Oleh :
Nofanda R. Ardiansyah
Penulis adalah mahasiswa UIN KHAS Jember
Di era digital seperti sekarang ini, penyebaran informasi mengalir tanpa henti dan terus menerus membanjiri kehidupan kita setiap saat. Media sosial bukan hanya menjadi tempat berbagi cerita atau komunikasi saja, tetapi bisa juga menjadi sumber utama berita, opini publik, dan pembentukan persepsi di masyarakat. Dengan kita menekan satu klik saja, kita bisa mengetahui peristiwa di belahan dunia lain, membaca komentar dari ribuan orang, atau mengikuti isu yang sedang ramai diperbincangkan saat ini. Kemudahan dalam era digital ini memang menawarkan banyak manfaat bagi kita, tetapi juga menghadirkan tantangan besar yang tidak boleh diabaikan.
Salah satu teknologi yang paling sering kita gunakan adalah media sosial, yang selama ini terbukti mampu mempercepat komunikasi, mempermudah pekerjaan, dan memperluas jangkauan informasi bagi kita sendiri. Namun, di balik dampak positifnya, media social juga membawa ancaman serius berupa disinformasi. Konten yang viral sering kali bukan yang paling akurat, melainkan yang paling memancing emosi bagi para pengguna media sosial. Ungkapan yang disampaikan dengan cara memancing emosi, cerita yang dibesar-besarkan, atau cuplikan video yang terlihat meyakinkan sering kali jauh lebih cepat menyebar daripada penjelasan yang disampaikan secara sederhana dan apa adanya. Akibatnya, banyak sekali masyarakat yang kesulitan membedakan mana fakta yang benar-benar sesuai dan mana yang merupakan cerita palsu yang sengaja dibuat untuk memicu pendapat tertentu.
Berita yang sempat menghebohkan masyarakat beberapa waktu lalu adalah isu mengenai pemalsuan ijazah Presiden Jokowi. Beberapa video menyebutkan bahwa Jokowi tidak pernah mendapatkan ijazah saat menempuh pendidikan di bangku kuliah. Unggahan-unggahan di media sosial tampak meyakinkan sebagian orang, padahal klaim tersebut tidak disertai bukti yang tepat. Tanpa verifikasi yang benar, isu tersebut cepat menyebar di YouTube, TikTok, dan media sosial lainnya, yang dapat memicu perdebatan, serta memecah pandangan masyarakat. Sebagian orang ada yang langsung percaya, ada yang meragukan, dan ada juga yang akhirnya kebingungan dengan informasi yang beredar.
Kasus ini menunjukkan bahwa disinformasi bisa menimbulkan kebingungan, keraguan, dan perpecahan di masyarakat hanya dari celah kecil dalam sistem informasi digital kita. Penyebaran disinformasi ini tentu tidak terjadi secara kebetulan saja, ada juga pihak yang sengaja membuatnya untuk tujuan tertentu baik politik, ekonomi, maupun untuk mencari sensasi di dunia maya. Namun, penyebaran yang sangat cepat justru terjadi karena perilaku pengguna internet itu sendiri. Banyak orang hanya membaca sekilas mengenai suatu isu tanpa memahami isi di dalamnya, membagikan informasi tanpa memeriksa keakuratan, dan juga mudah terpengaruh oleh narasi emosional yang memancing kemarahan, simpati, atau ketakutan. Budaya konsumsi informasi yang terlalu cepat inilah yang membuat hoaks tumbuh subur dan sulit dibendung oleh diri kita sendiri.
Selain itu, peran algoritma media sosial sangat menentukan informasi yang akan kita tonton. Platform digital ini dibangun untuk mempertahankan perhatian pengguna selama mungkin. Video yang memancing emosi, kabar yang belum jelas kebenarannya dan juga opini yang memecah belah sering kali lebih muncul di beranda pengguna daripada berita klarifikasi atau data yang sesuai. Akibatnya, konten yang dianggap menarik atau memicu provakatif lebih diutamakan dibandingkan konten yang benar-benar informatif.
Dampak dari disinformasi sendiri tidak bisa dianggap gampang oleh kita. Kepercayaan masyarakat terhadap sumber informasi yang dapat dipercaya, seperti lembaga pemerintah atau media resmi, semakin menurun. Masyarakat menjadi lebih mudah terpengaruh oleh informasi yang sesat, hingga membuat masyarakat jadi terpecah dan saling bertentangan satu sama lain. Konflik antarkelompok menjadi lebih mudah tercipta karena masing-masing pihak berdiri di atas kebenarannya sendiri atau pendapatnya masing-masing, yang bahkan bisa jadi berasal dari informasi palsu. Ketika berita hoaks terus diulang tanpa mengetahui kebenarannya, beberapa masyarakat juga mulai menganggapnya sebagai sesuatu yang nyata, sehingga bagi kita sulit untuk meluruskan kembali.
Untuk menghadapi masalah ini, kita perlu meningkatkan literasi digital masyarakat. Anak-anak harus juga dibiasakan berpikir kritis sejak awal, bukan sekadar diajari menggunakan teknologi, tetapi juga diajari menilai apakah sebuah informasi benar, bagaimana media bekerja, dan bagaimana mengenali kebohongan digital. Selain pendidikan formal, seharusnya kita perlu membiasakan diri mengembangkan sikap tidak langsung percaya terhadap informasi yang belum jelas kebenarannya. Kita harus menerima informasi dengan pikiran terbuka namun tetap kritis. Dengan kita memeriksa informasi melalui beberapa sumber, mengecek tanggal unggahan, membaca keseluruhan isi berita, dan memastikan kebenaran sumber adalah langkah yang efektif untuk mengurangi terjadinya disinformasi.
Di sisi lain, Penyedia layanan media sosial harus juga meningkatkan transparansi dalam algoritmanya, menyediakan fitur penanda konten yang diragukan, dan memperketat pengawasan terhadap penyebaran hoaks. Pemerintah juga harus memperkuat kerja sama dengan lembaga pemeriksa fakta serta mengedukasi masyarakat melalui literasi digital yang berkelanjutan. Dengan bekal ini, generasi muda tidak mudah tertipu oleh informasi palsu atau konten yang dapat menimbulkan masalah.
Maka dari itu menyaring kebenaran di tengah kebisingan informasi adalah tanggung jawab bersama. Arus informasi digital memang tidak bisa dihentikan begitu saja, tapi kita bisa belajar untuk lebih bijaksana dalam mengelolah informasinya. Kebenaran memang tidak selalu muncul dengan mudah, tetapi dengan upaya yang sangat ketat, kita tetap dapat menemukannya meski berada di tengah hiruk-pikuk dunia digital yang penuh kebisingan.
————- *** —————


