Oleh:
Dr. Husamah
Wakil Dekan I FKIP Universitas Muhammadiyah Malang
Di mata sebagian orang, profesi guru mungkin tampak sederhana.Nyatanya, di negeri ini-dengan lebih dari 287 juta penduduk sebagaimana yang dirilis BPS (2025) dan jutaan anak didik yang menanti edukasi-guru tetaplah menjadi fondasi utama peradaban. Dalam setiap fase pembangunan bangsa, sosok guru selalu hadir: menyalakan akal, menumbuhkan karakter, dan menanamkan nilai-nilai kemanusiaan.
Bahkan guru menjadi profesi yang menjadi titik kebangkitan peradaban sebuah bangsa.Mari kita belajar dari semangat bangsa Jepang.Sejarah mencatat vitalnya peran guru dalam kebangkitan Jepang setelah tragedi Hiroshima dan Nagasaki.Saat itu, Kaisar Hirohito justru menanyakan berapa jumlah guru yang tersisa saat pertama kali mendengar negaranya telah luluh lantak oleh bom nuklir yang dijatuhkan tentara Amerika Serikat.Lihatlah bagaiman Jepang saat ini.
Indonesia Membutuhkan Jutaan Guru
Menurut data yang pernah disampaikan Direktorat Jenderal Guru, Tenaga Kependidikan dan Pendidikan Guru Kemendikdasmen, Indonesia memerlukan lebih dari 1,3 juta guru pada tahun 2024 dan akan terus bertambah di tahun-tahun berikutnya. Lonjakan kebutuhan ini bukan semata akibat bertambahnya sekolah atau peserta didik, tetapi juga karena banyaknya guru yang memasuki masa pensiun dan belum seimbangnya persebaran tenaga pendidik di berbagai wilayah, terutama di daerah 3T-tertinggal, terdepan, dan terluar.
Di sisi lain, guru non-ASN yang masih aktif mengajar di sekolah negeri tercatat lebih dari 1,2 juta orang. Data ini menunjukkan dua hal sekaligus: kebutuhan guru masih terbuka lebar, dan profesi ini tetap menjadi salah satu profesi dengan kontribusi sosial paling tinggi.
Profesi Abadi
Guru adalah profesi tertua di dunia. Sejak manusia mengenal tradisi lisan, pembelajaran, dan nilai, peran guru telah ada dalam berbagai bentuk: dari pandita, ulama, resi, hingga dosen. Di era modern, guru menjadi penggerak utama lahirnya ilmu pengetahuan dan teknologi.Filsuf pendidikan Paulo Freire pernah mengatakan bahwa mengajar bukan sekadar mentransfer ilmu, tetapi membebaskan manusia dari kebodohan dan ketidakadilan. Itulah mengapa, dalam tulisan Milind Watve berjudul “A Teacher Never Dies” (2019), ia menegaskan bahwa seorang guru sejati tidak pernah mati, karena nilai-nilainya hidup dalam diri setiap murid yang ia ajar. Demikian pula artikel “Teachers Who Never Die” yang ditulis oleh José Matias Alves, seorang professor di Faculty of Education and Psychology, Universidade Católica Portuguesa, Porto menyebut guru sebagai agen transformasi sosial yang pengaruhnya melampaui ruang kelas dan masa hidupnya.Ia mengutip sebuah aktivitas yang meminta beberapa profesional (manajer, ahli hukum, mahasiswa, dan lainnya) untuk menuliskan kenangan tak terlupakan tentang seorang guru yang pernah mereka miliki. Permintaan ini menghasilkan 40 narasi yang dikumpulkan dan diterbitkan pada tahun 2022 dalam sebuah buku digital yang mendukung gagasan bahwa betapa besarnya jasa guru, dan profesi guru yang tidak akan pernah mati.
