30 C
Sidoarjo
Saturday, December 13, 2025
spot_img

Hilangnya Kendali Kedaulatan atas Arsip Pemilu: Saatnya ANRI Memiliki Daya Paksa

Oleh:
Tidor Arif T. Djati
Pemerhati Kearsipan dan Ketua Asosiasi Arsiparis Indonesia Wilayah Jawa Timur

Di ruang sidang Komisi Informasi Pusat (KIP), Senin, 13 Oktober 2009, seorang pengamat kebijakan publik mengeluarkan pernyataan yang menohok: “ANRI seharusnya memiliki salinan arsip Ijazah Jokowi yang digunakan dalam pemilihan Presiden 2014 dan 2019.” Kalimat itu sekilas terdengar administratif. Tapi kalau didalami, itu sebenarnya peringatan keras terhadap negara karena kehilangan kendali atas ingatannya sendiri. Kalau arsip pemilu 2014 dan 2019 disimpan di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), maka siapa yang sebenarnya berdaulat atas hasil pemilu: negara atau lembaga penyelenggaranya?
Adakah Kedaulatan Arsip?
Kita sering bicara soal kedaulatan pangan, energi, dan teknologi. Jika menyangkut semua kedaulatan tersebut negara dikerahkan untuk memperkuat kedaulatan. Tapi saat menyinggung soal kedaulatan arsip hampir semua lembaga pemerintah/negara berdiam diri. Sebaliknya rakyat justru antusias mendorong adanya kedaulatan arsip. Arsip bukan sekadar tumpukan kertas. Arsip adalah jejak legal dan moral negara. Dari arsip kita tahu siapa yang berkuasa, bagaimana kekuasaan itu diperoleh, bagaimana kekuasaan itu dijalankan, dan apa yang dilakukan rakyat terhadapnya.

Dalam konteks pemilu, arsip-arsip seperti proses pendaftaran calon, penetapan calon, hasil pleno, hingga penetapan pemenang pemilu, adalah arsip vital negara. Semuanya lahir dari proses demokrasi yang konon menjadi “pesta rakyat.” Tetapi setelah pesta usai, jejaknya entah ke mana. KPU sebenarnya telah memiliki Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 17 Tahun 2023 tentang Jadwal Retensi Arsip – yng berlaku juga untuk provinsi dan Kabupeten/Kota. Dalam lampiran Peraturan tersebut, disebutkan bahwa jenis arsip berupa dokumen pendaftaran pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden, meliputi surat pencalonan, pernyataan partai, daftar riwayat hidup, dan visi-misi, dokumen pendaftaran pasangan Calon Kepala Daerah (Gubernur, Bupati, Walikota), Keputusan Penetapan Pasangan Calon dan Nomor Urut memiliki retensi (jangka simpan) 5 (lima tahun), dengan rincian masa aktif 3 tahun, dan masa inaktif 2 tahun, serta berketerangan permanen.

Berita Terkait :  Menunggu Penerapan UU KIA

Berdasarkan retensi dan nasib akhir arsip, maka setelah retensi berakhir, seluruh dokumen wajib diserahkan KPU ke ANRI sebagai arsip statis. Dengan logika ini, arsip pencalonan pemilihan presiden 2014 dan 2019, seharusnya kini sudah berada di bawah pengelolaan ANRI. Kenyataanya ANRI tidak menyimpan dokumen otentik pendaftaran pasangan calon presiden-wakil presiden 2014 dan 2019. Ini berarti proses akuisisi itu mandek, dan negara belum benar-benar berdaulat atas arsip hasil pemilunya sendiri. ANRI yang seharusnya menjadi “museum ingatan negara”, tempat terakhir semua arsip strategis bernaung, akan tetapi masih sebatas pengingat moral tanpa taring hukum. ANRI saat ini hanya bisa menegur, mengimbau, mengawasi, tetapi tidak bisa memaksa. Akibatnya, lembaga-lembaga seperti KPU, yang seharusnya menyerahkan arsip statis setelah masa retensi berakhir, berkilah: “masih diperlukan, nanti saja.” Masalahnya, kata “nanti” dalam bahasa birokrasi dapat berarti “tidak perlu.”

Secara normatif, UU No. 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan sudah memberi ANRI posisi strategis sebagai pembina, pengawas, sekaligus pengendali arsip statis nasional.

Tapi itu berlaku di atas kertas. Tidak ada satu pasal pun yang memberikan daya paksa hukum kepada ANRI ketika lembaga negara menolak menyerahkan arsipnya. Tidak ada otoritas memberikan sanksi administratif, apalagi pidana, untuk pelanggaran akuisisi arsip. Arsip Nasional RI sepertinya harus memiliki daya paksa memeriksa, memanggil, bahkan menuntut lembaga publik yang menahan arsip negara, tanpa alasan tertulis dan dapat dipertanggung jawabkan. Dalam konteks ini seharusnya ANRI tidak hanya “memohon kepada KPU untuk menyerahkan arsip-arsipnya sesuai Jadwal Retensi Arsip.” Tetapi menekan KPU untuk menyerahkan arsipnya. Secara hukum, arsip pemilu adalah arsip negara, bukan milik institusional. KPU hanya produsen, bukan pemilik. Jadi, situasinya ironis: negara yang berdaulat, tapi arsipnya tak berdaulat.

