25 C
Sidoarjo
Friday, December 5, 2025
spot_img

Demonstrasi yang Terdistorsi

Oleh:
Ali Mursyid Azisi
Founder The Indonesian Foresight Research Institute (IFRI) & Pengamat Sosial-Politik

Demonstrasi adalah wajah terbuka dari demokrasi. Ia seharusnya menjadi ruang artikulasi aspirasi rakyat yang dilindungi undang-undang, tempat suara yang tak terjangkau parlemen mendapat ruang dengar di jalanan. Namun, realitas yang kita saksikan hari-hari ini memperlihatkan wajah berbeda, yaitu demonstrasi yang terdistorsi (menyimpang dari tujuan awal). Fenomena kerusuhan di sejumlah daerah menunjukkan bahwa protes rakyat tidak lagi berhenti pada penyampaian tuntutan, melainkan meluas ke aksi destruktif yang jauh dari nilai demokrasi.

Salah satu contoh di Jakarta misalnya, halte Transjakarta dibakar; di Makassar dan Sulawesi Selatan , Gedung DPRD hangus dilalap api; di Surabaya, pos polisi dirusak dan dibakar; di Kediri, gedung Pemkab dan DPRD dijadikan sasaran pembakaran; bahkan gedung negara bersejarah Grahadi dibakar oknum tak bertanggungjawab. Tak jarang pula di berbagai titik demonstrasi terjadi aksi corat-coret gambar yang tak pantas. Bahkan, rumah pejabat dijarah dan fasilitas publik lainnya dibumihanguskan. Tindakan ini jelas bukan aspirasi, melainkan anarkisme dan vandalisme. Demonstrasi kehilangan ruhnya, bergeser dari perjuangan moral menjadi arena kemarahan tanpa arah.

Disintegrasi Aspirasi: Dari Protes ke Anarkisme
Fenomena ini dapat dibaca sebagai “disintegrasi aspirasi.” Tuntutan rakyat yang awalnya lahir dari keresahan sosial, diambil alih oleh segelintir oknum untuk dibelokkan menjadi kekacauan. Teori aksi kolektif menjelaskan, ketika massa kehilangan pemimpin moral dan saluran komunikatif, aksi akan meluncur ke arah deviasi, yaitu sebuah protes berubah menjadi kerusuhan. Akibatnya, pesan substantif hilang tertutup oleh asap kebakaran gedung dan pecahan kaca fasilitas publik.

Berita Terkait :  Wakil Bupati Tuban Joko Buka Pameran JOB FAIR 2025

Data mutakhir menunjukkan skala kerusuhan yang mengkhawatirkan. Hingga akhir Agustus 2025, setidaknya 37 gedung DPRD dan pemerintahan daerah dirusak atau dibakar, dengan kerugian materi diperkirakan mencapai ratusan miliar rupiah. Kejadian pembakaran ini pun memakan korban jiwa, di Makassar misalnya, tiga orang tewas terjebak dalam kobaran api gedung DPRD, sementara ratusan orang ditangkap di Jakarta dan kota-kota besar lain. Angka-angka ini menunjukkan bahwa kerusuhan telah melampaui batas protes, justru memasuki ranah kriminal dan teror sosial.

Bahaya Narasi Darurat Militer dan Respon Negara
Makin mengkhawatirkan lagi, muncul ajakan buzzer di ruang digital untuk mengajak diberlakukannya “darurat militer” maupun “darurat sipil.” Ajakan ini bukan sekadar provokasi, melainkan strategi berbahaya untuk memancing negara masuk pada situasi otoritarianisme. Dari perspektif politik, darurat militer memindahkan otoritas sipil ke tangan militer, membatasi hak warga, dan melumpuhkan kebebasan publik. Sementara dari sisi praktis, darurat militer membuka ruang represi, dapat meningkatkan korban jiwa, dan menciptakan trauma kolektif. Indonesia pernah belajar dari masa lalu, bahwa kekerasan negara atas nama stabilitas hanya melahirkan luka berkepanjangan.

Presiden Prabowo Subianto telah memerintahkan aparat untuk menindak tegas pelaku perusakan dan penjarahan. Langkah ini menunjukkan bahwa negara tidak boleh membiarkan aspirasi rakyat dikooptasi oleh kekerasan. Namun, ketegasan harus berjalan berdampingan dengan demokrasi, berupa tindakan hukum yang adil, transparan, dan proporsional. Negara bukan hanya bertugas memadamkan api kerusuhan, tetapi juga membuka ruang dialog untuk mengurai akar masalah yang memicu demonstrasi.

