Bagai “‘amul huzni,” (bulan kesedihan) pada Oktober 2025, berbagai musibah melanda pesantren. Di dalamnya terdapat santri yang sedang menimba ilmu, membangun moralitas, dan memulai kehidupan mandiri (jauh dari orangtua). Serta, utamanya, “ngalap berkah” kepada kyai pengasuh pesantren. Tanpa “ngalap berkah,” tiada sebutan santri. Tiada pula pesantren. Tetapi sudah menjadi fungsi santri, selalu (wajib) mentaati, dan berjuang sesuai perintah kyai. Walau banyak musuh coba mem-framing negasi, seolah santri bagai diperbudak.
Salah besar! Jika pesantren di-framing perbudakan (dan feodalisme), niscaya pola ke-pesantren-an tidak akan lama bertahan. Sudah tutup sejak abad ke-17. Tetapi di Indonesia, Pendidikan pesantren semakin men-jamur. Kelembagaan pesantren terdeteksi sebanyak 42 ribu lebih lembaga. Sebagian besar tidak melapor ke Kementerian Agama. Bahkan banyak pesantren baru melapor ke Lembaga pemerintahan, ketika santri alumni sudah menjadi pejabat.
Sejak zaman kolonial (penjajahan) pesantren mengambil sikap non-kooperatif. Bahkan secara sistemik melawan walau dengan cara tersembunyi. Pesantren hingga saat ini, tidak meminta upah kepada pemerintah. Namun kini banyak pejabat pemerintahan, birokrasi, pejabat publik (Menteri, Kepala Daerah, serta DPR, dan DPRD) mengaku berbasis pendidikan pesantren. Bahkan Presiden Prabowo Subianto, mengaku pernah nyantri di pesantren Lirboyo (diakui walau sehari).
“Ngalap berkah” menjadi terminologi (dan metodologi) terpenting. Karena seluruh santri menjadi anak ideologis kyai. Bahkan bermakna menjadi anak yang sesungguhnya. Karena seluruh aspek pengasuhan, pendidikan, kehidupan (termasuk makan, dan pengobatan) setiap detik selama 24 jam, diserahkan kepada kyai. Sebanyak 99,999% santri kerasan tinggal di pesantren. Pantang pulang.
Maka seluruh santri, termasuk yang telah menjadi pejabat tinggi, sangat kecewa (marah) manakala kyai dinista. Seperti terjadi pada acara Xpose Uncensored Trans7. Wajar santri bertekad menuntaskan kasus pelanggaran terhadap UU Penyaiaran, ke Pengadilan. Santri yang kini menjadi Polisi, dan Hakim, juga sudah siap menunggu kasus dilimpahkan. Begitu pula ketika musibah di pesantren Al-Khoziny, didorong “wajib” berlanjut ke penyidikan Polisi. Segenap santri sudah siap.
Menghadapi masalah penyidikan Kepolisian, dan peyiaran genre infotainment tv, hanya sekadar masalah kecil. Tidak mempengaruhi kehidupan santri, dan ke-pesantren-an. Problematika yang lebih besar telah pernah diselesaikan oleh santri bersama seluruh kyai. Yakni, Perang Sabil, jihad fi sabilillah, 10 November 1945, diawali dengan fatwa Resolusi Jihad. Fatwa Resolusi Jihad, menjadi strategi awal mengobarkan perang besar. Tujuannya, mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan RI yang tidak diakui Belanda.
Bahkan berdasar kesepakatan Wina (tahun 1938), Indonesia bisa dijajah kembali, setelah Jepang kalah perang. Sehingga setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Belanda merasa “memiliki” kembali Indonesia. Beberapa keturunan Belanda di berbagai daerah, mulai menguasai kembali gedung-gedung pemerintahan. Masyarakat resah, karena tidak ingin dijajah kembali. Juga disampaikan tekad masyarakat menolak perlucutan senjata oleh tentara Sekutu yang diboncengi NICA (Belanda).
Fatwa jihad di-sosialisasi-kan melalui pengajian di kampung-kampung. Bahwa perang melawan musuh bersenjata, merupakan jihad fardlu ‘ain (berdosa jika tidak turut perang jihad). Resolusi jihad, wajib untuk seluruh rakyat. Resolusi Jihad, disosialisasikan melalui pengajian, sejak hari pertama kali fatwa dinyatakan oleh hadratus syeh kyai Hasyim Asy’ary, pada 22 Oktober 1945. Serta dimuat oleh koran Kedaulatan Rakyat (Yogyakarta) pada 26 Oktober 1945.
Memperingati Hari Santri 2025, memiliki visi “Pengawalan Indonesia Merdeka Menuju Peradaban Dunia.” Santri masa kini harus siaga dengan “perang” lain, dan dengan senjata yang lain pula. Terutama membangun ke-saleh-an sosial pada dunia nyata, dan area digital.
——— 000 ———


