Musim hujan baru sepekan berjalan, tetapi intensitas guyuran hujan menyebabkan arus deras air sungai. Sampai tanggul jebol, meluapkan air bah ke permukiman. Banyak jalan Nampak menjadi aliran Sungai. Bahkan banjir sudah merendam jalan negara di lintas pantai utara Jawa (Pantura). Semarang, Demak, dan Pati, sudah dilanda banjir sampai setinggi 90 sentimeter. Bahkan banjir juga terjadi di Pantai Selatan, di Sukabumi. Banjir awal musim terasa lebih pedih, karena terdapat tiga korban jiwa. Termasuk anak SD yang terpeleset, hanyut di depan sekolahnya.
Arus deras yang menjebol tanggul menjadi fenomena awal musim hujan 2025. Tanggul “Baswedan” di Kali Pulo, Jati Padang, Pasar Minggu, Jakarta, jebol. Longsor tebing tanggul sekaligus menyeret dinding rumah turut roboh. Berbagai tanggul lain di Jakarta juga roboh. Hal yang sama terjadi di Tangerang, Semarang (tanggul Dempel, perbatasan dengan Grobokan) dan di Pati. Revitalisasi fungsi tanggul yang jebol menjadi prioritas. Karena musim hujan baru berjalan sepekan.
Masih tedapat 24 pekan lagi musim hujan, sama-sama berpotensi menyebabkan banjir dan tanah longsor. Menurut pantauan BMKG (Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika), terdapat iring-iringan udara basah dari Asia menuju Australia. Udara basah membawa banyak uap air untuk pembentukan awan hujan. Menjadi hujan lebat hingga ekstrem, disertai petir dan angin kencaang. Ironisnya, seluruhnya merupakan “anomali.” Di luar kebiasaan.
Hujan deras akan mengisi rongga tanah yang merekah (saat kemarau), bisa menyebabkan longsor. Bahkan longsor pada tebing sungai, bisa meng-hanyutkan beton tiang pancang jembatan. Niscaya menjadi Pemerintah propinsi di seantero Jawa coba tanggulangi banjir dengan pompanisasi. Juga sudetan di beberapa sungai. Tetapi seyogianya juga dimulai upaya pencegahan banjir melalui back to nature, dengan memperbaiki area resapan. Serta “penghutanan” bantaran sungai.
Jalan negara trans Jawa lintas utara, sudah “rutin” mengalami kemacetan sangat panjang. Perjalanan kendaraan bermotor merayap bagai siput. Distribusi seluruh komoditas untuk Jawa bagian barat terganggu. Khususnya komoditas dari Jawa Timur, berupa hasil bumi, dan hasil laut, yang biasa dikonsumsi masyarakat Jawa Barat, Jakarta, hingga banten. Terutama daging ayam, telur, dan ikan. Juga cabai.
Perjalanan kereta-api tak kalah nelangsa. Karena Semarang merupakan titik Tengah perjalanan kereta-api Jakarta – Surabaya. Penyebabnya tak lain, rel kereta-api terendam banjir sedalam 20 sentimeter. Masinis tidak bisa melihat “wesel” (percabangan rel untuk pindah jalur). Rel terendam terutama di arah timur stasiun Tawang, Semarang. Beberapa perjalanan kereta-api dibatalkan.
BBWS (Balai Besar Wilayah Sungai) Pemali Juana, di Semarang, mengurus lima sungai, yang mengalir di 11 kabupaten, dan 2 kota di Jawa Tegah. BBWS coba mengerahkan optimalisasi pompa (Tenggang, dan Sringin). Tapi tak cukup. Konon dalam jangka panjang, Ditjen Bina Marga, sedang membangun dua kolam retensi, di Terboyo (Semarang), dan di kolam Sriwulan di Demak. Dua kolam merupakan bagian dari proyek Tanggul Laut Jalan Tol Semarang – Demak.
Area aglomerasi Surabaya (Sidoarjo, dan Gresik), tak kalah sibuk menanggulangi banjir, yang menyebabkan distribusi tersendat. Terutama pada jalan negara. Kawasan di seantero Jawa yang memiliki sungai besar patut waspada. Terutama Ciliwung (Jakarta), Citanduy, dan Citarum (Jawa Barat), sungai Serayu, dan Lusi (Jawa Tengah), serta Kali Brantas, dan Bengawan Solo (Jawa Timur).
Maka seyogianya, Pemerintah daerah (propinsi, serta kabupaten dan kota) menyusun mapping kebencanaan berdasar kondisi terbaru. Karena banjir bisa menyebabkan kenaikan harga pangan, akibat distribusi yang tersendat, dan gagal panen.
——— 000 ———


