Seminar Nasional “Tantangan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah Perbatasan Dalam Perspektif Otonomi Daerah” di Ruang GBHN Nusantara V Komplek Parlemen, Jakarta, Selasa (17/9/24).
Jakarta. Bhirawa.
Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti menilai masih banyak permasalahan yang terjadi di perbatasan Indonesia. Menurutnya hal ini karena adanya ketidak-harmonisan antara UU No.43 Tahun 2008 Tentang Wilayah Negara dengan UU No.23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.
“Kami berharap adanya percepatan lahirnya Peraturan Pemerintah atas UU No. 43 tahun 2008. Dan Komite I DPD RI perlu memasukkan hal ini dalam agenda kerja periode mendatang,” ucap LaNyalla dalam keynote speech Seminar Nasional “Tantangan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah Perbatasan Dalam Perspektif Otonomi Daerah” di Ruang GBHN Nusantara V Komplek Parlemen, Jakarta, Selasa (17/9/24).
Menurut LaNyalla, dalam Pasal 9 UU No. 43 Tahun 2008, negara memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah dalam pengelolaan dan pemanfaatan wilayah negara dan kawasan perbatasan. Namun dalam Pasal 361 UU 23 Tahun 2014, disebutkan bahwa yang mengatur kawasan perbatasan merupakan kewenangan pemerintah pusat. “Di sini sangat tampak adanya ketidak-harmonisan antara kedua UU itu,” tegasnya.
Dalam keynote speech, Wakil Ketua DPD RI Nono Sampono menjelaskan bahwa pihaknya tidak menutup mata terhadap kenyataan daerah perbatasan sering mengalami ketertinggalan dalam aspek pembangunan, kesejahteraan, dan infrastruktur dibandingkan dengan daerah-daerah lain. Untuk itu, ia menilai pentingnya pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Daerah Kepulauan sebagai UU untuk mengatasi persoalan perbatasan. “UU Daerah Kepulauan merupakan salah satu solusi untuk masalah ini, bahkan langkah strategis untuk mengatasi ketertinggalan wilayah timur dan daerah kepulauan yang mengalami pembangunan yang lambat,” imbuhnya.
Dengan adanya UU tentang Daerah Kepulauan, Nono Sampono berharap akan terciptanya keseimbangan dalam pengelolaan dan pembangunan daerah kepulauan, serta mampu mengatasi masalah disparitas antara wilayah daratan dan kepulauan. “UU ini sangat krusial untuk mengisi kekosongan dalam poros maritim dunia dan memperkuat komitmen pemerintah dalam mengatur serta mengelola wilayah kepulauan,” tutur Nono Sampono.
Di kesempatan yang sama, Ketua Komite I DPD RI Fachrul Razi menjelaskan berdasarkan kunjungan DPD RI dalam pengawasan di 19 provinsi yang berdekatan dengan perbatasan negara lain. Letak geografi daerah perbatasan sangat strategis maka pemerintah harus bisa merancang suatu UU yang memperkuat kedaulatan.
“Faktanya pemerintah saat ini seolah tidak serius mengatasi ini. Kita tahu daerah-daerah perbatasan itu pun terpencar di 64 kabupaten dan 92 pulau kecil terluar yang tingkat ekonominya rendah. Bagimana kita bisa bicara daya saing daerah, ini yang harus disikapi pemerintah,” ujar Fachrul Razi.
Sementara itu, Wakil Ketua Komite I DPD RI Sylviana Murni mengatakan ikhtiar pemerintah untuk membangun daerah perbatasan terus dilakukan. Namun sampai saat ini hasilnya belum menggembirakan bagi daerah perbatasan. “Jika dilihat dari indikator masyarakat di perbatasan masih jauh dari sejahtera,” tegasnya.
Ia juga mempertanyakan mengapa daerah perbatasan tidak mempunyai otonomi sendiri yang menciptakan kemandiriian. Alhasil daerah perbatasan selama ini bergantung kepada pusat sehingga menghambat laju perekonomiannya. “Padahal Indonesia memiliki perbatasan terpanjang, maka memang sulit di benahi. Seharusnya daerah memiliki otonomi sendiri sehingga tidak bergantung kepada pusat,” ujarnya.
Peneliti Ahli Utama BRIN Siti Zuhro mengutarakan bahwa UU No.43 Tahun 2008 dan UU No.23 Tahun 2014 tidak memberikan kepastian bagi daerah perbatasan. Padahal daerah perbatasan ingin membangun kawasannya agar bisa lebih sejahtera. “Masa pada 2045 Indonesia menjadi Indonesia emas tapi daerahnya perunggu. Maka daerah perbatasan harus melakukan kemandirian dengan diberikan UU,” paparnya. (ira.hel).