25 C
Sidoarjo
Friday, December 5, 2025
spot_img

Stop Jadi ‘Kelompok Bisu’! Kenapa Suara Kita Hilang di TV, Bagaimana Cara Merebut Mikrofon Itu?

Oleh:
Nikita
Penulis Adalah Mahasiswi Ilmu Komunikasi, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Kawan-kawan, jujur saja. Coba kita check layar TV kita hari ini. Saat berita politik atau ekonomi yang krusial dibahas, siapa yang duduk di sana?
Pasti bapak-bapak. Entah dari kementerian, lembaga, atau politisi senior. Mereka yang menjadi ‘otoritas’, yang suaranya paling lantang. Tapi, begitu topiknya bergeser ke masalah rumah tangga, tiba-tiba muncul ibu-ibu, itu pun biasanya sebagai korban atau influencer tips memasak.
Ini bukan kebetulan, apalagi nasib. Ini adalah hasil dari sebuah sistem komunikasi yang bermasalah, yang dengan sengaja membuat suara perempuan jadi Kelompok Bisu (Muted Group). Kita harus berani melihat ini!

Media: Klub Eksklusif dengan Aturan Pria
Teori Kelompok Bisu (yang dikembangkan oleh Edwin dan Shirley Ardener, 1975, dan diperkuat oleh Cheris Kramarae) pada dasarnya bilang begini: dunia ini, termasuk bahasa dan sistem komunikasi di media, diciptakan dan didominasi oleh laki-laki. Karena mereka kelompok dominan, merekalah yang menentukan “bahasa resmi” dan “topik penting.”

Bayangkan media sebagai sebuah klub eksklusif. Aturan main, dress code, bahkan menu makannya, semua dibuat oleh anggota pria. Nah, ketika perempuan masuk, mereka dipaksa memakai baju yang kedodoran (bahasa yang ada) untuk menjelaskan pengalaman yang unik milik perempuan.

Menurut Dr. Merry Fridha Tripalupi dalam buku Komunikasi dan Gender, fenomena ini menunjukkan betapa kuatnya hegemoni patriarki dalam mendefinisikan realitas media.

  1. Kalau pengalaman kita tidak muat di ‘baju’ itu, pengalaman itu dianggap tidak penting atau terlalu emosional.
  2. Kalau kita bicara, kita harus menerjemahkan pengalaman kita ke dalam istilah yang dimengerti oleh ‘klub’ tersebut.
Berita Terkait :  Wabup Madiun Harap Budaya Gotong Royong Dilestarikan

Inilah mengapa di berita, perempuan sering terwakilkan secara tidak adil:

  1. Monopoli Kepakaran
    Di isu publik yang serius, perempuan ditampilkan sebagai korban kekerasan atau pemanis visual. Penelitian di Indonesia menunjukkan, framing ini diperkuat ketika korban kekerasan seksual justru dibungkam oleh wacana yang bias (Ambarita dkk., 2024; Salsabila dkk., 2025). Jarang sekali kita melihat perempuan ditampilkan sebagai pakar independen di bidang infrastruktur atau keamanan negara.
  2. Stereotip yang Susah Dihilangkan
    Kita tahu banyak perempuan hebat, tapi media lebih suka mengasosiasikan perempuan dengan urusan domestik. Kalau ada perempuan yang bersuara keras di politik, cap yang menempel mungkin lebih ke “cerewet” atau “terlalu agresif,” sementara pria dengan nada bicara yang sama akan disebut “tegas” atau “berwibawa.” Representasi wanita dalam media di Indonesia masih terjebak dalam stereotip ini (Watie, 2010).

Keluar dari Kebisuan: Saatnya Bicara dengan Bahasa Sendiri
Media mencerminkan budaya patriarki yang sudah mengakar. Untuk melawan kebisuan ini, kita tidak bisa hanya menunggu belas kasihan kelompok dominan. Kita harus bergerak:

  1. Jadikan Media Sosial ‘Ruang Rapat’ Kita
    Media sosial adalah platform yang paling efektif untuk keluar dari klub eksklusif tadi. Di sini, kita bisa menciptakan hashtag, istilah, dan narasi sendiri. Kita bisa membicarakan isu yang penting bagi perempuan tanpa perlu di-‘izin’-kan oleh media mainstream.
  2. Ayo, Ambil Kursi di Ruang Redaksi
    Perubahan nyata terjadi ketika perempuan menduduki posisi penentu keputusan: Editor, Produser, atau Direktur Media. Ketika meja redaksi diisi oleh perempuan, maka perspektif dan narasumber yang dicari pun akan lebih adil dan seimbang.
  3. Jadi Audiens yang Rewel
    Sebagai konsumen media, kita harus mulai ‘rewel’. Setiap kali melihat ketimpangan, kita wajib bertanya, “Kenapa narasumbernya laki-laki semua?” Kritik kita, sekecil apapun, akan memaksa media untuk lebih peka.
Berita Terkait :  Dukung Swasembada Pangan, Bappeda Nganjuk Gandeng FKP Unesa Ciptakan Teknologi GIS

Mengakhiri kebisuan ini adalah tugas bersama. Selama kita masih dipaksa bicara dengan bahasa orang lain, selama itu pula kesetaraan gender di ruang publik akan terasa mustahil. Saatnya kita merebut mikrofon dan mendefinisikan suara kita sendiri.

—————- *** ——————-

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow

Berita Terbaru