25 C
Sidoarjo
Monday, September 16, 2024
spot_img

Digitalisasi Jurnalisme Warga dan Bahaya Bandwagon Effect

Oleh:
Abdul Hayyi
Mahasiswa Administrasi Publik Universitas Airlangga

Pesatnya perkembangan internet dan dunia digital akhir-akhir ini membawa banyak dampak yang signifikan yang mengacu asepek kehidupan manusia, tak terkecuali pada bidang jurnalisme. Berkat internet yang terus menerus berkembang, arus informasi semakin deras mengalir di dalam sebuah komunitas. Hal ini membuat berbagai macam channel media berita daring menjamur di seluruh jagat maya. Berdasarkan data dari Menkominfo, Indonesia sendiri telah memiliki sekitar 43.000 portal berita daring yang memenuhi arus pemberitaan di dalam negeri, dengan catatan hanya sekitar 100 portal yang terverifikasi oleh Dewan Pers. Ditambah lagi berbagai macam media sosial yang berkembang di Indonesia telah menjadi platform tersendiri dalam menambah semaraknya aliran informasi dan berita di kalangan masyarakat.

Mudahnya memperoleh dan bertukar informasi di internet membuat siapapun terlepas daei latar belakang etnis, gender, agama, pendidikan atau pekerjaannya dapat menganalisis, membuat dan menyebarluaskan berita. Kini ruang informasi bukan hanya sebatas milik kalangan jurnalis tetapi juga warga awam. Adanya internet telah memberikan kesempatan bagi warga biasa untuk ikut berpartisipasi dalam mengadakan berita, membuat dan menyebarkannya. Keterlibatan inilah yang dikenal sebagai jurnalisme warga (citizen journalism) yang dapat dimaknai sebagai kebebasan semua orang untuk bisa bekerja layaknya jurnalis atau wartawan. Jurnalisme warga telah dianggap sebagai bentuk jurnalisme paling transparan dan paling demoktratis. Sebab kini arah regulasi informasi tidak lagi vertikal dan bersumber memusat dari jurnalis profesional maupun ahli-ahli ke arah pembaca, namun juga horizontal terhadap sesama pembaca untuk saling berbagi informasi secara lebih terbuka atau open source.

Adanya keterlibatan warga awam dalam pemberitaan membuat para jurnalis profesional harus rela berbagi ruang informasi. Hal ini dapat memberikan ancaman bagi jurnalis dan media konvensional karena keberadaan warga dalam membuat berita dapat memunculkan sikap pesimis pembaca terhadap profesionalitasnya sehingga dikhawatirkan dapat menurunkan kepercayaan akan kredibilitas jurnalistiknya. Keadaan ini didasari oleh keragaun atas masalah hukum dan kurangnya pemahaman warga terhadap kode etik jurnalistik yang benar. Jelas hal ini dapat mengancam nama baik dan profesionalitas seorang jurnalis sendiri.

Berita Terkait :  Mengapa Eri Cahyadi, Mengapa Armuji

Peran media dan dunia jurnalisme memang bukanlah hal yang main main. Media massa menempati posisi sentral di dalam struktu masyarakat. Riset oleh McCombs dan Shaw tahun 2008 dalam (Charta Politika, 2016) di Amerika Serikat, menunjukkan bahwa media masih sangat menentukan pola pikir pembacanya. Dari sini jelas sekali bahwa media memiliki kekuatan besar untuk mempengaruhi opini publik. Persoalan muncul ketika orang-orang yang mengatasnamakan kebebasan dan berada di dalam paradigma citizen journalism ini tidak menjalankan prosedur-prosedur jurnalisme secara tepat serta proses verifikasi validitas informasi dalam membuat dan menyebarkan berita. Sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa jurnalisme warga dapat dicap sebagai media paling subur bagi tumbuhnya berita-berita yang tidak benar atau biasa disebut dengan istilah ‘hoaks’.

Masalah menjadi sangat fatal apabila berita-berita yang tidak memiliki nilai kebenaran mampu mengubah opini publik dan berdampak cukup serius terhadap kehidupan masyarakat dan bernegara akibat banyaknya warga yang memberitakan dan menyebarluaskan berita tersebut, terutama dalam kegiatan propaganda. Kondisi ini disebut bandwagon effect dimana sebuah informasi dianggap memiliki kebenaran apabila diberitakan dan dipercaya kebenarannya secara masif oleh banyak orang, sehingga pembaca berita cenderung untuk ‘ikut-ikutan’ percaya terlepas dari nilai kebenaran faktual dari informasi tersebut. Jika ditilik dari persebarannya, jelas jurnalisme warga menjadi sarana paling cepat untuk menyebarkan berita dan dapat disaksikan oleh banyak orang secara bersamaan, terutama dalam media sosial yang sedang mencapai kejayaannya dekade ini.