Dr. Chawanna Bethany Chambers, seorang guru peraih penghargaan nasional dan bersertifikat di Amerika, dalam esainya “Passion Never Dies” (2017) menegaskan bahwa gairah seorang guru adalah energi abadi yang terus berpindah dari satu generasi ke generasi berikutnya.Ia senada dengan catatan Rubem Alves (2006) bahwa mengajar adalah latihan menuju keabadian. Entah bagaimana, kita terus hidup dalam diri mereka yang matanya belajar melihat dunia melalui keajaiban kata-kata kita.Oleh karena itu, guru tidak pernah mati.
Bukan Guru Biasa
Nikolaus Bönke, Profesor di Department of Educational Science, University of Freiburg, Germany, bersama koleganya dalam artikel yang terbit di Jurnal Teaching and Teacher Education (2024) menegaskan guru bukan sekadar pengajar statis, melainkan pembelajar sepanjang hayat yang terus berevolusi, memperkaya kompetensinya (misalnya dalam bidang digital, sains, maupun globalisasi), dan menjaga semangatnya agar tetap relevan. Guru memiliki kapasitas dinamis untuk beradaptasi, berefleksi, dan memperbarui motivasinya dalam menghadapi perubahan sosial, teknologi, dan pendidikan.
Namun, tentu menjadi guru di era digital bukan lagi sekadar perkara mengajar di depan kelas. Dunia pendidikan telah berubah.Mahasiswa yang menempuh pendidikan di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) tidak cukup hanya menjadi “guru biasa”.Mereka harus menjadi guru dengan kompetensi tambahan yang relevan dengan kebutuhan abad ke-21.
Calon guru Matematika, misalnya, harus mampu menjadi ahli cyber education, memanfaatkan teknologi dan kecerdasan buatan dalam analisis dan pemecahan masalah.Calon guru Bahasa Inggris dituntut menjadi pebisnis internasional-mampu menjembatani komunikasi lintas budaya dan membuka jejaring global.Calon guru Biologi ditantang menjadi pengusaha sekaligus peneliti dan ilmuwan yang membawa riset bioteknologi ke ruang kelas.Calon guru Bahasa Indonesia seharusnya tidak hanya mengajarkan ejaan dan sastra, tetapi menjadi diplomat bahasa yang mampu mempromosikan identitas Indonesia di dunia.Guru PPKn perlu memahami tata negara dan dinamika kebijakan publik agar mampu melahirkan warga negara yang kritis dan berintegritas.Sedangkan calon guru SD (PGSD) harus tampil sebagai guru multitalenta-menguasai berbagai bidang, peka terhadap psikologi anak, dan kreatif memadukan teknologi dengan pembelajaran karakter.
Pandangan para pakar pendidikan di berbagai belahan dunia menunjukkan satu benang merah: profesi guru tidak akan tergantikan. Bönke et al (2024) menyoroti bahwa teknologi, termasuk kecerdasan buatan, belum mampu menggantikan peran afektif, sosial, dan moral guru dalam membentuk kepribadian siswa. Guru tidak sekadar pengajar, tetapi juga pembimbing, fasilitator, dan teladan moral yang menumbuhkan empati dan kebijaksanaan-nilai-nilai yang tak bisa diprogram dalam algoritma.
Dengan demikian, di tengah kemajuan teknologi dan perubahan sosial, guru tetap menjadi profesi yang tak tergantikan. Di Indonesia, di mana pemerataan pendidikan masih menjadi tantangan, keberadaan guru justru semakin vital. Tugas kita bersama adalah memastikan para guru tidak hanya cukup jumlahnya, tetapi juga memiliki kompetensi, kesejahteraan, dan kesempatan yang layak untuk berkembang.
Profesi guru bukan hanya tentang mengajar; ia adalah panggilan hidup untuk menyalakan peradaban. Selama manusia masih memerlukan ilmu, nilai, dan arah, profesi guru akan tetap hidup. Guru boleh pensiun, wafat, atau berganti generasi-tetapi semangat dan pengaruhnya akan terus hidup dalam diri murid-muridnya. Sebab benar adanya: “seorang guru tidak pernah mati.”
———– *** ————–


