26 C
Sidoarjo
Friday, November 22, 2024
spot_img

Bukan UN atau Zonasi, Pengamat Pendidikan UMSurabaya Nilai Kualitas dan Kesejahteraan Guru Lebih Urgen


Surabaya, Bhirawa
Ujian Nasional (UN) dan penghapusan zonasi tak luput dari catatan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen), Prof Abdul Mu’ti yang akan dikaji kembali. UN dan penghapusam zonasi menjadi harapan masyarakat usai Mendikdasmen baru dilantik Presiden Prabowo. Namun, masih efektifkah UN kembali dilaksanakan untuk peningkatan kualitas dan sistem zonasi ditiadakan untuk menghapus diskriminasi sekolah favorit?

Menurut pengamat pendidikan Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya, Achmad Hidayatullah PhD, UN tidak lagi menjadi urgensi dalam peningkatan kualitas pendidikan maupun pemetaan pendidikan di Indonesia. Meski sebenarnya UN memiliki tujuan untuk melakukan evaluasi terhadap capaian belajar secara nasional. Namun dalam implementasinya, UN dijadikan alat kelulusan.

“Saya pikir ini persoalan ketika UN yang berlangsung 3 hari menjadi alat ukur kelulusan belajar siswa. Mungkin pemangku kebijakan berpikir UN memotivasi siswa untuk belajar, faktanya justru terjadi sebaliknya, banyak siswa yang setress dan kecurangan terjadi dimana-mana,” tegasnya dihubungi Bhirawa, Senin (28/10).

Sehingga mengusulkan UN yang memiliki daya rusak terhadap karakter ini untuk diadakan kembali, dinilai dosen UM Surabaya sebagai kemunduran berpikir. Menurut pria yang akrab disapa Dayat ini daya rusak dari UN ini sangat serius terhadap karakter dan kesehatan mental guru dan siswa.

Menurut Achmad, evaluasi terhadap pembelajaran tidak perlu menggunakan ujian nasional, evalusi terhadap hasil belajar bisa dilakukan di tingkat regional bahkan oleh satuan pendidikan.

Berita Terkait :  Pengundian Nomor Urut, Sugiri Sancoko - Lisdyarita Berangkat Naik Becak

“Dengan segala persoalan UN yang menjadi kontroversi bertahun tahun itu, saya pikir mengadakan UN kembali itu merupakan jalan kemunduran. Jadi saya pikir UN itu tidak perlu diadakan lagi. Assesmen nasional yang ada saat ini justru perlu dukungan, penguatan, dan penyempurnaan,” tegasnya.

Terkait zonasi, peneliti Puspolnas UMSurabaya ini beranggapan bahwa sistem zonasi sangat bagus untuk pemerataan kualitas. Di negara-negara maju mayoritas menggunakan sistem zonasi. Siswa bersekolah tidak terlalu jauh dari rumahnya. Memang dalam implementasinya sistem zonasi memiliki beberapa permasalahan.

Namun, tanpa zonasi ini, ia menilai sistem pendidikan akan kembali ke zaman dulu, yang mana ada kesenjangan (gap) antara sekolah favorit dan tidak favorit yang sangat menocolok. Sehingga ketimpangan semakin hidup.

“Maka pemerataan dalam bentuk zonasi ini perlu tetap dilakukan dengan beberapa catatan. Misalkan adanya komitmen antar pemangku kebijakan. Komitmen penyelenggara perlu diperkuat. Sehingga ada pengawasan ketat terhadap proses pendaftaran siswa. Jangan sampai kecurangan dengan memanipulasi alamat ini terjadi. Kualitas sekolah perlu juga ditingkatkan dengan meningkatan fasiltas sekolah dan memperkuat kualitas guru. Perlu adanya flexibilitas, untuk mengatasi sekolah yang penuh,” jelas lulusan Doctoral school of education, University of SSzeged Hongaria ini.

Kedua persoalan itu, UN dan zonasi menurut Dayat bukanlah urgenitas yang harus diselesaikan pemerintah)(Mendikdasmen) saat ini. Justru menurutnya ada beberapa hal yang perlu dilakukan pemerintah yang menurutnya sangat urgen.

Berita Terkait :  Bank Jatim Perkuat Digitalisasi di Ponpes Lirboyo Kediri

Pertama, peningkatan kualitas dan kesejahteraan pendidik. Hal ini perlu disegera direalisasikan tanpa harus membebani tugas guru dengan tugas administrasi yang sangat berat, seperti beban guru dalam platform merdeka mengajar (PMM).

“Sehingga kalau guru atau siswa ditanya sejauh mana pembelajaran mereka selama ini, mereka tidak hanya menjawab ”Sesuai Aplikasi Pak”,” jelasnya.

Kedua, menyoal karakter dan pembentukan skill berpikir kritis, kreatif, kolaborasi, dan komunikasi yang perlu ditekankan kepada tenaga pendidikan atau guru.

Sebelumnya, melalui siaran pers di Jakarta Mendikdasmen Prof Abdul Mu’ti mengatakan, pihaknya akan mendengarkan pendapat banyak pihak terkait perlu tidaknya pelaksanaan UN. Hingga kini juga, pihaknya masih melakukan kajian apakah perlu ada UN atau ujian dalam bentuk lain yakni Asesmen Nasional (AS).

Prof Mu’ti mengatakan, dirinya berharap para praktisi pendidikan bisa lebih banyak terlibat dalam memberikan saran-saran kebijakan Kemendikdasmen. Sebab, menurut dia, sekuat apapun pemerintah tidak akan bisa memenuhi kebutuhan pendidikan masyarakat tanpa dukungan dari masyarakat sebagai penyelenggara dan juga sebagai pengguna jasa pendidikan.

Mu’ti menegaskan, pihaknya tidak akan terburu-buru untuk dalam mengambil kebijakan terutama beberapa hal yang saat ini menjadi polemik di masyarakat salah satunya soal UN dan Kurikulum Merdeka. [ina.fen]

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Berita Terbaru

spot_imgspot_imgspot_img