Di pesisir Muncar, Banyuwangi, aroma amis ikan lemuru yang khas kini berpadu dengan aroma optimisme yang lebih segar. Bukan lagi sekadar tumpukan ikan yang menunggu nasib di Tempat Pelelangan Ikan (TPI), hasil laut dari ujung timur Jawa ini bertransformasi menjadi kaleng-kaleng sarden, tepung ikan, hingga minyak ikan berkualitas ekspor. Perubahan ini bukan sulap, melainkan buah dari upaya gigih hilirisasi sektor Kelautan dan Perikanan di Jawa Timur.
Wahyu Kuncoro, Wartawan Bhirawa
Matahari perlahan tenggelam di ufuk barat, memancarkan semburat jingga di atas Teluk Pangpang, yang lebih dikenal sebagai perairan Muncar di Banyuwangi. Kapal-kapal nelayan berbendera warna-warni mulai merapat, membawa hasil tangkapan hari itu. Di masa lalu, momen seperti ini sering kali disertai dengan kecemasan. Harga ikan yang fluktuatif, tengkulak yang mendominasi, dan minimnya nilai tambah membuat senja terasa getir.
Pak Hadi, seorang nelayan senior dengan kulit legam terbakar matahari, mengenang masa-masa itu dengan helaan napas panjang. “Dulu, ikan kami ya cuma ikan mentah. Dijual begitu saja, harganya kadang jatuh sekali kalau pas musim panen raya,” ujarnya, sambil membetulkan jaringnya yang basah.
Muncar adalah salah satu sentra perikanan terbesar di Jawa Timur, terkenal dengan ikan lemuru (sarden) yang melimpah. Namun, potensi ini bertahun-tahun hanya menjadi sumber bahan baku mentah. Rantai nilai terputus di tengah jalan, kekayaan laut hanya dinikmati segelintir pihak.
Nelayan seperti Pak Hadi seringkali hanya bisa pasrah dengan nasib yang dibayangi krisis ekonomi dan ekologi.Namun, beberapa tahun terakhir, ada yang berbeda. Perbincangan di warung kopi dekat TPI tidak lagi hanya soal cuaca buruk atau hasil tangkapan yang minim, melainkan soal “hilirisasi” – sebuah kata yang dulunya asing di telinga mereka, kini menjadi mantra harapan baru.
Inovasi Bersemi di Atas Tumpukan Ikan
Hilirisasi, pada dasarnya, adalah upaya meningkatkan nilai tambah produk perikanan melalui pengolahan. Di Jawa Timur, konsep ini mulai diimplementasikan secara serius, mengubah cara pandang terhadap ikan dari sekadar komoditas menjadi produk bernilai tinggi.
Ambil contoh yang terjadi di pabrik pengolahan ikan PT. Bhakti Samudera, salah satu dari sekian banyak unit pengolahan ikan (UPI) yang kini menjamur di sekitar Muncar. Pabrik ini bukan lagi sekadar tempat pengepakan es, melainkan jantung dari proses transformasi. Ikan lemuru segar yang dibongkar dari kapal langsung diseleksi, sebagian besar diarahkan ke lini produksi pengalengan.
“Kami mengolah sekitar 80% ikan yang masuk menjadi sarden kalengan siap ekspor,” ungkap Susilowati manajer produksi di sana.
“Sisanya, yang tidak masuk standar pengalengan, kami olah menjadi tepung ikan dan minyak ikan. Tidak ada yang terbuang.”
Proses ini didukung penuh oleh pemerintah daerah dan pusat melalui berbagai fasilitasi, mulai dari perizinan yang lebih mudah, bantuan akses permodalan, hingga pelatihan teknis bagi tenaga kerja lokal. Kolaborasi apik antara pemerintah daerah, asosiasi pengusaha, dan masyarakat ini menjadi kunci keberhasilan.
Kesejahteraan yang Kian Dekat
Dampak hilirisasi ini terasa langsung pada rantai pasok. Kini, permintaan ikan dari UPI lebih stabil, tidak seperti saat hanya bergantung pada pasar ikan mentah yang mudah anjlok harganya. Pak Hadi dan kawan-kawan nelayan merasa lebih tenang. Mereka memiliki kepastian pasar dengan harga yang relatif lebih baik dan stabil.
“Sekarang kami punya patokan harga yang jelas. Kami tidak lagi takut dipermainkan tengkulak karena ikan kami sudah ada yang nampung dengan kontrak yang jelas,” kata Pak Hadi, tersenyum.