Berita Terkait :  Menteri ATR/BPN AHY Deklarasikan Kabupaten Mojokerto Jadi Kabupaten Lengkap

Dalam kajian ilmu politik, Charles Tilly menekankan bahwa demonstrasi adalah bagian dari “repertoar protes” dalam demokrasi modern. Namun, repertoar ini hanya efektif bila dijalankan secara terorganisir dan non-violent (tanpa kekerasan). Ketika protes melenceng menjadi kekerasan, maka akan masuk kategori “collective violence” yang justru melemahkan legitimasi tuntutan. Dengan kata lain, kekerasan bukan memperkuat pesan rakyat, tetapi justru menguburnya di bawah stigma kriminalitas.

Haramnya Perusakan
Islam dengan tegas mengutuk tindakan merusak. Al-Qur’an mengingatkan, “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah Allah memperbaikinya” (QS. Al-A’raf: 56). Para ulama, termasuk K.H. Miftachul Akhyar (Rais Aam PBNU), menegaskan bahwa demonstrasi boleh dilakukan selama tertib, damai, dan tidak merugikan pihak lain. Anarki, perusakan, dan penjarahan adalah haram karena merugikan umat dan melemahkan negara. Hukuman bagi perusak dapat dikategorikan sebagai ta’zir, yakni sanksi yang ditetapkan pemerintah untuk menjaga kemaslahatan umum.

Para akademisi juga menyoroti fenomena ini. Guru Besar Ilmu Politik Universitas Indonesia, Prof. Maswadi Rauf, menyebut bahwa demonstrasi anarkis tidak merepresentasikan demokrasi, melainkan kegagalan kanal institusional. Sementara itu, pengamat politik LIPI menekankan perlunya negara membangun komunikasi dua arah agar aspirasi rakyat tidak jatuh ke tangan provokator.

Beberapa ormas besar seperti NU pun mengeluarkan pernyataan sikap menyerukan agar masyarakat menahan diri, karena kerusuhan hanya akan merugikan bangsa sendiri. Sementara pemimpin Muhammadiyah juga mengingatkan bahwa jalan kekerasan bukanlah solusi, melainkan memperbesar jurang konflik. Namun, yang harus dibaca di sini mengapa ormas Islam seolah hanya menjadi “pemadam kebakaran”? Aspek peran subtantif pembelaan dan edukasi terhadap masyarakat secara luas sebelum kejadian ini meluas adalah juga tanggungjawab para ulama dan pemuka agama. Para ulama juga memiliki andil besar sebagai penyeimbang untuk mengontrol kondusifitas negara dengan cara edukasi moral kepada seluruh elemen masyarakat.

Berita Terkait :  Sekretaris Dinsos Jatim Tekankan Integritas dan Profesionalitas dalam Pembinaan Pegawai UPT

Ini selaras dengan pendapat Gus Nadirsyah Hosen dalam postingan instagramnya, bahwa inilah getirnya ketika ajaran agama gagal memberi inspirasi solutif, pemuka agama hanya diposisikan sebagai “pemadam kebakaran”. Agama semestinya menjadi energi moral untuk perubahan. Jargon “NKRI Harga Mati” seharusnya benar-benar berdiri di pihak rakyat dan tidak hanya menjadi jargon kosong.

Mengembalikan Makna Demonstrasi
Demonstrasi yang terdistorsi adalah cermin rapuhnya demokrasi kita. Aspirasi yang seharusnya diperjuangkan dengan kata, kini dipelintir menjadi luka. Setiap gedung DPRD yang terbakar, setiap fasilitas umum yang porak-poranda, setiap pos polisi yang dilalap api, adalah simbol betapa kita kehilangan arah dalam menyampaikan suara.

Masyarakat harus sadar, bahwa aspirasi yang diperjuangkan dengan api hanya meninggalkan abu. Negara harus hadir bukan hanya dengan tangan besi, tetapi dengan telinga yang mendengar. Para ulama dan akademisi harus terus memberi arah moral dan intelektual agar protes kembali ke jalur sejatinya, dengan wujud kritik yang membangun, bukan amarah yang menghancurkan. Demokrasi tidak pernah menolak demonstrasi, tetapi demokrasi juga tidak akan bertahan bila demonstrasi berubah menjadi anarkisme. Inilah saatnya bangsa ini memilih, antara menghidupkan kembali demonstrasi sebagai suara nurani, atau membiarkannya terus terdistorsi menjadi panggung kekacauan.

———– *** ————-

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow

Berita Terbaru