Seluruh Pemerintah Daerah sedang mem-fasilitasi sertifikasi produk halal, sebagai pengungkit perekonomian kreatif. Terutama pada kalangan usaha mikro dan ultra-mikro (UMUM). Sasaran sertifikasi produk halal juga meliputi penyebelihan ternak, khususnya pemotongan ayam. Kalangan pelaku UMUM berkontribusi pada Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Jawa Timur, sampai sebesar 59,18%. Mayoritas. Namun umumnya usaha ultra-mikro dan mikro, tidak mampu mengurus sertifikasi produk halal.
Fasilitasi sertifikat produk halal menjadi pengharapan. Karena banyak persyaratan menyulitkan, harga mahal, dan waktunya sangat lama. Maka Pemda bersama stake-holder terkait (Kementerian Agama), bisa ber-sinergi me-mudah-kan usaha “wong cilik.” Namun juga terdapat ke-enggan-an pelaku usaha mikro melaksanakan sistem produk halal. Antara lain cara penyembelihan ayam, di berbagai sentra penyembelihan.
Berdasar telaah masyarakat, masih banyak penyembelihan dilakukan sekedar menggores leher ayam. Sehingga ayam tidak mati karena disembelih. Melainkan mati karena terendam air panas. Cara “gorok rendam,” tergolong tidak halal. Maka diperlukan bimbingan melalui program pelatihan “juleha” (juru penyembelihan halal). Ayam telah menjadi menu masakan paling favorit di Indonesia. Masakan sehar-hari rumah tangga, warung makan, restoran, sampai hotel, menyajikan menu ayam.
Berdasar perkiraan World Markets and Trade, memperkirakan produksi daging ayam dunia tahun 2024 bisa mencapai 102,3 juta ton (meningkat sekitar 1% dibanding tahun 2023). Produksi nasional mencapai 3,998 juta ton. Terutama disokong Jawa Barat (899.588 ton), Jawa Tengah 791.997 ton, dan Jawa Timur (552.556 ton). Rata-rata peternak ayam nasional kategori peternak kecil (mandiri). Walau sebagian juga menempuh peternak “plasma” dengan Perusahaan pakan.
Rantai perdagangan ayam pedaging patut difasilitasi pemerintah daerah. Terutama memenuhi persyaratan ke-halal-an. UU Nomor 33 Tahun 2013 Tentang Jaminan Produk Halal (JPH), seharusnya telah berlaku sejak tahun 2015. Tetapi hampir satu dekade, belum terlaksana secara baik. Padahal seharusnya, setiap produk makanan, minuman, dan obat-obatan, wajib mencantumkan label “halal.” Kini sudah terdapat logo “halal” yang baru.
Tanda produk “halal” dengan logo baru, wajib di-cantum-kan pada setiap produk makanan dan minuman. Termasuk obat, dan vaksin. Seluruh prosedur regulasi (Peraturan Pemerintah sampai Peraturan Menteri) telah diterbitkan. Begitu pula mengurus sertifikasi “halal” dijamin mudah, dan transparan, antara lain melalui online. Ke-halal-an, dulu menjadi domain MUI (Majelis Ulama Indonesia), tetapi kini menjadi tanggungjawab pemerintah (Kementerian Agama). Walau penelitian ke-halal-an tetap dilaksanakan MUI sebagai penguji.
UU Tentang Jaminan Produk Halal (JPH), meng-amanat-kan jaminan produk halal dilaksanakan oleh Menteri. Berdasar UU JPH pasal 5 ayat (3) Kementerian Agama telah membentuk Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Label logo “halal” menjadi mandatory (kewajiban) berdasar UU JPH. Pada pasal 37, BPJPH diberi hak penetapan label halal yang berlaku selingkup nasional. Selama ini logo (lama) masih dikeluarkan oleh MUI.
UU JPH pada pasal 39, menyatakan “Pencantuman Label halal … harus mudah dilihat dan dibaca serta tidak mudah dihapus, dilepas, dan dirusak.” Terdapat frasa kata “mudah dilihat dan dibaca” sebagai perlindungan awal konsumen (tidak ragu tercampur bahan haram). Ke-halal-an produk konsumsi menjadi urusan tanggungjawab negara terhadap rakyatnya.
Pemerintah daerah bisa bekerja dengan Kementerian Agama, menyokong pemberian sertifikasi “halal.” Upaya perlindungan konsumen yang mayoritas (88%) beragama Islam, wajib dilakukan pemerintah. Terutama terhadap seluruh produk makanan dan minuman, serta berbagai jenis obat-obatan. Tak terkecuali rumah potong hewan (berkaki empat), dan penyembelihan ayam. Bahkan jasa keuangan (perbankan dan asuransi) juga wajib mengurus sertifikasi halal.
——— 000 ———