25 C
Sidoarjo
Friday, December 5, 2025
spot_img

Dinsos PPPA Kabupaten Nganjuk, Media dan Luntas Sektor Ajak Lindungi Perempuan serta Anak

DPRD Nganjuk, Bhirawa
Setiap laporan kekerasan terhadap perempuan dan anak di Nganjuk menyimpan satu pola yang sama: korban datang dalam keadaan takut, bingung, dan sering kali sendirian.

Namun di balik laporan itu, seharusnya ada tiga benteng pelindung yang siap menampung dan menegakkan hak korban UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA), Unit PPA Satreskrim Polres Nganjuk, serta para psikolog dan aktivis seperti LPP Geofira.

Awal Januari 2025, UPTD PPA Kabupaten Nganjuk resmi beroperasi.

Dinas Sosial PPPA menyebut lembaga ini sebagai “pelayanan terpadu” bagi korban kekerasan, diskriminasi, atau masalah sosial lain. Untuk itu Dinsos PPPA bersama media dan lintas sektor mengadakan acara dengan tema perlindungan perempuan dan anak.

Kegiatan tersebut dibuka langsung oleh Bupati Nganjuk, Marhaen Djumadi, yang dalam sambutannya menekankan pentingnya sinergi lintas sektor dalam melindungi dan mencegah kekerasan terhadap perempuan dan anak dari berbagai bentuk kekerasan dan eksploitasi di pendopo KRT Sosro Koesumo, Selasa (21/10/2025).

“Saya harap melalui forum ini dapat terjalin sinergi lintas sektor dalam pencegahan maupun penanganan kasus, sehingga setiap lembaga dapat menjalankan perannya secara optimal dan saling melengkapi,” ujar Kang Marhaen.

Namun, Kepala Dinas Sosial PPPA Haris Jatmiko tak menutup mata: hingga kini belum ada kepala UPTD definitif. Tugas sementara masih diemban oleh Kabid PPA, sementara tenaga psikolog, konselor hukum, dan pekerja sosial diperkuat lewat kerja sama dengan RSUD Nganjuk, Yayasan Mutiara Hati, dan Law Firm Prayoga.

Berita Terkait :  DPRD Gresik Sosialisasikan Perda Pengelolaan Zakat, Infaq dan Sedekah

“Kami sudah berjalan penuh sejak Januari. Tapi struktur dan SDM-nya masih bertahap. Beberapa fungsi kami topang lewat MoU lintas instansi,” ujar Haris dalam acara 21 Oktober 2025.

Sepanjang triwulan III 2025, UPTD PPA telah menangani puluhan kasus kekerasan perempuan dan anak. Namun belum semua korban bisa mendapat layanan psikologis cepat, sebab tenaga konselor dan shelter sementara masih terbatas.

Mereka kini mengandalkan hotline 0852-3577-2020, yang aktif hampir tanpa jeda. Di sisi penegakan hukum, Unit PPA Satreskrim Polres Nganjuk mencatat 92 kasus kekerasan perempuan dan anak hingga 20 Oktober 2025.

Dari kasus-kasus itu, sebagian besar melibatkan kekerasan seksual terhadap anak dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Materi resmi Polres mengutip berlapis undang-undang: UU Perlindungan Anak, UU PKDRT, UU TPKS, hingga KUHP tentang kekerasan umum.

Namun dalam praktiknya, persoalan tak sesederhana teks hukum. “Banyak korban yang akhirnya mencabut laporan karena tekanan keluarga, atau karena pelaku adalah orang dekat,” ungkap salah satu penyidik Unit PPA, dengan nada letih.

Koordinasi dengan UPTD PPA mulai diperkuat tahun ini, terutama dalam pendampingan psikologis dan rujukan hukum.Namun, hubungan antar instansi masih sering tersendat di tahap administrasi dan ego sektoral. Sementara itu, korban terlanjur kelelahan oleh birokrasi yang seharusnya menjadi pelindung.

Di luar struktur pemerintah dan aparat, suara lembut tapi tajam datang dari Riza Wahyuni, psikolog forensik dan Direktur LPP Geofira Konsultan Layanan PPA Jawa Timur.

Berita Terkait :  Guru Kitab di Ambulu Doakan Bupati Jember

Ia menyoroti bahwa akar kekerasan sering kali bukan semata kejahatan individual, tapi warisan budaya patriarki dan bias sosial yang diwariskan turun-temurun.

“Perbedaan gender itu bukan masalah. Tapi jadi masalah ketika melahirkan ketidakadilan,” ujarnya dalam seminar “Peran Media dan Masyarakat dalam Pencegahan Kekerasan Berbasis Gender.”

Riza juga menyoroti peran media: banyak pemberitaan masih menyalahkan korban (victim blaming), menyorot pakaian, perilaku, atau latar pribadi korban alih-alih mengulas sistem yang gagal melindungi mereka. Padahal media seharusnya menjadi pengawal empati dan “pendorong keadilan”.

“Jurnalis, masyarakat, dan lembaga layanan harus jadi mata rantai yang saling menguatkan, bukan saling melempar tanggung jawab,” tambahnya.

Dalam teori, ketiga poros ini, UPTD, Polres, dan lembaga psikolog seharusnya bisa berjalan dalam satu garis: UPTD menerima aduan dan memberi pendampingan sosial, Polres menindak dengan hukum, dan lembaga profesional serta media mengedukasi publik.

Nganjuk sesungguhnya sedang belajar membangun ekosistem perlindungan sosial yang manusiawi. Di satu sisi ada niat baik pemerintah daerah membentuk UPTD PPA, di sisi lain ada aparat penegak hukum yang mulai membuka diri pada pendekatan psikososial.

Dan di tengahnya, ada masyarakat dan media yang mulai berani bicara lebih lantang tentang kekerasan, tanpa takut mengusik kenyamanan budaya lama.

“Jangan lelah melakukan kebaikan, karena kebaikan itu sejatinya kembali kepada diri kita,” tutup Riza Wahyuni, kalimat sederhana yang terasa seperti doa untuk sistem yang sedang berproses. (adv.dro)

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow

Berita Terbaru