Model Literasi Jurnalisme Pemprov Jatim Bersama Wartawan
Oleh: Yunus Supanto
Wartawan Senior, penggiat dakwah social politik
Usaha media pers mainstream saat ini dalam keadaan “tidak baik-baik saja.” Termasuk media berbasis elektronika (radio dan televisi) juga tak mampu bersaing menghadapi kemajuan teknologi informasi. Hampir 95% radio siaran swasta, sudah tidak meng-udara. Bahkan perusahaan pers raksasa (yang padat modal dan padat teknologi) di Eropa, betumbangan. Guncangan yang sama, sebenarnya, juga dirasa koran harian kita, Bhirawa. Dibutuhkan perjuangan fisik, mental, dan kebatinan. Sekaligus menjaga profesionalitas.
Keterpurukan usaha pers bukan hanya dialami lembaga pers skala nasional, dan skala kecil (koran daerah). Melainkan juga pers global, yang tergolong “raksasa” media. Dampaknya, pemerintah kehilangan sarana sosialisasi. Program pemerintah tidak bisa menjangkau seluruh daerah. Begitu pula unit distribusi, dengan ribuan armada, menjadi sumber lapangan kerja. Sedangkan halaman opini dijadikan “kolom” pengaduan masyarakat. Bahkan beberapa profesor mempublikasikan penelitian melalui koran.
Fungsi pers nasional, menyokong pemerintah membangun peradaban (kemasyarakatan) yang egalitarian. Di seluruh daerah koran-koran juga tumbuh dan berkembang dalam pengelolaan “putra daerah.” Di Bali, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Sumatera, masing-masing memiliki koran daerah yang cukup maju. Lebih dari setengah abad, sejak era 1950-an hingga tahun 2010, media mainstream (terutama koran, radio, dan televisi) tumbuh pesat. Terutama pada sisi literasi, dan ke-ekonomi-an.
Tiras koran pusat (Jakarta) bisa mencapai 800 ribu eksemplar per-hari. Misalnya, oplah terbesar Harian Kompas yang pernah dicapai adalah sekitar 750 ribu eksemplar pada edisi khusus saat ulang tahun ke-100 Soekarno. Bahkan koran harian Jepang, Yomuiri Shimbun, tirasanya lebih dari 10 juta eksemplar per-hari. Yomiuri Shimbun, terbit sejak 2 November 1874, menjadi salahsatu surat kabar terbesar di dunia. Setiap orang di keretaapi, di Bandara, dan di dalam pesawat, nampak asyik membaca koran.
Di Amerika Serikat (USA), oplah terbesar yang pernah tercatat untuk surat kabar adalah 3.638.600 eksemplar. Yakni yang dicetak oleh USA Today pada 12 September 2001 untuk edisi yang meliput peristiwa Serangan 11 September. Judul berita utama USA Today pada Serangan 11 September 2001 “World Trade Center Destroyed” (Menara Kembar Hancur). Sangat mengejutkan seluruh dunia. Sekitar 13 bulan kemudian, di Indonesia juga terjadi serangan terorisme, Bom Bali I, 12 Oktober 2002. Koran tak kalah laris.
Ekosistem Informasi
Namun serasa percaya tak percaya, oplag besar koran, bisa meredup sangat cepat. Banyak usaha pers (cetak dan elektronik) yang tutup, sebagai fenomena transformasi menuju media online. Konon pemerintah sedang berupaya mem-fasilitasi supaya terbangun ekosistem yang tidak mematikan salahsatu pihak. Perlu keseimbangan baru sehingga media di tanah Air dapat terlindungi melalui berbagai aturan. Pemerintah bisa hadir dalam perlindungan usaha pers. Tetapi teknologi informasi, telah berkembang cepat, Bagai ombak dan badai di Samudera Pasifik, yang menelan kapal pesiar.
Upaya perlindungan oleh pemrintah, diantaranya melalui penerbitan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 125/PMK.010/2020 tentang Pajak Pertambahan Nilai ditanggung Pemerintah (PPN DTP). Yakni meliputi impor dan/atau penyerahan kertas koran dan/atau kertas majalah yang dilakukan oleh perusahaan pers media cetak. Seluruh media cetak, dengan kode Klasisfikasi Lapangan Usaha 58130, berhak memperoleh kemudahan. Bahan baku kertas tercantum dalam “Buku Tarif Kepabeanan Indonesia 2017,” pos 4802, 4805, 4810, dan 481.
