Oleh :
Ahmad Sirajuddin, M.MT
Ketua Center for Islamic Economics Studies, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam, UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember & Pengasuh Pondok Pesantren Tanbihul Ghofilin Lamongan)
Tulisan ini tidak bermaksud untuk menyalahkan pihak tertentu, melainkan mendorong agar bencana hidrometeorologi yang ekstrem di beberapa wilayah di Indonesiaini dapat dijadikan sebagai momentum pembenahan hukum lingkungan ke depannya. Tanpa perubahan kebijakan, bencana yang lebih parah akan terus berulang. Terlebih lagi, sudah jamak para ahli telah memperingatkan bahwa banjir dan longsor tersebut bukan murni bencana alam, melainkan gejala krisis ekologis akibat ulah manusia.
Dari sini, penting untuk kembali memaknai tugas manusia di muka bumi. Al-Qur’an menegaskan bahwa manusia diciptakan dengan dua mandat utama:Yang pertama untuk beribadah (QS 51:56), dan yang kedua menciptakan kemaslahatan serta menjaga martabat kehidupan sebagai khalifah fi al-ardh(QS 2: 30). Amanah khalifah ini menuntut penggunaan akal dan rasionalitas agar manusia mampu mengelola sumber daya alam secara bijak, adildan mengedapkan prisip keberkelanjutan.
Tanpa rasionalitas, kekhalifahan kehilangan makna dan berubah menjadi pembenaran atas dominasi manusia terhadap alam.Tidak mengherankan jika Al-Qur’an berulang kali mengingatkan dengan seruan afal? ta’qil?n-hingga sebanyak 52 kali-sebagai penegasan bahwa penggunaan akal dan rasionalitas adalah menjadi syarat utama dalam menjalankan amanah kekhalifahan secara bertanggung jawab.
Saat Rasionalitas Ternodai, Bencana Kemanusiaan Menyertai
Namun, realitas menunjukkan bahwa rasionalitas daya berpikir logis semakin diabaikan dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara dan bermasyarakat.Di tengah ancaman perubahan iklim, data global menunjukkan bahwa deforestasi Indonesia termasuk yang terparah di dunia. Data yang dirilis oleh World Population Review selama dua tahun terakhir (2024-2025), konsisten menunjukkan Indonesia menduduki peringkat kedua setelah Brasil dalam daftar negara dengan tingkat deforestasi terburukdi dunia.
Bencana ekosistem, hukum, dan sosial-budaya datang bersamaan dengan kehancuran lingkungan yang menyengsarakan.Kerusakan hutan, deforestasi masif, pembalakan liar yang dibiarkan, serta alih fungsi kawasan lindung mencerminkan kegagalan tata kelola yang mengabaikan prinsip kekhalifaan ekologis, di mana hasil dari kebijakan mengabaikan rasionalitas dan data berbasis bukti ilmiah(evidence-based policy)yang direkomendasikan oleh peneliti maupun universitas.
Banjir besar di Aceh, Sumatra Barat dan Sumatra Utara menjadi bukti bahwa perusakan ekologis yang dibiarkan akan kembali dalam bentuk bencana yang semakin destruktif.Ribuan jiwa meregang nyawa, ratusan lainnya masih dinyatakan hilang, dan lebih dari satu juta orang terpaksa meninggalkan rumah yang selama ini menjadi tempat kembali.Ribuan sekolah, jembatan, dan rumahlenyap tersapu, membawa serta mimpi-mimpi yang tak sempat terwujud.
Kegagalan ini diperparah oleh tata kelola negara yang terputus dari realitas sosial dan ekologis. Lemahnya mekanisme check and balances membuat kebijakan berjalan tanpa koreksi, sementara kelompok marginal dan masyarakat terdampak semakin tersingkir dari akses keadilan.
