Oleh :
Mukhlis Mustofa
Dosen PGSD FKIP Universitas Slamet Riyadi dan Konsultan Pendidikan Yayasan Pendidikan Jama’atul Ikhwan Surakarta
Hajatan tahunan bertajuk Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Tanpa ada gejolak rasanya sesuatu sangat kurang. Pernyataan ini bukanlah frasa sinisme tanpa dasar ataupun pernyataan tanpa harapan. Setiap tahun PPDB bisa dipastikan muncul beragam permasalahan dengan beragam pola seakan linier dengan perkembangan sosial masyarakat. Metamorfosa kecurangan PPDB telah berpola beragam rupa, kecurangan PPDB masa lalu, hadir Siswa titipan atau siswa bina lingkungan ( bilung ) sekarang kecurangan berbasis domisili, Beragam kecurangan tersebut secara tidak langsung sebagai perwujudan sebagai feodalisme pendidikan sekaligus menjadi kemahfuman pendidikan. Indikasi kecurangan berbasis domisili seperti terlansir pada pemberitaan beberapa hari terakhir menjadi bukti sahihnya.
Indikasi Pola kecurangan seakan sedemikian massif dan terstuktur linier dengan kebijakan pendidikan kekinian. Metamorfosis kecurangan ini bukanlah tanpa alasan, keinginan mendapatkan layanan pendidikan terbaik dikedepankan manakala permufakatan jahat ini dilakukan. Layaknya tayangan superhero di layar lebar pengambaran kecurangan seiring perkembangan regulasi. Pemegang regulasi pendidikan pun seolah kehilangan arah bagaimana menutup pintu kecurangan PPDB tiap tahunnya. Jengahnya permasalahan ini bukanlah tanpa asal muasal. Muara permasalahan ini adalah diskriminasi persepsi publik pada layanan pendidikan yang masih terpesona dengan sekolah yang diselenggarakan Negara (baca Sekolah Negeri).
Perilaku curang pada era transparansi pendidikan saat ini sebenarnya sangat tidak elegan untuk diberlakukan. Dari pihak orang tua maupun siswa bersangkutan akan mengalami beragam sangsi sosial yang sangat berpengaruh dengan perkembangan di masa mendatang. Namun dengan belum adanya implikasi payung hukum berkaitan PPDB zonasi terkait sangsi hukum pelanggarnya diperkirakan penyimpangan siswa saat PPDB akan bermetamrfosis dengan beragam pola dan menjadi preseden sangat buruk menjadi ladang empuk berkembangnya kriminalisasi edukasi.
Muncullah pertanyaan besar mengapa beragam indikasi kecurangan berbeda pola ini terus terjadi?. Hipotesis pun digulirkan bahwa Kecurangan ini muncul akibat penghambaan layanan pendidikan hanya pada sekolah impian. Narasi sudah tidak ada lagi sekolah favorit sedemikian indah tersaji namun pada akhirnya publik tak jua teredukasi. Persona sekolah favorit dalam hal ini disematkan sekolah negeri masih menyihir khalayak dan regulasi tidak bisa berbuat banyak.
Bagaimanakah selayaknya memposisikan kecurangan PPDB dalam konteks transparansi pendidikan menjadi sebuh pertanyaan konkrit mengingat implikasi permasalahan ini dampak sistemiknya sedemikian besarnya baik dari sisi edukatif terlebih menjadi komoditas politis. Mungkinkah indikasi kecurangan PPDB ini diminimalisir dan bagaimanakah eleganitas peran pemecahan masalahnya menjadi permasalahan krusial dan harus diseleasaikan dalam mengatasi kecurangan pembelajaran ini.
Diskriminasi peran
Secara pedagogis beragam indikasi kecurangan selama proses PPDB tersebut menunjukkan anomali pendidikan, bagaimana mungkin misi pendidikan berbasis kejujuran akan berlangsung optimal jika diawali dengan akal – akalan. Pentingnya adab sebelum menempuh suatu jenjang pendidikan sebagai persepsi kebermakanaan peran pembelajaran menjadi sanagt berantakan dengan indikasi kecurangan ini. Ironisnya oknum pelaku kecurangna PPDB sendiri tidak jarang datang dari guru utama sang anak sebelum menempuh pendidikan yakni orang tua siswa. Indikasi kecurangan dengan motivasi dari orang terdedkat siswa teramat layak untuk dihentikan mengingat pendidikan bukanlah peneguhan egoisme sesaat ataupun balas dendam manakala masa lalu sang ortu tidak bisa masuk ke sebuah sekolah.
Salah satu dampak sistemik massifnya indikasi kecurangan ini akan sangat dirasakan dalam penyelenggaraan sekolah swasta. Tanpa disadari proses PPDB pun tak pelak menjadi sarana pemberangusan sekolah swasta. Stigma ini terpola sedemikian rupa dan tanpa sadar semakin memperpuruk keberadaan sekolah swasta. Persepsi hadir mengingat masuk sekolah swasta dianggap menambah derita pendidikan berkepanjangan. Penguatan stigma negatif ini kian terjadi selama masa pendemi saat ini. Masa pendemi ini sekolah swasta dianggp tidak ada empati sama sekali. Narasi yang dibangun di ranah media sosial sekolah swasta menambah derita kaum papa. Tidak ada potongan harga, SPP terus ditarik sementara pembelajaran tatap muka ditiakan menjadi sarana lugas menebas sekolah swasta. Persepsi ini yang menjadikan potensi kecurangan kian menjadi karena sekolah negeri dipersepsikan sebagai sekolah pembela kaum papa.
