Oleh :
Umar Sholahudin
Dosen Sosiologi Politik FISIP Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
Perubahan global telah menuntut semua negara, termasuk Indonesia untuk melakukan pembenahan-pembenahan dalam tata kelola pemerintahannya. Salah satu yang sudah menjadi agenda global dalam arus perubahan tersebut adalah reformasi birokrasi, yang di dalamnya adalah agenda reformasi pelayanan publik. Sebuah birokrasi modern sebagaimana yang diungkapkan bapak birokrasi modern, Max Weber, harus adaptif dan responsif terhadap terhadap perubahan dan tuntutan zaman. Usia sebuah birokrasi pemerintah daerah harus jauh lebih panjang dari usia manusia. Usia manusia boleh berhenti, namun usia birokrasi pemerintah tidak boleh berhenti.
Gerak reformasi sudah berjalan 27 tahun. Ada perubahan yang cukup mendasar dalam kehidupan berpolitik dan berdemokrasi kita. Namun, ada satu aspek yang belum tersentuh secara mendasar oleh arus reformasi, yakni reformasi birokrasi. Reformasi biroksai bergeraknya bagaikan kura-kura, sangat lambat. Dan bahkan ada yang menilai stagnan. Belum ada perubahan yang signifkan dalam tubuh birokrasi kita. Harapan akan lahirnya pemerintahan yang bersih dan berwibawa, bebas KKN; masih utopia.
Keinginan akan lahirnya birokasi yang bersih dan sehat sangat logis, mengingat birokrasi di Indonesia telah mengalami distorsi yang cukup parah setelah republik ini berdiri. Baik dibawah pemerintahan Soekarno, Soeharto, Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono, Jokowi, sampai pada Prabowo Subianto sekarang ini. Birokrasi belum berperan dan berfungsi seperti halnya birokrasi di negara maju dan demokratis. Bahkan mantan Presiden Megawati Sukarnoputri pernah menyebut birokrasi kita sebagai birokrasi keranjang sampah.
Munculnya berbagai kasus korupsi di tubuh birokrasi yang melibatkan para pejabat yang saat ini terkuak dan diungkap pihak kepolisian dan kejaksaan dapat dikatakan sebagai “buah” warisan birokrasi orde baru yang masih tumbuh subur dalam tubuh birokrasi.
Wajah Birokrasi
Beberapa ciri birokrasi yang genuk strukturnya, tapi miskin fungsi ditandai mekanisme kerja yang tidak efisien, jumlah pegawai yang berlebihan, proses pelayanan yang lamban, tidak modern atau ketinggalan jaman, sering menyalahgunakan wewenang, tidak tanggap atas keragaman kebutuhan dan kondisi daerah setempat. Obesitas birokrasi bagaikan orang gemuk dengan kolesterol tinggi; obesitas potensi penyakitnya lebih besar, lambat dalam berlari karena memang keberatan badan, dan kalau bersaing lari misalnya pasti kalah. Jangankan untuk lari, berjalan saja seperti kura-kura yang jalannya sangat lambat. Dan butuh biaya besar untuk membiayai penyakit akibat obesitasnya itu. Itulah wajah birokrasi kita saat ini.
Sebagaimana birokrasi yang dikonsepkan oleh Weber, bahwa birokrasi merupakan prasyarat bagi pembangunan ekonomi dan upaya menciptakan industri yang modern. Birokrasi yang modern memperlihatkan adalah birokrasi yang mempunyai struktur yang efektif tetapi efisien, meskipun sedikit struktur tetapi kaya fungsi. Artinya, diwujudkan birokrasi yang ramping tetapi sehat, dan bukan birokrasi yang gemuk (obesitas) tetapi berpenyakitan.
Kita mungkin bisa belajar dari pengalaman negara-negara maju yang menerapkan sistem birokrasi modern. Seorang kepala daerah atau gubernur baik di tingkat propinsi atau kota tidak harus memiliki gedung atau kantor yang begitu besar dan mewah, dengan jumlah pegawai ribuan. Mereka hanya membutuhkan kantor sederhana dan cukup representaif. Yang lebih ditekankan dan diutamakan adalah penerapan teknologi informasi (IT) yang modern dan canggih dalam kerja birokrasinya. Dengan penerapan IT ini, roda pemerintahan dapat dijalankan dengan baik, efektif, efisien dan produktif.