Beberapa tahun terakhir ini pun, Indonesia disebut-sebut mengalami kondisi darurat hoaks. Kebanyakan berita palsu ini disebarkan melalui media daring terutama media sosial. Hal ini dibuktikan oleh survey dan Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) tahun 2017 lalu dimana diketahui 92,4 % konten berita palsu dapat ditemui di media sosial. Parahnya lagi, menurut penelitian oleh Central Connecticut State University dalam (Miller, 2016) menyebutkan bahwa masyarakat Indonesia menempati peringkat ke-60 dari 61 negara dalam aspek tingkat literasi. Hal inilah yang membuat masyarakat Indonesia mudah percaya begitu saja akibat paparan berita palsu yang begitu deras ditambah kemalasan untuk memverifikasi dan melakukan crosscheck kembali terhadap nila kebenaran berita tersebut.

Berita Terkait :  Menunggu Penerapan UU KIA

Apabila dikaitkan, menjamurnya hoaks menjadi salah satu bentuk bandwagon effect atas beredarnya berita tak benar yang tersebar dan diamini banyak orang. Kejatuhan opini publik pada ketidakbenaran akan sangat mungkin untuk menyesatkan nalar masyarakat. Kesesatan nalar atau logical fallacy ini menurut istilahnya digambarkan sebagai argumentum ad populum yang maknanya adalah mendasarkan argumentasi pada banyaknya orang yang mempercayai hal tersebut benar (Sutton, 2016).

Keberadaan bandwagon effect menjadi berbahaya sebab efek ini bersifat memaksa individu untuk mencoba sama dengan masyarakat dan panggilan untuk menjaga konformitasnya tak bisa tertahankan. Keterpaksaan untuk menerima opini sesat namun popular dipercaya mampu menawarkan keamanan dan kenyamanan pada diri individu di tengah lingkungannya sehingga mampu menerima opini tersebut sebagai fakta (Sutton, 2016). Pada akhirnya, opini publik yang sesat akan dibangun besar-besaran oleh efek ini dan akan sangat berbahaya jika opini tersebut didasarkan pada informasi yang tidak benar.

Jurnalisme warga sebagai salah satu media menjadi alat komunikasi massal yang berpotensi untuk menumbuhsuburkan benih-benih konflik yang meliputi prasangka, kesalahpahaman, kebohongan, dan ujaran kebencian. Media dalam hal ini bertindak meyakinkan pembacanya dan apabila berita-berita bohong dikemukakan secara massal, maka masyarakat menjumpai kebohongan sebagai hal yang wajar. Media menginspirasi masyarakat untuk melakukan hal yang sama, sehingga kebohongan menjadi viral akibat penanaman dan infeksi yang secara kontinyu bergulir di tengahtengah masyarakat. Sebab itulah karena kebohongan tumbuh subur,konflik masyarakat pun tak dapat dihindari lagi. Jurnalisme warga sebagai salah satu genre jurnalisme menjadikan media sebagai agen penginfeksi yang cukup mengkhawatirkan dalam penyebaran informasi penyulut konflik.

Berita Terkait :  Menyoal Penghapusan Jurusan di SMA

Dari segala macam baik dan buruknya, jurnalisme warga tetap menjadi bahan perdebatan yang cukup berisiko. la telah menjadi piranti paling efektif dalam hal transparansi demokrasi, namun juga dapat menimbulkan petaka hoaks dan bandwagon effect yang dapat menyesatkan nalar dan opini publik. Saat seseorang menyatakan diri sebagai jurnalis, terlepas ia seorang jurnalis profesional maupun warga amatir, maka ia harus memahami bahwa dirinya bersinggungan dengan fakta dan bukannya fiktif belaka. Walaupun jurnalis warga tidak harus bekerja seketat wartawan profesional, jelas ia juga harus mengikuti kaidah jurnalisme secara benar. Minimal hanya ada beberapa tahap yang seyogianya dilakukan para produsen informasi, yaitu observasi keadaan secara faktual, melakukan riset yang relevan terhadap kejadian tersebut,menuangkan informasi secara netral dalam bentuk berita, dan yang paling penting verifikasi atau crosscheck untuk menghindari kesimpangsiuran berita.

Jurnalisme warga memang bagaikan pisau bermata dua. Sesungguhnya tidak mudah untuk menyematkan istilah ‘jurnalis’ sekalipun pada pelaku profesional maupun jurnalis warga. Karena layaknya jurnalisme pada umumnya, jurnalisme warga juga berurusan dengan moral,hukum, dan hasrat serta kesabaran untuk terus menerus memerah informasi melalui proses yang benar. Jika seseorang tidak memahaminya dan tidak mau tahu untuk membedakan mana berita benar dan mana berita palsu serta tidak berusaha untuk berkegiatan jurnalisme secara tepat, lebih baik berhenti dan tidak terlibat sama sekali di dalamnya.

————- *** ————-

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Berita Terbaru

spot_imgspot_imgspot_img