Oleh :
Kornelius Erwin Banggo
Penulis adalah mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya sedang menempuh mata kuliah Media and Cultural Studies
Tiktok Akhir-akhir ini, ramai banget sama konten yang menampilkan kehidupan sederhana di desa mulai dari rumah papan kayu, anak-anak main lumpur saat hujan, sampai ibu-ibu masak pakai kayu bakar. Semuanya dikemas pakai filter sinematik dan lagu mello biar keliatan menyentuh. Narasinya pun selalu sama, meski hidup susah, tapi tetap bahagia. Banyak orang tersentuh, share, dan komen positif. Tapi, di sisi lain, tren ini juga bikin banyak orang mikir, ini konten jujur atau justru cara baru meromantisasi kemiskinan?
Media Nggak Cuma Nunjukin Realita, Tapi Juga Bikin Kita Percaya Sesuatu
Stuart Hall, salah satu tokoh penting dalam kajian Cultural Studies, bilang kalau media itu bukan sekadar cermin yang nunjukkin kenyataan, tapi juga alat yang bikin kita percaya hal-hal tertentu. Nah, kalau media dalam hal ini TikTok terus-terusan menampilkan kemiskinan sebagai sesuatu yang adem, syahdu dan penuh rasa syukur bukan nggak mungkin kita malah mikir kalau hidup miskin itu oke-oke aja. Padahal, realitanya nggak semanis itu.
Siapa yang Punya Kendali atas Cerita Ini?
Kalau kita telusuri lebih dalam, banyak konten bertema miskin estetik ternyata dibuat bukan oleh orang miskin itu sendiri. Banyak yang justru datang dari kalangan menengah atau kreator konten yang sekadar cari sensasi. Mereka numpang lokasi di desa, pakai properti seadanya, atau bahkan nyewa anak kecil buat tampil di video biar kelihatan asli. Dalam hal ini, kemiskinan jadi semacam kostum yang bisa dipakai dan dilepas seenaknya demi views. Ada relasi kuasa di sini kelas menengah yang punya kuasa narasi, bisa ngatur cerita soal hidup susah sesuka hati.
Dari Realita ke Romantisasi
Semua orang anggap hidup miskin itu keras akses ke makanan sehat, pendidikan, dan layanan kesehatan sering kali terbatas. Tapi di TikTok, semua itu disulap jadi tontonan estetik. Orang jadi tersentuh, tapi nggak sampai ke tahap mikir kritis atau bertindak. Bahayanya, kita jadi terbiasa melihat kemiskinan sebagai hal yang wajar bahkan indah. Stuart Hall menyebut ini sebagai efek dari representasi dominan ketika suatu gambaran terus diulang-ulang, lama-lama kita nerima itu tanpa banyak nanya.
Konten Viral Nggak Selalu Netral: Ada Ideologi di Baliknya
Semua orang beranggapan Konten kayak gini kelihatannya sepele, tapi sebenarnya bisa jadi alat buat nyebarin ideologi tertentu. Ketika orang miskin ditampilkan sebagai orang yang tetap tersenyum dan bersyukur, kita jadi lupa bahwa kemiskinan itu bukan kondisi yang harus diterima, tapi harus dilawan. Pesan-pesan semacam ini bisa bikin kita jadi puas dalam kondisi terbatas, karena udah disetel pikirannya lewat media. Ini yang disebut Hall sebagai bagian dari hegemoni media dalam budaya populer.
Nggak Cuma Tersentuh, Tapi Harus Sadar dan Kritis
Sebagai mahasiswa komunikasi, kita nggak cukup kalau Cuma bilang kasihan ya atau lucu sih kontennya Kita harus belajar mikir lebih dalam siapa yang bikin konten ini? Tujuannya apa? Bener nggak konten ini mewakili kenyataan? Kalau kita terus-terusan dibanjiri narasi yang bilang miskin nggak apa-apa asal bahagia, bisa-bisa kita tumbuh jadi generasi yang nerima ketimpangan sosial kayak itu hal biasa. Padahal, ini masalah struktural yang perlu dibongkar, bukan dibiarkan.
Jadi Apa yang Bisa Kita Lakuin?
Sebagai anak ilmu komunikasi saya berharap yang Pertama, berhenti asal tidak share konten bertema kemiskinan tanpa mikir. Kedua, support konten yang memang dibuat dari pengalaman nyata masyarakat miskin, bukan rekayasa. Ketiga, gunakan media sosial buat edukasi, bukan buat dramatisasi. Dan terakhir, mulai diskusi di lingkungan kita entah di kelas, organisasi, atau tongkrongan kampus. Karena, kata Paulo Freire, kesadaran sosial itu lahir dari refleksi dan aksi nyata.
Dari Estetika Menuju Etika
Bagi saya Estetika dan etika contoh sebagai panutan utama di sosial media. Kita nggak anti konten desa atau kehidupan sederhana. Tapi kita perlu kritis: apakah konten itu jujur? Apakah ia memperkuat suara orang kecil atau justru numpang tenar di atas penderitaan orang lain? TikTok dan medsos lain bisa banget dipakai buat ngangkat realita yang sebenarnya, selama kita sadar cara makainya. Media itu Cuma alat. Kalau dipakai dengan niat baik dan kritis, dia bisa jadi senjata buat perubahan. [*]
DAFTAR REFERENSI:
Hall, Stuart. (1997). Representation: Cultural Representations and Signifying Practices. London: Sage.
https://uk.sagepub.com/en-gb/eur/representation/book205046
Hall, Stuart. (1997). Cultural Studies and Its Theoretical Legacies.
Freire, Paulo. (1970). Pedagogy of the Oppressed. New York: Continuum.
Kompas.com. (2024). Fenomena Konten Miskin Tapi Bahagia di TikTok
https://www.kompas.com/tren/read/2024/03/02/123456/fenomena-miskin-tapi-bahagia-di-tiktok
Tirto.id. (2023). Romantisasi Kemiskinan: Narasi Bahagia dalam Derita
https://tirto.id/romantisasi-kemiskinan-narasi-bahagia-dalam-derita-gskF
Vice Indonesia. (2022). TikTokers yang Menjual Kemiskinan Demi Konten
The Conversation Indonesia. (2023). Mengapa Romantisasi Kemiskinan Bisa Berbahaya o Vice Indonesia. (2022). TikTokers yang Menjual Kemiskinan Demi Konten.
https://www.vice.com/id/article/93ak4k/romantisasi-kemiskinan-tiktok-indonesia
The Conversation Indonesia. (2023). Mengapa Romantisasi Kemiskinan Bisa Berbahaya.
https://theconversation.com/mengapa-romantisasi-kemiskinan-di-media-sosial-berbahaya-201234
BBC Indonesia. (2023). Ketimpangan dan Kesadaran Kelas dalam Media Sosial.
https://www.bbc.com/indonesia/majalah-61890026
Freire, Paulo. (1970). Pedagogy of the Oppressed. New York: Continuum.