Carut marut permasalahan ini secara tidak langsung menjadikan massifnya kecurangan PPDB terus terjadi. Hakikatnya Pendemi yang selayaknya mendidik bagaimana melakukan sesuatu sepenuh hati namun diakali dengan upaya mengakali regulasi. Massifnya kecurangan selama proses PPDB masa kini memerlukan solusi memadai dan hal ini harus menjadi gerakan moral agar tidak senantiasa berulang. Teramat menjijikkan manakala pendidikan diharapkan menjadi katarsis namun diawali dengan kecurangan demi kecurangan. Ikhtiar optimalisasi ini akan menemukan kebermaknaan manakala mempertimbangkan beberapa elemen utama diantaranya.
Realisasi wacana pemerataan pendidikan menjadi langkah utama dalam pengatasan masalah ini. Diskursus kesetaraan pendidikan akan lebih elegan manakala dilakukan dengan tindakan konkrit dan menihilkan kata-kata penuh pencitraan dengan semangat peningkatan kualitas sekolah. Peningkatan kualitas sekolah mutlak harus dilakukan baik pada sekolah negeri maupun swasta. Pemerintah daerah setempat selayaknya tidak menutup mata bahwa meningkatnya indikasi kecurangan pendidikan ini diakibatkan bahwa sekolah kualitasnya belumlah setara satu sekolah dengan sekolah lainnya .
Selayaknya program peningkatan kualitas ini senantiasa dilakukan dalam upaya membendung nafsu masyarakat untuk melalkukan kecurangan akibat fasilitas pendidikan yang dianggap tidak memenuhi keinginan masyarakat. Konkritnya pola peningkatan kualitas ini diberdayakan dengan pemberian perhatian lebih pada sekolah tanpa terkecuali dengan misi utama peningkatan kualitas pendidikan. Pola peningkatannya pun selayaknya memberdayakan potensi pendidikan wilayah tersebut, pembiayaan sekolah swasta yang selama ini dianggap memberatkan secara tidak langsung akan setara jika pemenuhan elementer penyelenggaraannya terpenuhi.
Besarnya pembiaayaan sekolah swasta disebabkan operasional sekolah tersebut dapat dipecahkan dengan peningkatan anggaran penyelenggaraan pendidikan. Aturan penggunaan dana BOS misalnya, wacana peningkatan dana BOS bagi sekolah swasta selayaknya tidak sekedar peningkatan kucuran semata namun penyesuaian penggunaan dapat dikedepankan untuk honor guru tentunya dengan regulasi yang berbeda namun essensinya sama. Pemberdayaan sekolah bukan semata-mata membangun sekolah negeri baru namun lebih realistis meningkatkan kualitas sekolah swasta di wilayah sehingga peningkatan mutu pendidikan menjangkau seluruh elemen pendidikan.
Edukasi memadai bagi publik menjadi keniscayaan meminimalisir indikasi kecurangan PPDB ini. Pergeseran peran sekolah sebagai lembaga penyemai kualitas insani dikedepankan dalam pola kesetaraan sehingga keinginan kecurangan ini dapat diminimalisir. PPDB berpola zonasi yang hakikatnya peningkatan kenyamanan pembelajaran harus diedukasi dengan seutuhnya bahwa keberhasilannya akan dipenuhi manakala dilakukan dengan jalan kejujuran bukan keculasan. Konsistensi pelaksanaan sosialisasi menyeleruh dengan kesamaan niatan kesetaran harus dikedepankan tidak semata-ma penenuhan daya tampung lembaga sekaligus sebagai pembatasan perilaku akal-akalan yang sangat besar terulang.
Penerapan elemen hukum baku menjadi langkah taktis pengatasan indikasi kriminalisasi PPDB ini. Teramat naif manakala kebijakan PPDB online sebagai wujud utama transparansi penyelenggaraan pendidikan justru belum memliki payung hukum memadai. Perwujudan payung hukum ini menjadi pekerjaan utama agar dugaan penyimpangan PPDB tidak dipolitisir sehingga permasalahan utama mangkir entah kemana. Ketegasan pemangku kebijakan berkaitan dengan manajemen PPDB ini teramat dinanti. Bagi peserta PPDB online sendiri ketegasan peraturan penyerta ini menjadikan. Penerbitan sanksi ini secara tidak langsun menjawab keresahan khalayak sekaligus memupus niatan jahat pencideraan pendidikan.
Pendidikan dekade ini telah menjadi salah satu elemen yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Ketegasan Regulasi edukasi dan Perubahan aspek manajerial pendidikan secara tidak langsung akan memberikan dampak sistemik pada pemenuhan kebutuhan essensial masyarakat. Diskursus sekolah Negara dan Sekolah Swasta tidak ubahnya bentuk diskriminasi pendidikan yang mengingkari hak asasi manusia harus segera diakahiri dengan eleganitas peran pendidikan berkelanjutan. Momentum PPDB Zonasi selayaknya menjadi ikhtiar cerdas mengakhiri dikotomi layanan edukasi menuju kebermanaan insani membangun ibu pertiwi.
————- *** —————