Musim hujan mulai memasuki fase puncak, dengan curah deras sampai 3000 milimeter. Suasana ke-iklim-an hampir selalu menjadi periode jeda perekonomian tingkat grass-root. Khususnya petani, dan nelayan, akan mengalami kemerosotan penghasilan. Hasil panen aneka ragam hortikultura (sayur dan buah-buahan) tidak menggembirakan. Begitu pula nelayan, tidak bisa melaut jauh karena khawatir terjebak badai. Pada jeda perekonomian kerakyatan, diperlukan fasilitasi pemerintah dengan program karitatif.
Seluruh permukaan tanah akan terguyur hujan dengan intensitas lebih besar. Sampai berbagai area di beberapa daerah perlu waspada bencana hidro-meteorologi, berupa banjir dan tanah longsor. Di Sumatera Utara Korban jiwa akibat bencana hidrometeorologi tercatat sebanyak 31 orang. Terutama akibat banjir dan tanah longsor di Sibolangit. Kawasan cagar alam yang indah di Deli Serdang. Kini nampak “berantakan.” Ratusan hektar sawah ladang dan kebun dipastikan puso (tidak panen).
Pada kawasan lain area pesisir, kehilangan harta benda (hasil ladang) karena bencana hidrometeorologi. Sudah banyak tambak (di Jawa Timur), dan kolam ikan di Jawa Barat, disapu hanyut-kan banjir. Serta di kawasan perbukitan, banyak tanaman hortikultura terendam air hujan. Terutama jenis buah-buahan, dan sayur (sawi, kol, tomat, dan kentang), sangat rentan air. Musim petik buah dipastikan tidak menggembirakan. Bahkan cenderung merugi, sudah dialami petani durian.
Dalam suasana turun hujan di laut, berbeda kondisi dengan di darat. Karena di laut biasanya diikuti gelombang tinggi, dan badai. Sudah banyak tragedi kapal “tertelan” ombak. Berdasar prakiraan BMKG, sekitar 67% wilayah Indonesia berpotensi mengalami curah hujan lebih dari 2.500 milimeter per-tahun. Ada juga wilayah yang curah hujannya menembus 5 ribu milimeter per-tahun. Terutama kawasan Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Di Jawa, curah hujan tinggi biasa terjadi di Bogor.
Saat ini suasana di perkampungan nelayan pantai utara Jawa Timur, lebih ramai. Pantai dipadati perahu yang ditambatkan. Begitu pula kapal tongkang juga berlindung di balik perbukitan pulau, menghindari hantaman ombak. Di berbagai pelabuhan Nampak berjajar kapal barang menunda perjalanan. Musim cuaca ekstrem, seluruh “insan kelautan” memilih jeda melaut. Perubahan cuaca bisa terjadi tiba-tiba. Syahbandar memiliki kewenangan mutlak menghentikan operasional seluruh moda transportasi laut.
Pada masa kini, badai dan ombak tinggi, selalu bisa diprediksi. Sehingga bisa dihindari. Di seantero negeri, kewaspadaan iklim “dikawal” oleh BMKG. Sampai telah di-masif-kan metode Sekolah Lapang Cuaca Nelayan (SLCN). Ini sekolah khusus kepada nelayan, dan petugas Syahbandar di pelabuhan kecil. Karena anomali cuaca, SLCN sebagai pemahaman baru menggantikan “ilmu titen” yang biasa dimiliki nelayan dan masyarakat pesisir.
Prakiraan cuaca melalui penjejakan awan, terutama mencegah insiden fatal yang mengakibatkan korban jiwa, dan kerugian material besar. BMKG, melalui SLCN telah meng-edukasi nelayan tentang aspek cuaca, dan informasi teknologi prakiraan lokasi ikan. Diharapkan tidak ada lagi nelayan terjebak cuaca ekstrem. Tidak melaut karena cuaca ekstrem, merupakan penghindaran bencana.
Masyarakat yang tidak dapat mengusahakan nafkah berhak memperoleh bantuan sesuai UU Penanggulangan Bencana. Juga diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2008 Tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana, juga diatur pemberian modal usaha. PP dalam pasal 27 ayat (1), dinyatakan, “Pinjaman lunak untuk usaha produktif diberikan kepada korban bencana yang kehilangan mata pencaharian.”
Pemerintah (dan daerah) seyogianya mulai menggencarkan bantuan kepada masyarakat pedesaan yang rawan bencana. Serta memberi keringanan, dan kemudahan kredit usaha. Sekaligus bisa menunda cicilan utang petani dan nelayan.
——— 000 ———