Kota Malang, Bhirawa
Kontroversi dilakukan tokoh agama terhadap pedagang es teh yang sedang viral, mendapat perhatian Dosen Hukum Keluarga Islam (HKI) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Agus Supriyadi Lc MHI.
Agus menekankan pentingnya mengimplementasikan prinsi – prinsip dasar dalam berdakwah yakni Islam rahmatan lil alamin, agama Allah yang dihiasi kedamaian dan kasih sayang di dalamnya. Tertata secara sistematis, Islam mengatur seluruh aspek kehidupan duniawi maupun akhirat.
Mengutip penjelasan dalam kitab Ushulud Dakwah, Agus menyebut ada empat prinsip dasar dalam berdakwah yang harus dijaga. Diantaranya pemilihan tema dan materi dakwah, karakteristik pendakwah (da’i), siapa objek dakwah (mad’u), serta strategi atau metode yang digunakan dalam berdakwah. Sebab tujuan dakwah harus mampu menemani, mengayomi dan memberikan kasih sayang secara lemah lembut tapi tetap tegas.
“Seorang pendakwah wajib hukumnya kaya atau mampu secara penguasaan materi, menyesuaikan metode penyampaian materi dan dirinya dengan segmentasi objek dakwah,” tutur Agus.
Menurut Agus, tak hanya unggul secara kecerdasan kognitif, kepandaian dalam beretika juga harus dimiliki seorang da’iatau mubaligh (pendakwah) dalam mentransfer pesan yang ada. Kedua unsur penting itu saling terikat dan sangat berpengaruh terhadap kesuksesan dalam berdakwah. Karena sebagus apapun retorika seorang pendakwah, jika tidak dibarengi dengan etika, pesan dakwahnya tidak akan masuk ke hati objek dakwah.
“Maka belajar dari kasus penjual es yang viral, Agus mengungkapkan penting bagi para pendakwah untuk menghindari stigma negatif. Maksudnya, pendakwah harus mampu menjaga sikap dan diksi yang dipilih dalam menyampaikan materinya. Seperti tidak mengandung unsur merendahkan diri seseorang baik, secara fisik atau profesi sehingga menyakiti perasaan dan membuat stigma negatif terhadap dirinya,” katanya.
Hal ini, jelas Agus, juga bertentangan dengan firman Allah SWT dalam QS. Al-Hujurat ayat 13, yang mana kemuliaan seseorang disisi Allah, tidak cukup dinilai hanya dari yang tampak (dzohir) seperti fisik atau profesi saja. Namun, kemuliaan seorang hamba dinilai dari ketaqwaannya kepada Allah SWT.
Agus juga mengatakan, peran dakwah sejati untuk menyatukan, bukan memecah belah dan menjauhkan satu dengan yang lain. Seperti hadits Rasulullah SAW ‘Barang siapa yang tidak mampu memberikan kasih sayang kepada orang lain, maka ia juga tidak akan mendapatkan kasih sayang dari orang lain’. Sebaliknya, setelah kegiatan dakwah itu banyak hujatan serta komentar negatif yang berimbas memecah persaudaraan.
“Adapun humor dalam dakwah merupakan salah satu metode untuk menyegarkan suasana atau mendidik dengan konten yang bijak dan tidak menyinggung orang lain. Jangan sampai humor malah menjadi cara menghina orang lain,” ungkapnya.
Meski begitu, respon publik tidak perlu berlebihan kepada penjual es teh. Menurutnya, hal itu malah menciptakan mental peminta – minta. Bahkan kini makin banyak penjual es teh di pengajian – pengajian yang menjajakan dagangannya dengan harapan bisa diborong pendakwah. Begitupun dengan hujatan – hujatan berlebihan yang mengarah pada Gus Miftah.
Kritik dan refleksi diri memang diperlukan agar ke depan bisa lebih baik. Apalagi Gus Miftah juga sudah meminta maaf dan bertanggungjawab atas ucapannya, bahkan mundur dari jabatan utusan presiden.
Agus menegaskan peran kuat refleksi diri setelah berdakwah. Ia juga berharap, dunia dakwah Islam di Indonesia kedepannya semakin maju dengan materi-materi membangun secara berkelanjutan. Kemudian, pemilihan metode atau strategi harus sesuai dengan segmentasi.
“Perlu diingat bersama metode dakwah itu memang penting. Tapi bukan menjadi satu – satunya ukuran kesuksesan dari buah dakwah itu sendiri. Kesusksesan dakwah dapat dilihat dari efek positif yang dirasakan oleh keduanya (pendakwah dan objek dakwah),” pesannya. [mut.fen]