26 C
Sidoarjo
Friday, December 5, 2025
spot_img

Bom Waktu Ujaran Kebencian

Oleh :
Zainal Muttaqin
Kepala Bagian Humas Kantor Gubernur Jawa Timur

Kebencian adalah peluru yang ditembakkan balik ke arah kita sendiri. Saat kita tidak sadar, kita sudah menjadi korban. Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Bukan semata karena kondisi ekonomi, bukan hanya karena tekanan politik. Tapi karena kita mulai kehilangan kendali atas satu hal yang paling mendasar sebagai manusia: cara kita berbicara.

Indonesia saat ini tengah duduk di atas bom waktu. Bukan bom fisik, tetapi bom emosional berbasis ujaran kebencian, meluas melalui media sosial, platform diskusi, hingga grup pesan. Saat bom ini meledak, dampaknya nyata: negara porak-poranda, kehilangan rasa aman, bahkan korbannya bisa jadi warga biasa.

Di tengah derasnya arus digital, ujaran kebencian kini menjelma menjadi bom waktu sosial yang siap meledak kapan saja. Kata-kata yang dulu hanya menjadi suara dalam ruang terbatas, kini menyebar dengan kecepatan cahaya. Dan ketika kebencian itu bergaung tanpa henti, ruang sosial kita berubah menjadi ladang bara, yang kapan pun bisa tersulut menjadi amuk massa.

Apa yang terjadi belakangan ini di berbagai daerah bukanlah kebetulan. Kekacauan itu berakar dari kebencian yang dipelihara, disebar, dan direspons secara reaktif. Dan tragisnya, kadang orang yang tidak terlibat pun menjadi korban.

Kobaran Api Dari Kolom Komentar
Kita kerap menganggap komentar sinis, meme sarkastik, atau unggahan bernada kebencian sebagai hal sepele. “Cuma lucu-lucuan,” kata sebagian. Tapi tak ada yang benar-benar sepele di era media sosial. Setiap kalimat bisa menjadi bahan bakar. Setiap postingan bisa menjadi pelatuk. Dan setiap emosi kolektif yang dipicu, bisa berubah menjadi ledakan sosial.

Contohnya sangat nyata. Pada malam 30 Agustus 2025, Gedung Negara Grahadi yang merupakan cagar budaya di Surabaya, ikon Pemerintah Provinsi Jawa Timur, diserbu dan dibakar massa. Ruang kerja Wakil Gubernur terbakar, berbagai fasilitas di dalamnya dijarah, puluhan motor dinas hancur lebur. Gedung yang selama ini menjadi simbol persatuan dan musyawarah justru menjadi sasaran amarah kolektif. Api menyala bukan hanya dari bahan bakar, tetapi dari luka-luka yang selama ini dipelihara dalam wacana kebencian digital.

Berita Terkait :  Ratusan Laka Lantas Disebabkan Human Error, Satlantas Polres Madiun Imbau Masyarakat Tingkatkan Konsentrasi Berkendara

Tak hanya itu. Di Jakarta, rumah beberapa anggota DPR-RI yang menurut sebagian orang “patut dibenci” pun tak luput dari aksi serupa: dirusak, dibakar, dan dijarah. Bahkan kediaman pribadi Menteri Keuangan Sri Mulyani pun dijarah. Barang-barang pribadi raib. Kaca-kaca rumah pecah. Video penjarah beredar di media sosial, beberapa dari mereka masih remaja, membawa lemari, blender, sepatu, jam tangan, hingga Binatang peliharaan, seolah itu rampasan perang. Ini bukan lagi demonstrasi. Ini sudah menjadi kehancuran moral yang berbalut legitimasi sosial karena merasa “dibenarkan” oleh narasi online yang sudah terbangun sebelumnya.

Lebih mengkhawatirkan, dari hasil penangkapan sejumlah pelaku pengrusakan dan penjarahan tersebut, banyak yang mengaku bahwa mereka terdorong turun ke jalan bukan karena kesadaran politik atau ekonomi yang matang, tetapi karena provokasi yang diterima dari media sosial dan aplikasi perpesanan. Ajakan yang mereka terima begitu masif, terstruktur, dan berulang, ditanamkan melalui unggahan viral, video potongan yang dimanipulasi, dan pesan berantai penuh ajakan untuk ‘bertindak’.

Beberapa dari mereka bahkan tidak tahu persis apa yang sedang diperjuangkan. Mereka hanya tahu bahwa “pemerintah harus dilawan”, atau “pejabat harus ditakut-takuti”, sebagaimana narasi yang telah lebih dulu menguasai ruang digital mereka.

Peristiwa-peristiwa ini adalah manifestasi dari ujaran kebencian yang telah lama mengendap dan akhirnya meledak, sebuah ledakan sosial yang didorong oleh emosi, bukan oleh kesadaran. Sebuah kekerasan yang dimobilisasi oleh algoritma, bukan oleh akal sehat.

Racun Itu Bernama Ujaran Kebencian
Ujaran kebencian bukan sekadar keluh kesah. Ia adalah racun yang menyebar pelan-pelan. Ia tidak langsung membunuh, tapi melumpuhkan logika. Menumpulkan empati. Memelintir fakta. Ia memperkuat “kita vs mereka”. Ia meniadakan ruang dialog. Ia menormalisasi kekerasan.

Yang menyedihkan, seringkali para pejabat negara justru ikut terpancing dalam perang kata-kata ini. Alih-alih menjadi pendingin situasi, sebagian malah tampil dengan reaksi emosional. Kalimat seperti “kami tahu siapa dalangnya”, atau “akan kami sikat habis”, bisa menjadi bensin baru bagi api yang belum padam. Harusnya mereka menjadi juru damai, bukan bagian dari pertarungan narasi.