Tak hanya nelayan, tenaga kerja lokal juga merasakan manfaatnya. Pabrik pengolahan ikan membutuhkan banyak tenaga kerja, mulai dari bagian sortir, pengalengan, pengemasan, hingga bagian quality control. Bu Susi menyebutkan, mayoritas pekerjanya adalah warga desa setempat, yang kini memiliki penghasilan tetap dan jaminan sosial. Ini memberikan efek berganda (multiplier effect) yang signifikan bagi perekonomian daerah.
Produk olahan dari Jawa Timur kini tidak hanya beredar di pasar lokal atau nasional, tetapi sudah merambah pasar ekspor. Sarden kalengan berlabel “Made in Indonesia” dari Muncar bisa ditemukan di rak-rak supermarket di negara-negara Asia Tenggara, Timur Tengah, Eropa bahkan Afrika. Seperti misalnya PT Pasifik Harvest Indonesia (PHI), perusahaan pengolahan hasil laut yang berpusat di Kecamatan Muncar, Kabupaten Banyuwangi, melakukan ekspor produk unggulannya, sarden kaleng, ke pasar Benua Afrika. Langkah strategis ini merupakan upaya PT PHI untuk memperluas cakupan pasarnya ke wilayah non-tradisional yang dinilai memiliki potensi besar.
Menurut Direktur PT PHI, Sherly Indrawati Aminoto, pasar sarden kaleng di Afrika menawarkan peluang yang sangat menjanjikan. Dengan kapasitas produksi yang mumpuni, perusahaan menargetkan mampu mengekspor hingga 200 kontainer per bulan, yang setara dengan nilai transaksi sekitar Rp200 miliar, mengingat nilai rata-rata per kontainer mencapai Rp. 1 miliar.
“Target kami menjadi eksportir sarden kaleng terbesar di dunia. Untuk mencapai visi ini, kami akan terus melakukan berbagai terobosan strategis dalam rangka meningkatkan ekspansi pasar global, dengan target volume ekspor tahunan mencapai 6.000 kontainer,” ungkap Sherly.
Kemudahan proses perizinan dan dukungan aktif dari pemerintah daerah menjadi faktor kunci dalam menarik investasi dan mendorong pertumbuhan ekspor.Keberhasilan ini tak lepas dari penerapan standar kualitas internasional dan sertifikasi yang ketat, dibantu oleh pendampingan dari KKP dan instansi terkait. Pemerintah memberikan insentif bagi perusahaan yang memiliki Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) tinggi dan menerapkan praktik bisnis berkelanjutan.
Ketika dikonfirmasi terkait hilirisasi perikanan, Kepala Badan Pengendalian dan Pengawasan Mutu Hasil Kelautan dan Perikanan KKP Ishartini menegaskan, pembangunan ekonomi biru menjadi bagian penting dari Asta Cita Presiden Prabowo. Hal ini terutama dalam upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi, menurunkan kemiskinan, dan membangun sumber daya manusia unggul.
“Untuk sektor kelautan dan perikanan ini, dengan adanya kita panjang pantai, dengan jumlah-jumlah pulau, ini memiliki potensi sektor kelautan dan perikanan yang tidak ada bandingnya sebenarnya. Inilah yang seharusnya kita jaga bersama,” jelasnya.
Ia memaparkan lima kebijakan utama ekonomi biru yang akan dijalankan dalam lima tahun ke depan. Kebijakan tersebut meliputi perluasan kawasan konservasi; penangkapan ikan terukur berbasis kuota; pengembangan budidaya laut dan pesisir berkelanjutan; pengendalian wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil; serta pengurangan sampah plastik di laut.
“Intinya dalam kita mengembangkan program-program di sektor kelautan dan perikanan kita selalu mengedepankan ekologi. Selalu menyeimbangkan antara ekologi dengan ekonomi, sehingga pembangunan semua harus bisa mengedepankan prinsip-prinsip berkelanjutan,” tegasnya.
Ia juga mengajak Pemda untuk memperkuat edukasi kepada pelaku usaha dan masyarakat agar memperhatikan mutu produk di sektor kelautan dan perikanan. “Kalau sudah terjamin mutunya, produk ini akan memenuhi persyaratan untuk ekspor. Karena persyaratan untuk ekspor, persyaratan keamanan pangan itu sangat penting dan terus dinamis,” pungkasnya.
Singkatnya, hilirisasi sektor KKP di Jawa Timur adalah sebuah kisah nyata tentang transformasi. Ini bukan sekadar angka-angka statistik PDB atau ekspor, melainkan kisah tentang martabat nelayan yang terangkat, tentang desa-desa pesisir yang menggeliat ekonominya, dan tentang harapan akan masa depan yang lebih cerah. Dari perahu kayu sederhana, kini mereka menjadi bagian dari rantai pasok global. Denyut harapan baru itu nyata terasa, mengalir bersama ombak di pesisir ujung timur Jawa.
———— *** —————–


