26 C
Sidoarjo
Friday, December 5, 2025
spot_img

Pesantren di Persimpangan

Karya :
Nofanda Roihan Ardiansyah
Mahasiswa UIN KHAS Jember

Sejak puluhan tahun lalu, bahkan sebelum Indonesia merdeka, pondok pesantren dikenal sebagai lembaga penting dalam mencerdaskan kehidupan bangsa sekaligus sebagai sistem pendidikan Islam tertua di Indonesia. Perannya sangat besar dalam penyebaran Islam di masyarakat, yang tidak lepas dari perjuangan para ulama menanamkan nilai keislaman, moral, dan spiritualitas kepada santrinya. Sejarah juga menunjukkan bahwasanya kemajuan pesantren bergantung pada sosok yang dapat diteladani dan dihormati sebagai orang alim. Oleh karena itu, kiai menjadi figur sentral dalam penanaman nilai moral sekaligus penyampaian ilmu kepada para santri.

Tidak berhenti sampai di situ, dalam dunia pesantren, hubungan antara kiai dan santri dipandang sebagai hubungan yang suci, karena di dalamnya terjalin ikatan spiritual dan intelektual yang kuat. Hubungan ini menjadi fondasi utama dalam pembentukan karakter keilmuan dan spiritualitas Islam di Indonesia. Namun, di tengah arus modernisasi dan keterbukaan informasi dalam lembaga pendidikan Islam, pesantren kini berada di persimpangan antara mempertahankan kesakralan tradisi dan menyesuaikan diri dengan tuntutan zaman, di mana penghormatan yang semula berlandaskan adab mulai bergeser menjadi ketaatan tanpa ruang untuk bertanya. Sementara itu, spiritualitas yang seharusnya menuntun pada kebebasan batin justru kadang berubah menjadi simbol otoritas yang sulit dipertanyakan.

Pondok pesantren saat ini menjadi lembaga yang hangat diperbincangkan di kalangan masyarakat. Sebab gaya kepemimpinan kiai yang dianggap bercorak feodal dalam mendidik santri menimbulkan wacana tentang ketidakadilan dan terbatasnya ruang demokratis di lingkungan pesantren. Di sisi lain, para santri sering kali terbelenggu, dalam bayang-bayang dogma barokah dan adab, sehingga mereka enggan untuk mengkritisi penjelasan kiai yang mungkin menyimpang dari nilai-nilai Islam.

Berita Terkait :  Wagub Jatim Emil Dardak Gaet Investor Jepang Tanpa Sentuh APBD

Kasus yang sempat viral beberapa tahun lalu adalah dugaan penyimpangan ajaran akidah Islam di Pondok Pesantren Al-Zaytun, Indramayu, Jawa Barat. Meskipun pesantren ini dikenal modern dengan fasilitas lengkap dan sistem pengelolaan yang maju, muncul kontroversi terkait praktik ibadah yang dianggap menyimpang dari ajaran Islam, salah satunya pelaksanaan salat berjamaah antara saf laki-laki dan saf perempuan yang bercampur dalam satu barisan. Praktik ini dianggap melanggar tata cara ibadah dalam tradisi Islam, khususnya madzhab Ahlus Sunnah wal Jamaah, yang menekankan pemisahan saf untuk menjaga kekhusyukan, adab, dan batasan syar’i.

Selain itu, belum lama ini publik dihebohkan oleh kasus yang terjadi di salah satu pondok pesantren di Palopo, Sulawesi Selatan, pada tanggal 5 September 2025. Dalam sebuah video menunjukkan seorang santri ditegur dan ditampar oleh kiai setelah acara pengajian subuh, hanya karena lupa menyalami kiai saat hendak meninggalkan tempat acara tersebut. Tindakan spontan tersebut menuai kritik tajam, karena dinilai tidak mencerminkan sikap seorang pendidik yang seharusnya menanamkan adab dengan bijak kepada santrinya.

Menurut Imam Al-Ghazali, metode pengajaran yang ideal lebih berfokus pada pembimbingan spiritual dan praktik langsung. Seorang guru harus menjadi teladan dalam sikap dan perilaku, agar peserta didik dapat mencontoh secara nyata nilai-nilai yang diajarkan. Selain itu, guru juga harus memiliki sifat sabar dan penuh kasih sayang, karena pendekatan yang dilandasi empati dan pengertian akan menciptakan hubungan yang harmonis antara guru dan murid. Dengan demikian, terwujudlah lingkungan belajar yang kondusif dan sesuai dengan tujuan pendidikan Islam yang menekankan pembentukan akhlak mulia.

Berita Terkait :  Tingkatkan Kualitas Pendidikan, Setyo Wahono-Nurul Azizah Bakal Bangun Puluhan Sekolah Unggulan

Sedangkan menurut K.H.Muhammad Hasyim Asy’ari, bahwasanya pendidikan itu lebih menekankan pada upaya memanusiakan manusia secara utuh, yang tidak hanya mencakup aspek intelektual, tetapi juga moral, spiritual, dan sosial. Selain itu beliau menekankan karakteristik yang harus dimiliki oleh seorang guru diantaranya menjaga diri dari hal-hal yang menurunkan martabat, pandai mengajar, berwawasan luas, mengamalkan ajaran Al-Qur’an dan Hadist, cakap dan professional, kasih sayang, berwibawa, serta takut kepada Allah.

Maka dari itu seorang kiai menjadi peran utama yang sangat menentukan kualitas pendidikan dan pembentukan karakter santri dalam ruang lingkup pesantren. Seorang kiai juga harus mampu menyeimbangkan sikapnya dalam mengajar, melalui keteladanan, keikhlasan, dan pengajaran yang senantiasa berlandaskan Al-Qur’an dan Hadis. Selain itu, kiai juga harus menanamkan pada dirinya sikap yang tidak gila hormat maupun haus akan kekuasaan. Posisi sebagai pemimpin pesantren seharusnya tidak menjadi alasan untuk menekan atau menakuti santri, melainkan sebagai teladan dalam kesabaran, kasih sayang, dan kebijaksanaan. Kiai juga bertugas mengajarkan adab yang tepat melalui kitab-kitab klasik dan praktik sehari-hari, sambil menjauhi bentuk-bentuk adab yang berlebihan atau mengekang kebebasan berpikir santri.

Di sisi lain, seorang santri juga memiliki tanggung jawab untuk berani berpikir kritis dalam memahami penjelasan gurunya. Santri perlu memiliki keberanian untuk mempertanyakan apabila terdapat ajaran yang menyimpang dari nilai-nilai Islam. Dengan demikian, proses pembelajaran menjadi demokratis dan seimbang, tanpa mengurangi rasa hormat terhadap kiai.

Berita Terkait :  Sambut Baik Koperasi Merah Putih, Ketua DPD RI: Agar Desa Menjadi Produktif dan Mandiri

Selain itu agar pendidikan pesantren tetap relevan dan bermartabat di era modern ini, seorang kiai harus terbuka terhadap kritik dari santri yang tulus. Hal ini bukan tanda kelemahan, melainkan cerminan kematangan spiritual dan intelektual seorang pendidik. Dengan pendekatan seperti ini, pesantren dapat menjadi lembaga yang tidak hanya menyalurkan ilmu, tetapi juga membentuk insan berakhlak mulia, berpikir kritis, dan mandiri secara spiritual maupun intelektual.

————– *** —————-

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow

Berita Terbaru