Berita Terkait :  Bupati Pasuruan Tawarkan Lahan Strategis Investor Korea Selatan

Respons yang emosional dari pejabat, saat bertemu dengan massa yang sudah terbakar amarah, adalah formula sempurna untuk kekacauan yang lebih luas.

Hoaks, Algoritma, dan Normalisasi Kekerasan
Banyak yang lupa bahwa dunia maya saat ini bekerja berdasarkan algoritma: semakin panas, semakin viral. Unggahan yang penuh kebencian sering kali mendapat jangkauan lebih luas daripada narasi damai. Akibatnya, warganet lebih sering menemukan berita hoaks, narasi permusuhan, dan propaganda penuh tuduhan, daripada ruang diskusi yang sehat.

Masyarakat dengan mudah terprovokasi karena setiap hari dijejali berita-berita palsu: “pejabat A menyelewengkan dana,” “menteri B hidup mewah,” “tokoh C bagian dari elite licik.” Meski tidak ada bukti, narasi yang terus diulang akan terasa seperti kenyataan. Dan dari sinilah akar kekerasan bermula.

Banyak orang yang turun ke jalan bukan karena tahu fakta, tapi karena sudah percaya pada narasi yang dibentuk di timeline media sosialnya. Begitulah ujaran kebencian bekerja: ia menyusup dalam emosi, lalu meledak dalam tindakan.

Kita Semua Punya Peran
Mudah sekali menyalahkan pemerintah, menyalahkan buzzer, atau menyalahkan media. Tapi apakah kita sendiri bersih? Pernahkah kita share konten hanya karena judulnya provokatif? Pernahkah kita diam saja melihat komentar jahat di postingan seseorang? Pernahkah kita menertawakan meme yang merendahkan martabat tokoh publik?

Kalau iya, maka kita pun bagian dari masalah ini. Karena diam juga adalah bentuk partisipasi dalam menyuburkan kebencian. Platform digital juga harus berubah. Media harus kembali pada etika jurnalistik. Jangan hanya mengejar klik. Jangan menyebar kutipan tanpa konteks. Jangan menormalisasi narasi “adu domba” hanya demi rating.

Etika Digital: Vaksin Sosial Kita
Kita tidak butuh teknologi lebih canggih untuk mengatasi ini. Yang kita butuh adalah etika dalam berkomunikasi. Kesadaran bahwa setiap kata yang kita tulis bisa membentuk atau menghancurkan. Bahwa jari kita bisa menjadi alat kedamaian, atau senjata pembunuh karakter.

Cukup tanyakan satu hal sebelum mengetik: “Kalau kalimat ini ditujukan ke orang yang saya cintai, apakah saya akan marah?” Jika jawabannya iya, maka tahan. Hapus. Diam adalah bentuk kematangan. Bicara dengan bijak adalah bentuk keberanian. Dan saling mengingatkan adalah bentuk cinta pada bangsa ini.

Berita Terkait :  Perpamsi Jatim Apresiasi Pemkot Malang Bangun WTP

Jangan Tunggu Ledakan Berikutnya
Bom waktu itu masih berdetak. Dan tanda-tandanya sudah nyata. Kemarin Grahadi, besok bisa kantor pemerintahan di daerah lain. Hari ini rumah pejabat, besok bisa rumah kita sendiri.

Ledakan sosial tak akan menunggu klarifikasi. Ia hanya butuh satu pemicu kecil. Dan pemicu itu bisa datang dari satu komentar, satu hoaks, satu meme yang tidak lucu. Jangan tunggu kita menjadi korban berikutnya. Jangan biarkan negara ini terbakar oleh kata-kata yang keluar tanpa kendali.

Jaga Negeri dari Ujung Jari
Indonesia bukan ladang kebencian. Ia adalah rumah kita bersama. Dan rumah ini tak akan pernah nyaman jika setiap penghuninya sibuk saling menyulut api. Maka mulai hari ini, dari timeline kita, dari grup WA kita, dari komentar kita, mari kita hentikan ujaran kebencian.

Dalam ajaran agama, dalam etika sosial, bahkan dalam budaya lokal kita diajarkan bahwa “ajining diri ana ing lathi”: harga diri seseorang ada pada ucapannya. Maka jagalah lidah dan jari kita. Karena hari ini, ucapan bisa menyelamatkan, atau menghancurkan bangsa ini.

Ujaran kebencian adalah bom waktu. Ia mungkin tidak terdengar sekarang. Tapi ia berdetak. Pelan tapi pasti. Dan jika kita tidak segera menjinakkannya, ledakan berikutnya bisa lebih dahsyat dari sebelumnya.

Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari-Muslim)

Ini bukan hanya ajaran spiritual, tapi prinsip hidup universal. Dalam dunia yang semakin gaduh dan terpolarisasi, diam bisa jadi sikap heroik. Bicara baik bisa jadi tindakan revolusioner. Mari ciptakan ruang digital yang penuh empati. Mari perkuat dialog yang sehat. Mari rawat negeri ini dari yang paling sederhana: menjaga kata-kata. Karena negara yang besar tidak dibangun dari senjata. Ia dibangun dari kepercayaan, cinta, dan kata-kata yang saling menguatkan. Plis, stop ujaran kebencian. Bom waktunya masih berdetak. Dan hanya kita yang bisa menjinakkannya.

—————- *** ——————–

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow

Berita Terbaru