Oleh :
Josephine Maharani
Penulis adalah mahasiswi Ilmu Komunikasi Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya
Seksisme dalam media bukanlah hal baru. Namun, dampaknya tetap signifikan hingga hari ini. Dari pola perekrutan yang bias gender hingga penggambaran perempuan yang seringkali klise, media terus menghadapi tantangan dalam menciptakan lingkungan yang setara bagi pria dan wanita.
Analisis industri terbaru menunjukkan ketimpangan yang mencolok. Wanita hanya mewakili 37% dari pembawa acara berita prime-time dan 33%. Ketika wanita muncul di layar, waktu berbicara mereka jauh lebih sedikit, penelitian menunjukkan bahwa reporter dan pembawa acara pria mendominasi sekitar 64% waktu siaran.
Sebuah studi yang dilakukan Global Media Monitoring Project (GMMP) menemukan bahwa hanya 24% dari berita yang ditampilkan di seluruh dunia yang difokuskan pada perempuan, sedangkan pria mendominasi sisanya. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan: bagaimana media dapat mencerminkan masyarakat yang seharusnya adil dan setara jika realitas dalam tayangan saja masih dibayangi dengan adanya seksisme?
Ketimpangan ini bahkan lebih nyata di balik layar. Kepemimpinan di dunia penyiaran masih didominasi pria, dengan wanita hanya mengisi 22% posisi direktur berita. Peran teknis menunjukkan ketimpangan yang lebih parah, dengan wanita hanya 19% dari total insinyur penyiaran.
Di ranah kreatif, penulis naskah perempuan hanya mencakup 28% dari staf penulisan berita, sementara di tingkat korporat, wanita hanya memegang 25% dari posisi dewan di perusahaan media besar.
Tekanan pada Penampilan
Perempuan di media sering kali menghadapi tekanan ekstra pada penampilan fisik. Banyak penyiar perempuan mendapat komentar langsung dari pemirsa terkait pilihan pakaian dan gaya rambut mereka. Tekanan ini jauh lebih besar daripada yang dialami oleh rekan pria mereka, yang cenderung tidak menjadi subjek evaluasi visual yang sama ketatnya.
Tekanan ini bukan hanya beban psikologis, tetapi juga finansial, karena mereka diharapkan memiliki lemari pakaian yang luas dan bergaya, seringkali dengan biaya pribadi. Data dari Women’s Media Center mengungkapkan bahwa lebih dari 60% penyiar perempuan menerima umpan balik tentang penampilan fisik mereka, sementara hanya 25% penyiar pria yang menerima kritik serupa.
Wanita masih sering ditempatkan di segmen “berita ringan”, sementara peluang dalam penyiaran olahraga terbatas. Mereka sering kali harus menghadapi asumsi stereotip tentang bidang keahlian mereka dan menemui hambatan signifikan saat mencoba mengakses topik yang secara tradisional didominasi pria, yang mempersempit peluang perempuan dalam memperluas kompetensi profesional mereka.
Studi juga menunjukkan bahwa perempuan di media menghadapi standar ganda dalam membangun kredibilitas mereka. Penyiar wanita kerap harus bekerja lebih keras untuk membuktikan otoritas mereka di bidangnya. Misalnya, suara dan gaya bicara mereka kerap mendapat kritik lebih tajam. Wanita sering harus bekerja dua kali lebih keras untuk dianggap “cukup kompeten” oleh audiens yang mungkin tidak memberikan tantangan yang sama bagi rekan pria mereka.
Pelecehan Online
Era digital menghadirkan tantangan baru bagi penyiar wanita. Mereka menghadapi pelecehan yang bersifat gender di media sosial, dengan kritik yang berfokus pada penampilan semakin sering muncul. Banyak dari mereka menerima ancaman dan intimidasi, yang berdampak signifikan pada kesehatan mental dan memengaruhi keputusan karier mereka. Menurut studi Pew Research Center, lebih dari 70% perempuan yang bekerja di media melaporkan pernah mengalami pelecehan online, sering kali berisi komentar yang menghina penampilan mereka atau memicu perdebatan seksis.
Usia dan Pengalaman
Dampak ageisme sangat berbeda di antara gender dalam dunia penyiaran. Pembawa acara pria sering melanjutkan karier hingga usia enam puluhan atau tujuh puluhan dan dipuji karena sering kali dipandang sebagai tanda “pengalaman” dan “kewibawaan”. Sebaliknya, pembawa acara wanita menghadapi tekanan untuk pensiun jauh lebih awal.
Standar yang berbeda diterapkan dalam mengevaluasi penampilan “berpengalaman” versus “usang,” yang membatasi peluang karier berdasarkan usia bagi wanita.
Meskipun seksisme dalam media masih menjadi tantangan besar, beberapa inisiatif telah dimulai untuk mengatasinya. Organisasi seperti International Women’s Media Foundation (IWMF) dan Women in News (WIN) bekerja untuk mendukung perempuan di media melalui pelatihan, jaringan profesional, dan advokasi kebijakan yang lebih inklusif.
Langkah-langkah ini menjadi sinyal bahwa perbaikan dapat dicapai melalui kolaborasi yang lebih kuat antara organisasi, perusahaan media, dan komunitas jurnalis.
Seksisme dalam media adalah masalah yang kompleks dan mendalam, tetapi perubahan yang berarti tetap mungkin dicapai. Melalui kesadaran, advokasi, dan komitmen untuk mengatasi ketimpangan, media dapat lebih mencerminkan masyarakat yang setara, bukan hanya di layar, tetapi juga di balik layar. Menghadirkan lebih banyak perempuan dalam peran kunci akan membantu menciptakan tayangan media yang lebih adil, beragam, dan inklusif bagi semua.
————- *** ————–
Sumber :
Global Media Monitoring Project. (2023). Who Makes the News? Global Report on Gender in News Media. World Association for Christian Communication.
Pew Research Center. (2023). State of the News Media 2023: Gender Analysis. Pew Research Center.
Women’s Media Center. (2024). The Status of Women in U.S. Media 2024. WMC Research & Reports.
International Women’s Media Foundation. (2023). Global Report on the Status of Women in News Media. IWMF.