Keluruhan akhlaq (moralitas) seharusnya menjadi visi utama menyelesaikan kisruh struktural organisasi ulama. Terutama pada organisasi ulama terbesar di dunia, Nahdlatul Ulama (NU), yang memiiki Qonun Asasi sebagai pijakan hukum. Bahkan Qonun Asasi wajib menjadi sumber inspirasi setiap kebijakan pengurus elite (PBNU, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama). Kisruh struktural internal PBNU bukan permusuhan antara Ketua Umum Tanfidziyah dengan Rais Aam Syuriyah. Melainkan penegakan hukum jam’iyah (organisasi).
Berdasar moral ke-ulama-an, tiada jabatan di dunia yang pantas diperrtahakan mati-matian (dengan segala cara). Seperti pesan KH Abdurrahman Wahid (Ketua Umum Tanfidziyah PBNU), ketika di-lengser-kan dari jabatan Presiden RI ke-4. Terutama mencegah perpecahan di kalangan grass-root (umat). Gus Dur memilih meninggalkan istana negara, dengan pakaian sederhana. Lalu terbitt TAP MPR Nomor II Tahun 2001, memberhentikanGusDursebagaiPresiden.
Namun setelah berlalu 24 tahun terbit pula TAP MPR Nomor I Tahun 2003, yang isinya meninjau status hukum 139 Keteapan MPR dan MPRS (tahun 1960 hingga 2002), termasuk TAP MPR yang memberhentikan Gus Dur. Sehingga Gus Dur patut diberikan gelar Pahlawan Nasional, seperti Ir. Soekarno. Walau terdapat dugaan pemberian gelar pahlawan kepada Gus Dur sebagai “barter” untuk memberi gelar yang sama kepada tokoh yang lain.
Tetapi ke-ikhlasan gus Dur bisa menjadi teladan yang baik. Lebih lagi Gus Dur juga mantan Ketua Umum Tanfidziyah, seperti Gus Yahya Cholil Staquf (YCS). Juga sama-sama basis ke-pesantrenan yang sangat kuat. Sanad ke-ilmu-an bersambung ke Kanjeng Nabi SAW. Bahkan antara Gus Dur dengan Gus YCS, terdapat “benang merah” visi (ideologi) tentang kemanusiaan. Serta berkarier di NU sama-sama dimulai dari jabatan sebagai Katib Syuriyah (menunjukkan keilmuan yang memadai). Banyak kalangan ulama menyebut Gus YCS sebagai “fotokopi” Gus Dur.
Begitu pula keterpilihan Yahya Chilil Staquf, sebagai Ketua Umum Tanfidziyah pada Muktamar NU ke-34, di Lampung, bagai me-menang-kan kerinduan Nahdliyin pada tokoh Gus Dur. Walau pada Muktamar di Lampung, telah berhembus dugaan, gus YCS telah menjalin kedekatan dengan kalangan zionis Israel. Terdapat diskusi (undecover) perbedaan antara Israel zaman Gus Dur, dengan era Gus YCS. Gus Dur pernah menemui Perdana Menteri Israel (tahun 1994), Yitzhak Rabin, ketika menjadi Ketua Umum PBNU.
Yitzhak Rabin, merupakan arsitek utama Perjanjian Oslo, 1993. Yakni kerangka perdamaian dengan konsepTwo-State Solution. Pada tahap awal dibentuk otoritas nasional Palestina. Bahkan Rabin, kondang dengan slogan “Enough of blood and tears, enough” (Cukup sudah darah dan air mata, cukup sudah). Slogan yang sama saat sedang dipopulerkan kembali oleh aktifis perdamaian seluruh dunia.
Gus YCS juga bertemu Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, 2018, sebelum menjadi Ketua Umum PBNU. Misinya untuk mendukung Palestina. Namun Netanyahu, bukan orang yang tepat untuk diajak kerjasama mendukung Israel. Karena lebih suka genosida warga Palestina, dan perebutan ilegal tanah milik Palestina. Bahkan di dalam negeri Netanyahu menghadapi Pengadilan dengan tuduhan korupsi, penipuan, dan ingkar janji.
Gonjang-ganjing di PBNU sudah hampir final setelah Wakil Rais Aam Syuriyah menjelaskan secara ushul fiqih tentang pelanggaran Gus YCS. Dilanjutkan pengumuman Penjabat Ketua Umum kepada KH Zulfa (Ujung) Mustofa. Berbagai manuver tanda kecewa sudah berangsur surut. Beberapa tokoh struktural PBNU, dan kyai sepuh, sudah kembali kepada kepemimpinan Rais AamSyuriyah (dan 2 Wakil Rais Aam). Sekaligus mengembalikan adat kelembagaan Rais AamSyuriyah, sebagai supremasikekuasaan di PBNU.
——— 000 ———