Berita Terkait :  Terpantau Stabil, BPS Kota Madiun Catat Inflasi 0,43 Persen Selama Desember 2024

Andai Arsip Pemilu Hilang?
Kita semua tahu, arsip bukan hanya benda mati. Ia bisa jadi alat verifikasi, alat bukti hukum, bahkan alat politik. Sekeping berita acara pemungutan suara di satu daerah bisa mengubah peta kekuasaan, apalagi di level nasional. Satu dokumen hasil rekap nasional bisa menjadi dasar sengketa di Mahkamah Konstitusi. Nah, bagaimana jika di masa depan ada gugatan serius soal keaslian hasil pemilu, tapi arsipnya tidak bisa ditemukan, atau bahkan sudah “dihapus” atas nama efisiensi digitalisasi? Apakah kita mau mengandalkan “keyakinan” saja tanpa bukti tertulis? Tanpa sistem akuisisi yang kuat, arsip bisa lenyap sebelum sempat menjadi bukti sejarah. Dan ketika arsip lenyap, kebenaran ikut menguap.

Daya paksa bukan berarti ANRI harus berubah menjadi lembaga represif yang suka menyita dokumen. Namun perlu otoritas hukum yang menjamin kepatuhan lembaga negara terhadap sistem kearsipan nasional. ANRI sudah saatnya punya atau bahkan memperkuat hak audit arsip secara nasional, terutama yang bersifat strategis seperti arsip pemilu, arsip bersifat strategis, dan arsip kontrak public atau atau yang biasa disebut dengan kategori arsip vital dan arsip terjaga. ANRI juga perlu memilki kewenangan pemeriksaan dan pemanggilan terhadap lembaga yang mangkir dari pengelolaan arsipnya, bukan hanya menilai penyelenggaraannya kearsipannya semata. Jika ANRI selama ini memberikan award pada lembaga yang dinilai mengelola arsipnya dengan baik, maka saatnya pula ANRI memberikan sanksi konkret terhadap lembaga publik yang melakukan mal praktek kearsipan. Misalnya dengan memberikan sanksi tertulis bagi lembaga yang menghambat atu tidak taat dalam penyerahan arsip statis. Dengan begitu, proses akuisisi tidak lagi bergantung pada “niat baik” lembaga pencipta arsip, tapi pada kewajiban hukum yang mengikat.

Peran KPU dalam Menjaga Jejak Demokrasi.
KPU boleh beralasan: arsip pemilu masih dibutuhkan untuk sengketa hasil, audit internal, atau evaluasi penyelenggaraan kearsipannya. Namun apabila retensi sudah mengatur lima tahun, maka KPU dalam UU kearsipan dinyatakan waib menyerahkan ke ANRI secara resmi. Atau, jika masih diperlukan, bisa dibuatkan replika digital untuk kepentingan internal, sementara aslinya diamankan oleh ANRI. KPU juga perlu menyadari, menjaga arsip bukan hanya soal administrasi, tapi soal integritas demokrasi. Setiap lembar dokumen pemilu adalah bukti bahwa rakyat pernah memilih pemipinnya dan negara pernah menghitung dan mengesahkan pemimpinya. Itu bagian dari sejarah bangsa yang tidak boleh hilang atau dihapus di server.

Berita Terkait :  Ketua MPR Peringati Hari Pahlawan: Gunakan Jabatan untuk Kepentingan Rakyat

Untuk jangka pendek ANRI perlu segera mengakuisisi arsip pemilu sesuai JRA. Untuk jangka panjang, pemerintah dan DPR perlu merevisi UU No. 43 Tahun 2009 untuk memperkuat fungsi pengawasan ANRI, bukan hanya pembinaan. Jika mungkin perlu dibentuk lembaga pendukung baru, semacam Lembaga Verifikasi dan Autentikasi Dokumen Negara (LVADN), yang fokus memverifikasi dan autentikasi keaslian dokumen publik strategis, termasuk arsip pemilu, ijazah pejabat negara lainnya. Lembaga ini bisa bekerja di bawah koordinasi ANRI, dengan dukungan arsiparis profesional yang berfungsi sebagai auditor dokumen negara.

Negara tanpa ingatan adalah negara yang labil. Arsip adalah ingatan kolektif bangsa. Ia tidak boleh ditukar dengan kepentingan politik jangka pendek. Jika ANRI tidak diberi daya paksa, maka ingatan negara akan terus bergantung pada ‘kemurahan hati’ lembaga lain. Dan di situlah, kedaulatan arsip benar-benar hilang. Negara bisa kehilangan uang dan masih bisa bangkit. Tapi kalau negara kehilangan arsip, akan hilang jejak sejarah, kebenaran, jati diri bangsa dan kepercayaan publik. Jadi, sebelum kita sibuk membahas siapa yang menang di pemilu berikutnya, mungkin ada baiknya kita bertanya dulu apakah negara ini masih punya kedaulatan arsip dan ingatan tentang pemilu yang lalu?

———— *** ————–

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow

Berita Terbaru