Judul Buku : Praktik Kekerasan Hegemonik dalam Kontestasi Kuasa di Ranah Sosial-Kultural dan Politik
Penulis : Siti Aminah, dkk.
Penerbit : Prenada, Jakarta
Cetakan : I, 2024
Tebal : xvii +146 Halaman
ISBN : 978-602-383-201-9
Harga : Rp 56, 000/-
Peresensi : Ahmad Fatoni
Pengajar Universitas Muhammadiyah Malang dan penulis buku “Madura Perantauan: Kompleksitas dan Harmoni yang Tak Tuntas”
MADURA dikenal memiliki budaya yang khas. Kekhasan budayanya itu kemudian dianggap sebagai identitas individual maupun komunal etnik Madura di mana pun mereka berada. Dalam kasus kekerasan, tak heran bila masyarakat luar cenderung mengidentikkan perilaku orang Madura dengan dua hal, carok dan celurit.
Menurut budayawan Madura, D. Zawawi Imron, gambaran orang luar tentang masyarakat Madura lebih beraroma negatif. Etnis lain biasanya mengilustrasikan masyarakat Madura sebagai kelompok orang yang suka membunuh, mudah tersinggung, tidak memiliki sikap toleran dan sekaligus menyimpan banyak kisah “mengerikan” bagi orang-orang yang bukan Madura.
Stereotipe di atas tidak sepenuhnya benar dan tidak seluruhnya salah. Pandangan semacam itu lahir karena minimnya informasi tentang Madura. Pulau di sisi utara Jawa Timur tersebut memang menyimpan banyak cerita, bukan saja ketandusannya, namun juga orang-orangnya yang unik dan menggelitik.
Buku Carok Praktik Kekerasan Hegemonik dalam Kontestasi Kuasa di Ranah Sosial-Kultural dan Politik ini memotret carok memang tidak lepas dari lensa kultur etnik Madura. Itu sebabnya, penulis menyampaikan pesan tentang pentingnya membangun kultur perdamaian yang bermuatan nilai-nilai budaya lokal yang dapat dipraktikkan etnik Madura.
Bagi orang Madura sendiri, carok memiliki makna tersendiri sebab berkaitan dengan pemulihan harga diri. Carok terjadi ketika seseorang merasa tadha’ ajinah (tidak dihargai) karena diinjak-injak oleh orang lain, baik berkaitan dengan persoalan harta, tahta, dan, wanita. Initnya, motif carok umumnya adalah demi kehormatan. Dalam ungkapan Madura, lebbi begus pote tolang etembang pote mata. (lebih baik mati, dari pada hidup menanggung malu).
Penelitian tentang carok dalam buku ini sangat menarik untuk disimak setidaknya disebabkan oleh dua hal, pertama, bahwa tradisi carok memiliki persepektif yang negatif bagi masyarakat luas. Sementara bagi orang Madura, carok dikaitkan dengan pemulihan harga diri. Kedua, carok merupakan wujud dari kekerasan kultural yang belakangan beradu dengan kekerasan struktural-politik untuk merebut kekuasaan formal dalam struktur politik seperti Pilkades dan Pilkada.
Dalam peristiwa carok, ada representasi kekerasan simbolik dari kekuatan-kekuatan yang saling bersinggungan (blater, individu, tokoh-tokoh informal) dan ada penempatan untuk memberikan penghormatan pada tiga representasi aktor dalam tradisi budaya etnik Madura (guru, orang tua, pejabat publik).
Perkembangan carok sejak tahun 1980-an tampak sudah bergeser sebagai tindakan kekerasan yang disebut ‘nyelep’, tidak bersifat individual, bisa juga berubah menjadi carok kolektif, tidak hanya memuat dimensi kultural, namun juga mengandung muatan sosial dan politik. Isu terjadinya carok mulai dari pelecehan harga diri, persoalan perempuan hingga kontestasi kekuasaan.
Para penulis mampu memaknai berbagai fenomena faktual carok yang dianalisis dengan sudut pandang baru. Pada awalnya, sejarah carok dilakukan oleh sebagian masyarakat Madura sejak beberapa abad lalu untuk mewakili keberadaan norma-norma kultural yang menjadikan kekerasan langsung dan struktural tampak seolah-olah alamiah atau setidaknya dapat diterima oleh masyarakat. Kini, carok tampaknya juga tidak dapat dilepaskan dari faktor politik atau perebutan kekuasaan.
Bahasan dalam buku ini berhasil menguak sisi-sisi carok dari berbagai sudut pandang. Ada cara melihat, membaca, memahami, dan menjelaskan peristiwa carok, yang sesungguhnya bukan lagi disebut carok sebab dilakukan oleh pelaku tidak berhadapan langsung dengan pelaku lain. Carok sebagai bagian dari identitas kekerasan etnik Madura secara historis demi menunjukkan sikap ksatria dalam memerjuangkan harga diri, kehormatan, kebenaran, dan keadilan.
Melalui hasil dari kajian lapangan di empat kabupaten di Pulau Madura ini, Siti Aminah, dkk. membuka pikiran masyarakat Indonesia, agar melihat peristiwa carok dalam perspektif yang lebih luas. Terlepas dari repetisi data di sana-sini dan bahasa yang terkesan bertele-tele, buku ini dapat dijadikan rujukan bagi para civitas academica, budayawan, praktisi, hingga masyarakat umum.
———– *** ————-