Lebih ironis lagi, ketika bencana datang, perhatian dan energi terpusat pada respons yang nirempati: “aman, kita bantu korban, kita distribusikan bantuan, kita kirim paket sembako, bahan pokok, dan makanan”.Semua dilakukan dengan cepat, terkadang penuh drama, disaksikan media, disorot kamera, terdpat foto seremonial, gestur simbolik, menggenakan atribut /dresscode, sehingga tampak sebagai kesigapan tinggi.Korban direduksi menjadi angka statistik dan objek liputan.
Dalam situasi semacam ini, suara-suara korektif justru dipersempit.Ketika para akademisi yang menyampaikan kajian ilmiah, aktivis yang bersandar pada hasil kajian, serta massa aksi yang menyuarakan aspirasi, mereka mendapatkan delegitimasi dan dilabeli sebagai kelompok “si paling kerja” atau “si paling radikal”. Mereka diframing sebagai rebellion community, sebuah stigma yang menyesatkan opini publik.
Ekosida Sebagai Kejahatan Lingkungan
Kerusakan alam, hancurnya ekosistem, serta tragedi kemanusiaan yang merenggut ribuan korban jiwa dan korban luka dapat dikategorikan sebagai ekosida, yakni kejahatan akibat tindakan sadar atau kelalaian berat yang menimbulkan kerusakan lingkungan yang parah, baik dari sisi luas dampak maupun durasi kerusakan dalam jangka panjang.
Dalam beberapa tahun terakhir, banyak organisasi internasional mendorong agar ekosida (ecocide) ditetapkan sebagai kejahatan internasional di hadapan International Criminal Court (ICC).Usulan ini dimaksudkan untuk menempatkan ekosida sejajar dengan empat kejahatan internasional lainnya, yakni genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi.Diharapkan, pengakuan pada tingkat internasional tersebut selanjutnya dapat diadopsi dan diimplementasikan oleh negara-negara di tingkat nasional.
Menuju Pertobatan Ekologis yang Berkeadilan
Pertobatan ekologis menjadi keniscayaan, Pertobatan ekologis ini dimulai dengan pemulihankesadaran akan pentingnya rasionalitas dan berpikir logis dalam menjalankan kebijakan pengelolaan alam. Sebab matinya rasionalitas akan berakibat bencana kemanusiaan secara total.Pengabaian terhadap kajian ilmiah dan data berbasis bukti telah terbukti berdampak nyata berupa kemunduran masyarakat dalam berbagaiaspek.
Salah satu faktor yang menghalangi rasionalitas adalah ketamakan dan kerakusan yang melampaui batas.Ketika eksplorasi sumber daya alam didominasi oleh hasrat yang tak terkendali, akal semakin direduksi menjadi alat pembenaran, bukan sebagai pengendali.Dalam kondisi ini, kebijakan, sains, bahkan agama dapat dipelintir untuk melegitimasi praktik eksploitasi.Hal ini selaras dengan peringatan Al-Qur’an dalam QS. Al-Mu’minun ayat 71:”Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini”.
Karena itu, pertobatan ekologis harus diwujudkan dalam tindakan konkret: mengedepankan rasionalitas (evidence-based policy) dan berpikir logis dalam merumuskan kebijakan, menghentikan legalisasi perusakan lingkungan, mengakui ekosida sebagai kejahatan serius, melindungi hak masyarakat adat, serta mengubah arah pembangunan dari ekstraktif menuju berkelanjutan. Lebih dari itu, pertobatan ekologis adalah keberanian untuk membatasi hasrat manusia dengan mempertimbangkan aspek sainsdan rasionalitas.
Kapankah kita menyadari bahwa planet Bumi tempat kita berdiam bukanlah milik kita saat ini, tetapi titipan kita kepada generasi yang akan datang? Sampai kapan kita akan terus menulis berita duka tanpa pernah membuka babak perubahan? Semoga kesadaran ini segera menjelma menjadi keberanian untuk bertindak, sebelum amanah kekhalifaan ekologis itu kita khianati (kembali).
————– *** —————-