Tetapi upaya pemerintah tidak cukup manjur. Kini pers nasional, dalam ancaman ke-tidak layak-an usaha penerbitan. Tujuan meningkatkan kualitas dan kuantitas pers nasional, beradu kuat dengan berita hoax di media sosial. Pada masa kini setiap orang bisa menjadi “wartawan” menulis berita di media sosial (medsos). Sekaligus memalsukan informasi, data dan fakta sejarah palsu. Tak terkecuali informasi palsu (hoax) kenegaraan. Tak jarang, kalangan pemerintahan (dan daerah) merilis informasi data palsu.
Maka bersabar dalam “Pancaroba” tata informasi global, menjadi pilihan wajib seluruh insan pers media cetak. Tidak mudah menerbitkan koran harian Bhirawa, selama 57 tahun (sejak 5 Oktober 1968), sekaligus menyokong ke-informasi-an pemerintah daerah Jawa Timur. Sejak reformasi, pemerintah lebih memberi ke-leluasa-an insan pers mengelola Bhirawa. Bersamaan dengan persaingan usaha penerbitan pers, yang mulai ketat. Beberapa koran “kuning” tutup terbit, seiring tuntutan jurnalisme kesopanan, dan kejujuran.
Memasuki abad millennium (abad XXI), tata-informasi (dan komunikasi) memasuki babak baru, melalui gawai. Fitur telepon seluler, telah mengubah peradaban manusia. pola hidup seluruh manusia. Bahkan sejak balita usia 2 tahun, sudah terbiasa menikmati hiburan di hp. Dampaknya, seluruh media mainstream (cetak, dan elektronik) yang ber-biaya besar, dalam masa kritis. Terancam tutup cetak, berhenti operasional, dan tidak siaran.
Bhirawa 57 tahun
Tetapi masih banyak wartawan kukuh bekerja melaksanakan “jurnalisme perjuangan.” Terus maju menulis walau tanpa garansi kesejahteraan. Sehingga wajib ditempuh metode (kesabaran) survival. Harus mampu bertahan hidup pada era Pancaroba informasi global. Bahkan beberapa koran besar kelas dunia, runtuh. Tidak terbit. Yang pertama runtuh, adalah, majalah ternama asal Amerika Serikat, Newsweek. Tidak terbit lagi sejak akhir tahun 2012. Padahal usianya sudah 80 tahun. Hampir seluruh koran daerah di AS, yang ber-tiras di atas 500 ribu eksemplar, telah gulung tikar.
Era digital telah mengubah model pemberitaan global, menjadi lebih cepat, lebih luas, dan murah. Melalui media sosial (medsos) setiap orang bisa menjadi “wartawan,” bebas menulis yang di-ingin-kan. Walau melabrak kaidah jurnalisme. Termasuk berita yang menista, memancing kegaduhan sosial. Usaha penerbitan pers, menghadapi tantangan “luar-dalam.” Tantangan penerbitan pers semakin ketat. Karena setiap orang, dan badan hukum, boleh menerbitkan surat kabar.
Sehingga usaha penerbita pers, nyaris tanpa perlindungan usaha. Padahal rantai usaha pers merupakan lapangan kerja yang cukup luas. Akibatnya, puluhan koran, tabloid, dan majalah berdedikasi telah tutup cetak. Usaha pers yang memiliki fungsi strategis berdasar UU 40 Tahun 1999, seolah-olah dibiarkan berkinerja tanpa perlindungan. Dampaknya, pemerintah bisa kehilangan sarana sosialisasi (dan komunikasi dengan masyarakat).
Presiden pada HPN (Hari Pers Nasional) tahun 2020, menyatakan, Pers dan kinerja jurnalisme yang baik dan sehat harus diproteksi, dilindungi. Hingga kini nasib pers diperjuangkan sendiri secara spartan. Pengalaman 57 tahun Bhirawa, menjadi pelajaran sangat berharga. Sekaligus menjadi kajian nasional. Kini hampir seluruh media mainstream, “meng-adiopsi” metode bertahan Bhirawa. Terutama advertensi pariwara ke-pemerintahan.
Bhirawa, sebagai model literasi khas, akan tetap terbit. Karena masyarakat masih menunggu, (dan percaya) pada peliputan pers yang cerdas serta jurnalisme dedikatif yang biasa dipikul media mainstream. Terutama berkait literasi pers sebagai fungsi kontrol sosial. Bahkan Bhirawa telah meraih penghargaan jurnalistik, Anugerah Jurnalistik Adinegoro (Penghargaan Tertinggi Karya Jurnalistik Tingkat Nasional), satu-satunya dari Jawa Timur. Maka segenap karyawan Bhirawa bertekad akan berupaya meningkatkan kinerja melayani informasi masyarakat. [*]