Berbasis IT
Tata Kelola data pemerintahan berbasis Teknologi Informasi telah dimulai dengan keluarnya kebijakan pemerintah melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 95 Tahun 2018 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE). Pemerintah mewajibkan seluruh lembaga untuk menerapkan Sistem tata Kelola Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE), yang biasa dikenal sebagai e-government. Menurut Pasal 1 dalam Perpres Nomor 95 Tahun 2018, Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE), yang disingkat sebagai SPBE, mengacu pada penggunaan teknologi informasi dan komunikasi dalam penyelenggaraan pemerintahan untuk memberikan pelayanan kepada pengguna SPBE yeng lebih mudah, transparan, akuntabel, dan accessible.
Kebijakan ini (Perpres) ini kemudian dikembnahkan lebih anjut melalui Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2019 tentang Satu Data Indonesia (SDI). Pasal 1 menyebutkan Satu Data Indonesia adalah kebijakan tata kelola Data pemerintah untuk menghasilkan Data yang akurat, mutakhir, terpadu, dan dapat dipertanggungjawabkan, serta mudah diakses dan dibagipakaikan antar Instansi Pusat dan Instansi Daerah melalui pemenuhan Standar Data, Metadata, Interoperabilitas Data, dan menggunakan Kode Rcferensi dan Data Induk. SDI ini bertujua untuk mengintegrasikan data dari berbagai instansi pemerintah menjadi satu kesatuan data yang terstandarisasi, terpadu, dan mudah diakses. Dengan implementasi SDI, diharapkan akan tercipta ekosistem data yang kokoh dan terpercaya, mendukung pengambilan keputusan yang lebih tepat dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat serta memperkuat tata kelola pemerintahan yang bersih dan berwibawa (clear and clean govermant). Ketersediaan instrumen hukum yang memadai tersebut perlu untuk dijalankan secara konsisten dan berkelanjutan.
Selain penerapan IT yang modern juga dikuti dengan pembangunan dan penyediaan sumber daya manusia (SDM) yang mumpuni; kompenten dan profesional. SDM ini yang akan menjalankan roda pemerintahan dengan IT yang modern. Sehingga pekerjaan bisa dilakukan lebih cepat. Apalagi yang terkait dengan pelayanan publik, akan semakin efektif dan efisien. Dalam praktik birokrasi semacam ini, tidak membutuhkan SDM yang banyak, sedikit tapi memiliki keahlian dan profesionalisme kerja.
Karena itu, jangan heran, jika para kepala daerah di negara-negara maju mengendalikan roda pemerintahannya dari sebuah apartemen dengan ruangn tidak terlalu besar dengan staf yang juga tidak terlalu banyak, tapi disitu sudah dilengkapi dengan berbagai peralatan penunjang kerja yang canggih, yakni IT. Pendek kata, negara-negara maju yang menerapkan birokrasi yang modern setidaknya hanya butuh dua aspek penting, yakni sistem dengan IT-nya dan SDM yang profesional. Birokrasi semacam ini juga tidak terlalu membutuhkan anggaran besar.
Upaya perampingan birokrasi memang sangat diperlukan, namun dibutuhkan upaya-upaya yang lebih sistematis, efektif, antisipatif dan integralistik. Karena persoalan birokrasi bukan sekedar persoalan struktur dan fungsi tetapi juga terkait dengan persoalan perilaku budaya (culture behavior), dan juga penerapan IT dan SDM yang profesional. Dirgahayu Pemerintah Provinsi yang Ke 80, “Jatim Tangguh Dan Terus Tumbuh”. Semoga Birokrasi Pemprov. Jatim semakin tangguh dan terus tumbuh untuk melayani kebutuhan masyarakat dengan prima.
————— *** ——————


