28 C
Sidoarjo
Friday, December 5, 2025
spot_img

Diogenes dan Pasca Kemerdekaan

Oleh :
Thomas Elisa
Alumnus program Strata-1 di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS)

Tujuh belas Agustus sudah paripurna. Telah genap delapan tahun Indonesia menjadi sebuah negara. Pekikan kemerdekaan, rangkaian seremoni perayaan, hingga pidato kenegaraan Presiden menjadi warna klasik yang hadir dalam bingkai peringatan kemerdekaan.

Euforia positif dirasakan oleh semua elemen masyarakat hingga mampu menepikan sejenak perasaan-perasaan lelah, penat, jumud yang hadir dalam kehidupan sehari-hari.

Kita sudah resmi merdeka dan berdaulat sebagai sebuah bangsa. Angka delapan puluh tahun menjadi sebuah simbol supremasi mengenai kedaulatan dan kemerdekaan yang hadir di negeri ini. Perjalanan nan panjang dan tidak mudah, sudah dilewati kita semua sebagai sebuah bangsa. Akan tetapi, kita tidak boleh berhenti untuk memaknai terus menerus arti kedaulatan dan kemerdekaan khususnya sebagai manusia dan bangsa Indonesia.

Barangkali salah satu tokoh yang dapat menjadi katarsis dalam pemaknaan kedaulatan dan kemerdekaan adalah Diogenes dari Sinope. Seorang filsuf pencetus aliran sinisme. Diogenes adalah filsuf yang muncul pada (±412 SM – 323 SM). Kemunculannya menghadirkan sebuah kontroversi sekaligus refleksi terhadap masyarakat dan peradaban. Kontroversi sebab Diogenes menampilkan sebuah gaya hidup dan ajaran yang amat berbeda dengan orang-orang se-zamannya. Saat orang-orang se-zamannya sibuk mengejar kesenangan duniawi (jabatan, pangkat, reputasi), ia justru sebaliknya. Diogenes hidup minimalis dengan pakaian sederhana, tidur di tong besar, dan hanya ditemani sebuah lampu besar serta seekor anjing peliharan.

Berita Terkait :  DPRD Jatim Dorong Percepatan Perbaikan Infrastruktur Desa

Bukan tanpa sebab, Diogenes melakukan hal itu. Sebaliknya, ia justru merepresentasikan sebuah pesan yang agung : kemerdekaan terhadap hal-hal yang mengekang diri kita. Tanpa terlepas dari hal-hal yang mengekang kita maka kemerdekaan rasa-rasanya juga akan mustahil kita dapatkan dan kita nikmati. Mungkin saja, problem-problem kebangsaan kita yang tak kunjung usai juga tidak lepas dari kegagalan melepas tali kekang yang selama ini mengikat. Praktik korupsi yang subur, kolusi, dan nepotisme menjadi bukti betapa kuatnya tali kekang keserakahan, ambisi, dan haus akan reputasi yang justru memanipulasi dari tujuan mulia menjadi seorang pemimpin rakyat. Menurut Diogenes, tali kekang semacam ini haruslah tanpa ragu diputuskan.

Fenomena gaya hidup minimalis ala Diogenes (yang juga disebut asketis) tak luput dari cibiran orang-orang se-zamannya. Praktik tersebut dianggap gila, tidak rasional, dan jauh dari ideal. Akan tetapi, pada akhirnya sejarah pengetahuan mengakui esensi ajaran yang diberikan Diogenes patut direfleksikan sebagai upaya memaknai kemerdekaan dan kedaulatan serta kebebasan. Tak cuma memberikan contoh gaya hidup dan ajaran semata, Diogenes juga mewariskan pemikiran sinisme yang amat mengagumkan. Sinisme versi Diogenes bukanlah soal sikap julid dan nyinyir semata. Sebaliknya, sinisme artinya kritis, rasional, dan melahirkan ide-ide atau gagasan besar. Hal ini dipraktikkan Diogenes dengan tak segan memberikan kritik kepada Alexander Agung. Itulah esensi lain dari memaknai kemerdekaan dan kedaulatan yaitu berani memberikan kritik, penilaian, dan juga evaluasi terhadap kekuasaan agar senantiasa di lajur yang benar.

Berita Terkait :  Pemkot Surabaya Berikan Penghargaan 11 Guru Inovatif

Salah satu kutipan yang menarik dari Diogenes terkait dengan praktik sinisme yaitu : “Aku mengibas-ngibaskan ekorku dihadapan orang yang memberikan sesuatu, menggonggong di hadapan orang yang tidak memberiku apa-apa dan menancapkan gigiku ke tubuh para penjahat. Kutipan tersebut cukup legendaris dalam praktik sinisme yaitu memunculkan sisi kritis, keberanian, kejujuran terhadap fenomena-fenomena yang muncul di sekitar kita. Bahkan, Diogenes juga menyatakan, ” Anjing-anjing menggigit musuh mereka tetapi aku akan menggigit sahabat-sahabatku untuk menyelamatkan mereka.” Sebuah pesan penting untuk berani memberikan tindakan-tindakan menyelematkan kepada orang-orang sekitar yang kita cintai meskipun harus “menggigit.”

Pada akhirnya, Diogenes memang mendapat predikat sebagai “Diogenes si Anjing” karena sisi kritis dan gaya hidupnya yang luar biasa. Akan tetapi, dari senarai kisah dan ajaran sinisme yang diberikan, kita dapat kembali merefleksikan kemerdekaan dengan dua cara : melepas tali-tali kekang di leher kita dan bersikap kritis untuk perbaikan di sekitar kita. Sekian.

————– *** ——————

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow

Berita Terbaru