Oleh :
Ahmad Fatoni
Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Malang
Ketika hujan mengguyur dan banjir menenggelamkan beberapa daerah di tanah air, kita sering menyalahkan cuaca. Padahal, cuaca hanyalah cermin dari moral manusia terhadap alam. Kerusakan lingkungan yang kian parah sejatinya bukan sekadar problem ekologis, tetapi krisis spiritual yang menyingkap rusaknya hubungan manusia dengan sesama makhluk Tuhan. Di titik inilah, fatwa keagamaan seharusnya tak berhenti pada urusan ibadah ritual, melainkan masuk ke wilayah ekologis yang berakar dari kesadaran kosmik.
Dalam ajaran Islam, manusia diciptakan bukan untuk menjadi penguasa mutlak atas alam, melainkan khalifah yang memelihara keseimbangannya. Al-Qur’an telah memperingatkan, “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh ulah tangan manusia.” (Q.S. Ar-Rum: 41). Polusi udara, pencemaran sungai, deforestasi, dan pemanasan global bukan sekadar statistik, tetapi wujud dosa ekologis yang dikemas dalam simbol kemakmuran.
Bila kesalehan hanya dimaknai sebagai kesibukan ritual, sementara pohon ditebang dan sungai dikotori, maka agama kehilangan roh etisnya. Kesalehan ekologis justru menuntut keberanian menata ulang paradigma keagamaan bahwa iman tanpa tanggung jawab sosial terhadap alam adalah iman yang timpang. Tugas para ulama dan institusi keagamaan hari ini adalah memperluas horizon fatwa, dari halal-haram makanan menuju halal-haram tindakan terhadap lingkungan.
Konsep tauhid dalam Islam bukan sekadar pengesaan Tuhan, melainkan juga kesadaran akan kesatuan eksistensial antara manusia dan alam. Dalam pandangan ekoteologis, alam bukan objek eksploitasi, tetapi bagian dari sistem tauhid yang menuntut harmoni. Itu sebabnya, merusak lingkungan sama halnya menodai prinsip keesaan Tuhan dalam wujud ciptaan-Nya.
Gagasan fatwa ekologis perlu mempertegas kembali bahwa menjaga alam adalah kewajiban agama. Sejumlah lembaga Islam di dunia, termasuk Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) No. 86 Tahun 2023, telah mengeluarkan fatwa tentang pelestarian lingkungan, energi bersih, hingga larangan pembakaran hutan. Namun, fatwa-fatwa itu sering berhenti di teks, tak bertransformasi menjadi gerakan sosial.
Dari ritual ke aksi sosial
Fatwa ekologis seharusnya tidak hanya bersifat normatif, tetapi senyatanya memantik perubahan perilaku kolektif. Artinya, ia mesti menyentuh kebijakan publik, kurikulum pendidikan, dan gaya hidup masyarakat. Seorang hamba Tuhan yang menanam pohon, mengelola sampah dengan benar atau menolak praktik industri destruktif sejatinya sedang menjalankan perintah agama. Fatwa semacam ini menunjukkan bahwa ibadah ekologis adalah bagian tak terpisahkan dari ibadah sosial.
Dalam sejarah Islam, Nabi Muhammad SAW sudah mencontohkan bentuk kesalehan ekologis jauh sebelum istilah lingkungan hidup dikenal. Saat ihram, jamaah haji dilarang menebang pohon dan menyakiti binatang. Nabi bahkan mendirikan hima (cagar alam) di sekitar Madinah untuk menjaga keseimbangan ekosistem. Nilai-nilai ini menjadi bukti Islam yang menempatkan ekologi sebagai bagian dari spiritualitas.
Kini, pesan-pesan ekologis itu perlu diterjemahkan ulang ke konteks modern. Tantangan kita bukan lagi sekadar mengajarkan “jangan merusak bumi”, melainkan menciptakan sistem sosial yang berpihak pada kelestarian alam. Sekolah, pesantren, dan kampus keagamaan dapat menjadi pusat perubahan. Pendidikan Islam mesti menginternalisasi ajaran taw?zun (keseimbangan) dan taw?suth (kesederhanaan) dalam kehidupan ekologis, mulai dari pola konsumsi, pengelolaan sampah, hingga energi terbarukan.
Ketika fatwa ekologis dikontekstualisasikan dalam kurikulum dan budaya masyarakat, kesalehan sosial menemukan wujud konkret, yaitu masyarakat yang bersih, hijau, dan bertanggung jawab. Dengan demikian, kesalehan tidak berhenti di sajadah, namun mengejawantah di jalanan, di sungai, di hutan, dan di ruang publik tempat manusia berinteraksi dengan ciptaan Tuhan lainnya.
Krisis lingkungan global hari ini bukan sekadar bencana alam, melainkan krisis yang lahir karena manusia kehilangan rasa syukur dan takwa terhadap alam. Fatwa ekologis menjadi relevan bukan karena keunikan istilahnya, tetapi karena mampu merekatkan kembali spiritualitas dan tanggung jawab sosial.
Peluang membangun gerakan hijau berbasis Islam sangat besar. Masjid, pesantren, dan ormas keagamaan memiliki basis massa dan jaringan luas. Bayangkan jika setiap khutbah Jumat menyisipkan pesan lingkungan, setiap lembaga zakat menyalurkan dana hijau, dan setiap fatwa mendorong gaya hidup berkelanjutan. Indonesia tak hanya akan menjadi negara religius, tetapi juga perintis etika ekologis di dunia Muslim.
Kesalehan sosial yang berkelanjutan
Kesalehan sosial masa depan bukan lagi diukur dari seberapa sering seseorang beribadah, tetapi sejauh mana ibadahnya berdampak bagi kehidupan. Fatwa ekologis hadir untuk menjembatani dua ranah itu dengan membuat agama kembali relevan dengan tantangan zaman. Dalam konteks ini, pelestarian lingkungan bukan isu sekuler, melainkan bentuk ibadah yang menghidupkan nilai rahmatan lil ‘?lam?n.
Islam sejatinya telah menanamkan prinsip al-ishl?h (perbaikan), al-intif?’ (pemanfaatan secara bijak), dan al-i’tib?r (pengambilan pelajaran dari alam). Ketiganya menjadi pondasi etika konservasi dalam Islam. Bila prinsip-prinsip itu dihidupkan secara berkelanjutan dalam ruang sosial dan kebijakan publik, umat beragama tidak hanya menjadi pelaku ritual, tetapi pelindung bumi.
Masa depan kesalehan sosial ditentukan oleh sejauh mana nilai-nilai agama dihadirkan demi menyembuhkan luka ekologis. Internalisasi nilai-nilai agama berbasis lingkungan tersebut dapat dilakukan dengan mendorong kesadaran masyarakat untuk mewujudkan adab keagamaan melalui pelestarian alam dan lingkungan sebagai rumah bersama sesama makhluk Tuhan.
————- *** —————-


