Pemilik Batik Okra, Soni menunjukkan motif khas pesisir Kota Surabaya, kemarin.
Surabaya, Bhirawa.
Di tengah pesatnya perkembangan industri fashion modern, Batik Okra Surabaya hadir sebagai pelopor pelestarian batik pesisir yang terus tumbuh dari lingkungan masyarakat Tambak Wedi.
Dikenal dengan motif khas pesisir Surabaya yang merefleksikan kehidupan laut, flora pesisir, hingga dinamika nelayan, Batik Okra menjadi representasi kuat dari identitas budaya lokal yang semakin jarang ditemui.
Batik Okra bukan sekadar produk kerajinan. Ia merupakan simbol perjalanan panjang budaya Surabaya yang dirawat oleh para pengrajin dengan teknik tradisional yang diwariskan lintas generasi.
Setiap goresan canting, setiap warna yang menyatu pada kain, adalah hasil dari ketelitian dan ketulusan para pembatik lokal yang mempertahankan seni batik pesisir agar tetap hidup di tengah arus modernisasi.
Dalam kunjungan liputan bersama tim mahasiswa Universitas 17 Agustus 1945 (UNTAG) Surabaya, pemilik Batik Okra menyampaikan pesan yang sangat menyentuh ketika ditanya mengenai harapan terhadap keberlanjutan batik di mata generasi muda. Andai Batik Okra bisa bicara, menjaga kelestarian dan filosofis budaya adalah kewajiban bagi generasi muda.
“Tolong jogoen awakku… jangan sampai aku ini punah.” tegas Pak Soni selaku pemilik Batik Okra.
Kutipan itu bukan sekadar metafora, ia mencerminkan kegelisahan sekaligus harapan besar bahwa batik pesisir Surabaya tidak hanya dikenal sebagai pakaian formal, tetapi dipandang sebagai bagian dari identitas yang layak dijaga, dirayakan, dan diteruskan oleh anak muda. Istilah “jagoen awakku” yang berarti “jaga aku” mengandung pesan bahwa batik adalah suara budaya yang meminta perhatian agar tidak tersisih oleh tren instan.
Batik Okra sendiri terus memperkuat citranya sebagai pusat kreativitas budaya Surabaya dengan membuka ruang belajar bagi masyarakat, menyediakan pelatihan membatik, hingga mendukung pemberdayaan warga sekitar.
Para pengrajin lokal berupaya mempertahankan teknik tradisional namun tetap adaptif dalam merespons kebutuhan visual generasi kini, sehingga batik pesisir tetap dapat diterima dan dinikmati secara modern tanpa kehilangan jati dirinya.
Kolaborasi liputan bersama mahasiswa UNTAG Surabaya menjadi wujud nyata keterlibatan anak muda dalam mendokumentasikan, mempromosikan, dan mengenalkan kembali Batik Okra kepada publik yang lebih luas. UNTAG Surabaya hadir sebagai pendukung yang membantu menyuarakan kisah Batik Okra, sementara fokus utama tetap pada upaya pelestarian budaya oleh para pengrajin lokal yang bekerja setiap hari menjaga warisan batik Surabaya.
Di tengah perubahan gaya hidup dan pesatnya perkembangan teknologi, Batik Okra berharap generasi muda dapat menjadi bagian dari perjalanan pelestarian budaya ini.
Melalui karya, media sosial, atau sekadar mengenakan batik dalam keseharian, anak muda memiliki peran besar dalam memastikan batik pesisir tidak hilang dari ruang budaya Indonesia.
Sebagaimana pesan yang disampaikan oleh sang pemilik, Batik Okra ingin tetap hidup dan terus bercerita. Ia ingin didengar, dihargai, dan dijaga. Sebab di setiap helai kain batik, tersimpan napas sejarah, tangan-tangan yang bekerja dengan cinta, dan identitas masyarakat pesisir Surabaya yang pantang menyerah menghadapi zaman.
(why.hel).


