Pemkab Tulungagung, Bhirawa
Bupati Tulungagung, Gatut Sunu Wibowo, secara resmi mendiami rumah dinas di Pendopo Kongas Arum Kusumaning Bongso, Jumat (7/3) malam.
Kepindahan orang nomor satu di Tulungagung dari rumah pribadinya di Desa Gandong Kecamatan Bandung itu ditandai dengan gelaran tradisi boyongan ndalem keprabon.
Prosesi boyongan Bupati Tulungagung tersebut tetap mempertahankan budaya Jawa. Termasuk di antaranya dengan membawa perlengkapan boyongan seperti bantal guling, lampu ublik, sapu lidi, ayam jago dan kendi berisi air.
Bupati Gatut Sunu Wibowo mengatakan dalam filosofi Jawa, boyongan mencerminkan semangat gotong royong dan kebersamaan. “Oleh karena itu saya juga mengajak seluruh elemen masyarakat untuk terus bersinergi tanpa lelah dalam membangun Kabupaten Tulungagung menjadi lebih baik,” ujarnya.
Ia menyebut boyongan juga mengajarkan pentingnya keseimbangan antara lahiriah dan batiniah. Sehingga boyongan diawali dengan tasyakuran, doa bersama memohon pada Allah SWT agar diberikan perlindungan, keberkahan dan kekuatan.
Sebelumnya, mantan Wabup Tulungagung ini menuturkan jika boyongan dalam kebudayaan Jawa tidak hanya dimaknai sebagai perpindahan fisik dari rumah pribadi ke rumah dinas.
“Tetapi juga nemiliki makna yang lebih dalam. Boyongan yang menandai pindah tempat tinggal adalah momen yang sarat dengan filosofi, yakni perpindahan menuju tanggung jawab yang lebih besar. Tanggung jawab untuk mengabdi dan melayani seluruh masyarakat Tulungagung,” paparnya.
Bupati Gatut Sunu menandaskan dengan secara resmi telah menempati Pendopo Kongas Arum Kusumaning Bongso bukan berarti pendopo sebagai tempat tinggal pribadinya belaka. Pendopo adalah rumah dinas, sekaligus rumah rakyat dan rumah kebersamaan.
Sementara itu, Ketua Panitia Boyongan Ndalem Keprabon, Fuad Saiful Anam, menyatakan prosesi boyongan Bupati Tulungagung ke Pendopo Kongas Arum Kusumaning Bongso yang dimulai pukul 22.00 WIB itu sebagai nguri-nguri budaya leluhur. Tujuannya untuk keselamatan, ketentraman dan kesuksesan dalam memerintah Kabupaten Tulungagung.
“Waktu kepindahannya pun ada hitung-hitungan Jawa. Ini ada kearifan lokal. Dan makna dari boyongan ini adalah ingat pada pencipta, yakni Allah SWT. Apa yang dimiliki merupakan pemberian-Nya,” ucapnya. [wed.dre]