Pemprov, Bhirawa
Percepatan pertumbuhan ekonomi di wilayah selatan Jawa Timur selama ini masih stagnan. Upaya
pembangunan infrastruktur jalan seperti jalur lintas selatan (JLS) atau jalur pantai selatan (pansela),
masih belum menunjukkan hasil yang menggembirakan.
Melihat perkembangan pembangunan JLS yang lambat ini, Penjabat (Pj) Gubernur Jatim Adhy
Karyono memiliki mimpi besar menuntaskan JLS tahun depan atau rampung pada 2025. Sebab jika JLS
jadi, pertumbuhan ekonomi di wilayah selatan Jatim diprediksi bakal melesat karena memiliki potensi
yang sangat besar.
Hingga 2023, JLS yang membentang dari Pacitan hingga Banyuwangi tersebut telah terbangun
sepanjang 386,91 km, atau 61,57 persen. Sehingga, sisa yang masih harus diselesaikan ialah 241,48
km atau 39,43 persen.
Adhy Karyono berharap, JLS bisa tuntas tahun depan mulai dari Kabupaten Pacitan, Trenggalek,
Tulungagung, Blitar, Kabupaten Malang, Lumajang, Jember hingga Kabupaten Banyuwangi. Sayangnya,
sejumlah tantangan masih harus diatasi sebagai upaya percepatan pembangunan JLS. Di antaranya
ialah pembebasan lahan dan pembiayaan.
“Percepatan JLS terus kita lakukan meskipun terdapat beberapa penyelesaian pembebasan
tanah di Trenggalek yang nilainya mencapai Rp 200 milliar. Kita bersama Kab. Trenggalek terus
memikirkan agar JLS bisa dinikmati oleh masyarakat. Jika ini tersambung pergerakan ekonomi bisa
terasa dengan kuat,” jelas Adhy Karyono, Selasa (11/6).
Pembangunan JLS ini dimulai sejak era Gubernur Jatim Imam Utomo pada 2002 lalu. Delapan
daerah yang dilewati JLS adalah Pacitan, Trenggalek, Tulungagung, Blitar, Malang, Lumajang, Jember
dan Banyuwangi.
Secara keseluruhan JLS memiliki panjang 634.11 km. Total kebutuhan lahan proyek JLS seluas
13.515.288,00 m2. Rinciannya, kepemilikan lahan meliputi lahan Perhutani 5.609.420 m2, perkebunan
1.284.240 m2, penduduk sekitar proyek 3.671.908 m2, dan lain-lain seluas 3.156.120 m2.
Terhadap sisa JLS yang belum terbangun sepanjang 241,48 km, Kepala Biro Administrasi
Pembangunan Setdaprov Jatim Sigit Panoentoen menjelaskan, pemerintah telah memprogramkan
pembangunan JLS sepanjang 106,78 km melalui dana Loan IsDB dan ADB.
Sedangkan terhadap ruas jalan sepanjang 134,71 km yang belum termasuk dalam program Loan
IsDB dan ADB, pemerintah akan berupaya mencari solusi dan alternatif pendanaan lainnya. “Alokasi
anggaran untuk penyelesaian JLS itu kewenangan Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional Jatim-Bali,”
jelas Sigit.
Lebih lanjut Sigit mengungkapkan, kendala utama pembangunan JLS adalah pembebasan lahan.
Sebab, pembebasan lahan bergantung pada keterbatasan kemampuan fiskal pemerintah kabupaten.
Pembebasan lahan tersebut terdapat tiga status lahan kepemilikan.
“Ada lahan milik warga, PT. Perkebunan Nusantara, serta pembebasan lahan di Kawasan Hutan
yang membutuhkan waktu dalam memproses Izin Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (IPPKH)
yang diterbitkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK),” ujar Sigit.
Terkait pembebasan lahan di Kabupaten Trenggalek yang masih menyisakan Rp 200 miliar, hal
tersebut merupakan tanggung jawab Pemkab Trenggalek. Kendati demikian, sebagai upaya percepatan
pembangunan JLS Pemprov Jatim terus berperan aktif memfasilitasi pemerintah pusat dan pemkab
dalam upaya debottlenecking isu dan permasalahan yang ada dalam pelaksanaan pembangunan jalan
Pansela.
Di antaranya lain melakukan koordinasi, monitoring dan evaluasi terkait pembebasan lahan JLS,
percepatan proses pemberian rekomendasi kelayakan lingkungan hiduup dan rekomendasi gubernur
dalam rangka proses IPPKH. Selain itu, pemprov juga memfasilitasi pihak-pihak terkait dalam hal
pemindahan utilitas yang terdampak pembangunan JLS seperti jaringan listrik, Telkom dan PDAM.
“Pada dasarnya tujuan pembangunan JLS adalah peningkatan perekonomian masyarakat.
Sehingga perencanaan terhadap upaya pemberdayaan masyarakat di sekitar Jalan Pansela juga perlu
mendapat perhatian kita bersama,” jelas Sigit. [tam.iib]