Sidang Faiz selalu ramai, menjadi sorotan nasional di PN Kabupaten Nganjuk, kemarin.
PN Nganjuk- Bhirawa.
Penangkapan Ahmad Faiz Yusuf tidak lahir dari ruang hampa. Ia adalah serpihan dari gelombang demonstrasi nasional besar-besaran pada akhir Agustus 2025 lalu, yang bermula sebagai tuntutan perbaikan kebijakan, namun berakhir sebagai tragedi.
Sepuluh orang tewas. Sejumlah lainnya ditangkap. Dua dilaporkan hilang. Demonstrasi yang semula artikulasi keresahan publik berubah menjadi arena kabut, dipenuhi spekulasi: dari dugaan intervensi asing, konflik antar-elite politik, hingga infiltrasi kelompok preman.
Namun di balik hiruk-pikuk teori dan tudingan, satu fakta tak terbantahkan: negara memilih pendekatan keamanan, bukan dialog.
Akar Masalah yang Diabaikan
Secara teoritis, gejolak sosial dalam demonstrasi Agustus 2025 dapat ditelusuri pada empat faktor klasik:
- Ketidakadilan sosial-ekonomi dan kesenjangan yang kian melebar.
- Konflik antar-elite politik yang ditransmisikan ke ruang publik.
- Tertutupnya saluran dialog antara masyarakat dan pengambil kebijakan.
- Politisasi isu SARA sebagai alat mobilisasi dan distraksi.
Dalam konteks demonstrasi Agustus, tiga faktor pertama tampil dominan. Publik merasa tidak didengar. Kebijakan berjalan menjauh dari dapur rakyat. Sementara elite politik, alih-alih menahan diri, justru menampilkan simbol-simbol kemewahan: kenaikan gaji dan tunjangan di tengah badai PHK dan harga kebutuhan pokok yang tak stabil.
Di titik inilah demonstrasi berubah menjadi letupan. Namun letupan sosial bukanlah pembenaran untuk menyederhanakan penegakan hukum menjadi operasi tangkap cepat terutama ketika yang ditangkap adalah anak.
Kasus Ahmad Faiz Yusuf memperlihatkan bagaimana gejolak nasional dapat menyapu individu lokal, dan bagaimana narasi besar sering menelan hak kecil.
Kasus ini menjadi lebih serius karena status Faiz sebagai anak.
UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) tidak memberi ruang abu-abu. Prinsipnya tegas:
Anak adalah subjek yang harus dilindungi. Penahanan adalah upaya terakhir (ultimum remedium). Diversi dan keadilan restoratif adalah kewajiban, bukan opsi.
Dugaan Absennya Diversi Sejak Awal
Tidak ada informasi terbuka bahwa mekanisme diversi ditempuh secara sungguh-sungguh sebelum perkara didorong ke jalur pidana formal. Jika diversi dilewati, maka itu bukan sekadar kekeliruan teknis melainkan pelanggaran prinsip dasar SPPA.
Adalah sosok Pujiono, SH, MH, salah seorang advokat yang aktif mendampingi kasus Faiz sejak awal penangkapan di bulan September kemarin, di temui disela-sela acaranya di PN Nganjuk pada hari Selasa (16/12/2025).
Lebih jauh Pujiono mencoba menerangkan bahwa:
“Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum dari proses peradilan pidana formal ke penyelesaian di luar peradilan pidana, berdasarkan asas keadilan restoratif, bertujuan mencapai perdamaian, menghindari anak dari stigma penjara, dan menanamkan tanggung jawab, diatur dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) (UU No.11 Tahun 2012),” terangnya.
Ketika ditanya perbedaan Diversi dengan Restorative Justice, Pujiono menjelaskan :
“Restorative Justice (Keadilan Restoratif) berlaku umum untuk semua masyarakat, sementara diversi adalah bentuk khusus dari keadilan restoratif untuk anak yang berhadapan dengan hukum.” tambahnya.
Demonstrasi boleh dinilai rusuh. Negara boleh menegakkan hukum.
Namun ketika hukum dijalankan tanpa disiplin terhadap aturan perlindungan anak, yang lahir bukan ketertiban melainkan preseden berbahaya. P-29 adalah jeda. dan SPPA adalah pengingat.
Dan Faiz seorang siswa Madrasah di Kurungrejo, Prambon Nganjuk adalah cermin: bahwa dalam negara hukum, yang paling diuji bukan kekuatan aparat, melainkan kesabaran dan ketepatan nurani. (dro.hel)


