25 C
Sidoarjo
Friday, December 5, 2025
spot_img

Mengasuh Anak Tanpa Bias: Hari Disabilitas Internasional Menguji Hati Orang Tua

Oleh :
Dr. Elinda Rizkasari
Dosen prodi PGSD Unisri Surakarta

Hari Disabilitas Internasional bukan sekadar momentum global untuk mengingatkan publik tentang inklusi. Ia adalah cermin besar yang justru diarahkan ke ruang-ruang keluarga di seluruh Indonesia. Banyak orang tua percaya bahwa kasih yang mereka berikan sudah cukup. Namun tanpa disadari, pola asuh kita masih penuh bias. Kita sering membesarkan anak dengan kacamata normalitas yang sempit, yang akhirnya melahirkan stigma sejak dalam rumah.

Ironisnya, bias ini tidak hanya ditujukan pada anak dengan disabilitas, tetapi juga pada anak-anak lain yang tumbuh dalam lingkungan yang memandang perbedaan sebagai ancaman. Di sinilah Hari Disabilitas Internasional menantang para orang tua: apakah kita benar-benar mengasuh anak tanpa membebani mereka dengan cara pandang yang merendahkan kelompok lain?

Bias Terhalus Berasal dari Rumah
Stigma disabilitas tidak lahir di sekolah atau lingkungan publik semata. Ia justru berakar dari ucapan-ucapan kecil yang terdengar sepele di meja makan. Ungkapan seperti “kasihan ya”, “dia pasti tidak bisa”, atau “jangan dekat-dekat nanti merepotkan”, meninggalkan jejak yang dalam pada cara anak belajar memandang manusia lain.

Ketika orang tua menunjukkan rasa iba berlebihan, bukan penerimaan, maka anak belajar bahwa disabilitas adalah kelemahan, bukan keberbedaan. Ketika orang tua menyederhanakan kemampuan anak disabilitas hanya dari kekurangannya, maka mereka tumbuh tanpa kesempatan menunjukkan potensi lainnya.

Berita Terkait :  Diskop UKM Jatim Tingkatkan Kualitas Kelembagaan Koperasi Melalui FGD

Padahal banyak studi WHO dan UNICEF menegaskan bahwa pola asuh inklusif adalah fondasi utama untuk membangun generasi yang tidak diskriminatif. Jika rumah saja gagal menjadi tempat paling aman bagi keberagaman, jangan salahkan sekolah atau masyarakat ketika stigma terus meluas.

Kisah Ibu dan Anak yang Mengingatkan Kita tentang Arti Memahami
Seorang ibu di Yogyakarta pernah menceritakan bagaimana anak sebelas tahunnya, yang mengalami cerebral palsy, sering ditatap oleh orang lain setiap kali mereka keluar rumah. Suatu hari, sang ibu mendapati anaknya menatap cermin dan berkata pelan, “Mengapa mereka takut melihatku?”

Pernyataan jujur itu menghantamnya keras. Ia menyadari bahwa selama ini ia hanya fokus pada perawatan fisik anaknya, tetapi lupa memperkuat rasa aman emosionalnya. Ia lupa menjelaskan bahwa dunia kadang belum siap menerima perbedaan, dan bahwa itu bukan salah anaknya.

Cerita – cerita seperti ini tidak hanya menyentuh; ia menegaskan bahwa inklusi bukan sekadar slogan pemerintah atau program sekolah. Ia dimulai dari keseharian paling sederhana: bagaimana kita sebagai orang tua membimbing anak menghadapi dunia yang masih penuh bias.

Parenting Inklusif adalah Tugas Setiap Orang Tua, Bukan Hanya Orang Tua Anak Disabilitas

Ada anggapan keliru bahwa parenting inklusif hanya penting bagi keluarga yang memiliki anak berkebutuhan khusus. Padahal justru keluarga yang tidak memiliki anggota disabilitas memiliki peran terbesar dalam menghapus stigma.

Berita Terkait :  Polres Gresik Genjot Swasembada Pangan Lewat Tanam Jagung Serentak

Cara orang tua berbicara tentang “perbedaan” akan membentuk cara anak bersikap. Cara orang tua menanggapi pertanyaan polos anak seperti mengapa ada teman yang memakai kursi roda atau mengapa ada anak yang sulit berbicara akan menentukan apakah anak mengenal empati atau justru mengembangkan prasangka.

Mengasuh tanpa bias berarti mengajarkan bahwa nilai manusia tidak terletak pada kesempurnaan fisik, melainkan keberanian untuk hidup dan tumbuh dengan caranya sendiri. Parenting inklusif bukan tentang memaksa anak menerima semua orang, tetapi membangun pola pikir bahwa setiap manusia layak dihargai.

Inklusi Bukan Belas Kasihan, Tetapi Penghormatan
Masih banyak orang tua yang menganggap bahwa memperlakukan anak disabilitas dengan “perlakuan khusus” adalah bentuk kepedulian. Padahal, belas kasihan yang berlebihan justru menempatkan anak pada posisi inferior.

Anak disabilitas bukan ingin dikasihani, tetapi dihargai. Mereka butuh ruang, bukan batasan. Mereka butuh kesempatan, bukan belas kasihan. Mereka butuh didengar, bukan ditentukan.

Hari Disabilitas Internasional mengingatkan kita bahwa tugas parenting sejati adalah mengakui keberhargaan setiap anak tanpa membandingkan kemampuan mereka dengan standar umum. Orang tua perlu belajar bahwa setiap anak dengan atau tanpa disabilitas-memiliki ritme tumbuh yang unik.

Orang Tualah yang Pertama Kali Diuji
Pada akhirnya, Hari Disabilitas Internasional bukan hanya perayaan. Ia adalah ujian bagi para orang tua: sejauh apa kita telah mengasuh anak tanpa bias? Sejauh apa kita membangun lingkungan rumah yang aman bagi perbedaan? Sejauh apa kita mengajarkan empati, bukan hanya prestasi?

Berita Terkait :  Dukung Program Ketahanan Pangan, Rutan Situbondo Tanam Sayur Segar

Anak-anak belajar tentang manusia dari orang tuanya. Jika orang tua menjaga kata, sikap, dan cara pandang, maka anak akan tumbuh menjadi manusia yang tidak mudah menghakimi.

Dan jika ada pelajaran terbesar dari Hari Disabilitas Internasional, maka itu adalah bahwa disabilitas bukan masalah individu ia adalah ujian kemanusiaan bagi kita semua. Ujian yang dimulai dari rumah, dari pola asuh, dari cara kita mendidik hati anak-anak kita untuk melihat manusia secara utuh.

————– *** —————–

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow

Berita Terbaru