa kata, metafora, serta pengembangan imajinasi siswa. Menurut Rahmah (2020), “Pantun merupakan bentuk sastra yang ideal untuk melatih kemampuan berpikir kreatif dan kritis siswa, karena mereka harus memikirkan hubungan antara sampiran dan isi dengan cara yang unik dan estetis”. Selain itu, pantun juga dapat digunakan untuk mengajarkan nilai-nilai moral dan budaya, karena banyak pantun yang berisi pesan-pesan etika dan perilaku baik.
Sejak diakui oleh UNESCO sebagai Warisan Budaya Tak Benda Dunia pada 17 Desember 2020, pantun mendapat perhatian lebih besar di kalangan masyarakat global. Pengakuan ini tidak hanya menunjukkan pentingnya pelestarian pantun sebagai warisan budaya, tetapi juga menegaskan bahwa pantun memiliki nilai universal yang dapat diterima di berbagai belahan dunia. Sebagai bagian dari pendidikan, pengakuan ini dapat menjadi pendorong bagi sekolah-sekolah dan para guru umumnya untuk lebih serius memasukkan pantun ke dalam kurikulum sebagai salah satu bentuk ekspresi budaya yang patut dipelajari dan dilestarikan.
sebagai penuup, bahwa pantun sebagai salah satu bentuk sastra lisan tradisional Indonesia memiliki peran penting dalam mencerminkan budaya dan dinamika sosial masyarakat. Kehadirannya dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam bentuk tradisional maupun modern, menunjukkan fleksibilitas dan kekuatan pantun sebagai media komunikasi. Pengakuan UNESCO terhadap pantun sebagai Warisan Budaya Tak Benda Dunia menjadi pengingat penting akan nilai budaya ini dan pentingnya melestarikannya, terutama dalam konteks pembelajaran di sekolah-sekolah. Pantun bukan hanya warisan budaya, tetapi juga media yang dapat mengajarkan nilai-nilai penting bagi generasi muda dalam menghargai bahasa, kreativitas, dan moralitas.

Berita Terkait :  Awasi Ketat Implementasi Permenperin 46/22 Demi IKM

———– *** ————–


Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Berita Terbaru

spot_imgspot_imgspot_img