DPRD Jatim, Bhirawa
Lonjakan kehamilan remaja di Jawa Timur kembali menjadi sorotan setelah BPS mengungkap bahwa 5 dari 100 perempuan pernah kawin mengalami kehamilan pertama di usia 16 tahun ke bawah.
Temuan ini membuat DPRD Jatim angkat suara, menyebut kondisi tersebut sebagai alarm serius rapuhnya ketahanan keluarga dan lemahnya pola pengasuhan anak.
Wakil Ketua Komisi E DPRD Jatim, Hikmah Bafaqih, yang menilai fenomena tersebut sebagai alarm serius rapuhnya ketahanan keluarga di Jawa Timur.
“Angka ini memprihatinkan. Lima dari 100 anak perempuan di Jatim hamil di usia 16 tahun ke bawah. Saya pikir ini problem keluarga, pengasuhan, ekonomi, hingga ketahanan sosial dan spiritual,” tegas Hikmah, Senin (8/12).
Menurut politisi PKB ini, pengalaman panjangnya dalam menangani kasus perempuan dan anak korban kekerasan menunjukkan pola yang sama: mayoritas berasal dari keluarga yang bermasalah.
“Dalam banyak kasus kekerasan, termasuk kekerasan seksual, akar masalahnya hampir selalu keluarga. Tanggung jawab pertama ada di keluarga,” ujarnya.
Hikmah menjelaskan bahwa keluarga yang mengalami kemiskinan, kekerasan, kurangnya pendampingan, hingga lemahnya spiritualitas menyebabkan anak-anak tumbuh tanpa perlindungan yang memadai. Kondisi tersebut membuat mereka lebih rentan terhadap kekerasan maupun kehamilan di usia dini.
Jika keluarga tidak mampu menjadi ruang aman bagi anak, maka menurut Hikmah, lingkungan dan negara harus hadir.
“Kalau situasi keluarga tidak memungkinkan diperbaiki, harus ada campur tangan lingkungan, negara, atau para pemerhati agar anak-anak tidak makin terjerumus dalam masalah,” katanya.
Salah satu solusi yang ia dorong adalah pengasuhan berbasis masyarakat, yaitu sistem perlindungan sosial yang memungkinkan anak dari keluarga bermasalah mendapat pendampingan kolektif.
Nikah Paksa
Hikmah juga menyoroti praktik tradisional yang masih sering terjadi: menikahkan anak yang hamil di luar nikah sebagai solusi instan.
“Ini harus ditinjau ulang. Perkawinan itu mensyaratkan kesiapan mental, spiritual, hingga ekonomi. Menikahkan anak karena ‘sudah terlanjur hamil’ justru bisa menambah beban baru, terutama bagi anak perempuan,” jelasnya.
Ia menegaskan bahwa pernikahan anak tanpa kesiapan adalah tindakan yang tidak adil dan berpotensi menimbulkan masalah jangka panjang, termasuk putus sekolah, kekerasan dalam rumah tangga, hingga kemiskinan berkelanjutan.
Untuk anak yang sudah menikah di usia muda, Hikmah menyarankan agar kehamilan berikutnya ditunda hingga kondisi fisik dan psikologis lebih siap.
“Jika sudah hamil duluan, wajib ada pengawasan kesehatan yang sangat ketat. Mereka sudah siap menjadi ayah dan ibu, sehingga butuh support system dari orang dewasa sekitar dan pemerintah,” katanya.
Mengakhiri keterangannya, Hikmah mengingatkan bahwa perkawinan bukan sekadar respons atas kehamilan, tetapi keputusan besar yang berdampak seumur hidup.
“Ketika belum diputuskan menikah, tolong benar-benar dipikirkan: apakah perkawinan itu sesuai sebagaimana diajarkan agama? Jangan sampai keputusan itu justru merampas hak pendidikan dan masa depan anak,” pungkasnya. [geh.gat]


