Oleh :
Mukhlis Mustofa
Dosen FKIP Universitas Slamet Riyadi Surakarta Program Studi PGSD dan Konsultan Pendidikan Yayasan Pendidikan Jama’atul Ikhwan Surakarta
Menyikapi Tugas tambahan guru sebagai kepala sekolah ini saya teringat pesan guru saya pakar pendidikan Universitas Sebelas Maret, Almarhum Prof.Dr.Anitah dalam sebuah perkuliahan yakni “Jika Guru hanya berfokus mengajar sambil menanti gaji di akhir bulan maka ia bukanlah guru namun ia hanyalah buruh mengajar”. Walaupun akhirnya dibatalkan, pemberitaan pencopotan kepala sekolah prabumulih 1 Sumatera selatan akibat berkonflik dengan walikota seperti diberitakan di beragam media medio september 2025 memantik beragam keprihatinan edukasi, Fenomena ini pada akhirnya menyadarkan betapa edukasi rentan dicampuri beragam bernuansa politisasi.
Persepsi ini secara tidak langsung memposisikan edukasi Sekedar Ritual atau energi total membangun negeri. Ekspektasi liar selayaknya memposisikan perlakukan pada pendidikan kita. Hakikat pendidikan sebuah Negara menunjukkan bagaimanakah habit pendidikan sebuah negeri. Memperbincangkan pendidikan di negeri ini laksana tamasya di negeri antah berantah tidak ubahnya masuk kotak Pandora tiada ujung. Permasalahan pendidikan negeri ini teramat kompleks dan menumbuhkan apatisme dibandingkan optimisme menatap masa depan.
Ditengah negeri penuh slogan pendidikanpun terlampau berat menyandang beban. Kaum penghamba kekuasaan menyerukan semboyan pendidikan adalah parameter kemajuan suatu bangsa, disisi lain kaum oportunistik mempertontokan betapa bonus demografi tahun 2045 akan menjadikan bangsa ini sedemikian kuat dengan produktifitas tinggi dan tentunya menggunakan kurikulum terkini. Bukannya pesismis menghadapi masa depan pendidikan namun tanpa disadari beban pendidikan sedemikian menggurita seakan patah tumbuh hilang berganti bahkan analoginya belum patah maka tuntutan berganti lebih mengemuka.
Pendidikan keteladanan
Perspektif pendidikan tidak menemukan telaah komprehensif dan mengakibatkan semua pihak merasa mahir untuk mengkritisi pendidikan tanpa melihat ekses berkepenjangan di masa mendatang. Peradaban pendidikan di negeri ini sedemikian banal sehingga permasalahan kuman menggurita layaknya gajah besar dengan permasalahan semakin membesar. Hakikat pendidikan sebagai elemen pencerdasan manusia tidak pernah dijabarkan dengan linieritas kebijakan pendidikan dalam segenap aspek terkait. Risalah dari konsepsi pendidikan sepeti ditawarkan Ki Hajar Dewantara menekankan aspek keteladanan sebagai hakikat pokok pencerdasan tidak pernah dieksplorasi menyeluruh dan pada akhirnya mempengaruhi kejumudan kebijakan pendidikan bersangkutan.
Permasalahan ini kian pelik mengingat mengelola pendidikan tidak ubahnya mengelola isi kepala manusia tidak semata-mata menghasilkan produk kasat mata. Pengelolaan pendidikkan selama inipun tidak menunjukkan betapa peradaban manusia dijunjung sesuai harkat dan martabatnya. Pengambil kebijakan tidak mempertontonkan bagaimana pencerdasan anak bangsa ini diberlakukan namun mengambil perspektif mentalitas industrialis penuh nuansa kapitalis.
Berpijak tulisan donie koesoema di beberapa opini HU Kompas bahwa pengelolaan pendidikan konteks kekinian lebih mengedepankan mentalitas pabrik akan terlihat sedemikan nyata dalam kebijakan pendidikan di negeri ini. Pabrikisasi siswa terjadi sedemikian massif dan perspektif publik tergiring bertahun – tahun tanpa ada upaya mengkritisinya. Keberadaan standar nilai kelulusan baik pada penilaian harian hingga tingkatan Ujian Nasional membuktikan betapa pabrikisasi ini telah berlangsung akut. Semakin tinggi nilai yang dihasilkan maka semakin tinggi pula kualitas siswa bersangkutan tidak lebih melecehkan siswa dengan mempersamakan benda hidup dengan hasil produksi pabrik.
Minimnya pemahaman keteladanan pendidikan berimbas pula pada pola pengambilan kebijakan pendidikan. Penyelenggara pendidikan tidak ubahnya pada dewa yang hidup diatas langit dan tidak mengetahui bagaimanakah penduduk bumi mengapresiasi keputusan pengambil kebijakan bersangkutan. Dalam beragam aspek ketimpangan layanan pendidikan ini terjadi disebabkan kurang membuminya pengambil kebijakan pada realitas pendidikan secara keseluruhan. Kebijakan pembelajaran, kebijakan keguruan hingga kebijakan penyelenggaraan pendidikan terus menerus diintrepetasikan sebagai guyuran masalah bukanlah anugerah terindah.
Carut marut pembelajaran berbasis penyiapan kurikulum teramat banyak pihak berkepentingan didalamnya sehingga fondasi pencerdasan tidak kunjung terbentuk optimal. Adagium ganti menteri ganti kurikulum digeneralisasi semua pihak dalam penyelenggaraan pendidikan sebagai permasalahan tiada kunjung usai. Dalam sebuah falsafah jawa, Pihak pengguna kurikulum tidak ubahnya wedi-wedi angas disatu sisi penolakan kurikulum terjadi disisi lain perlawaan pada kebijakan tak membumi ini dipengaruhi pragmatisme pengguna pembelajaran dimasa mendatang.
Saya dan beberapa rekan guru dalam forum diskusipun mengkhawatirkan rasional kurikulum lebih menekankan prgamatisme pembelajaran bahkan tidak jarang disusupi penumpang gelap bertajuk politisasi pendidikan. Stigma ini tak pelak harus dikemukanan mengingat beberapa saat silam penetrasi penguasa sedemikian kuat sehingga seluruh elemen masyarakat terlebih pendidikan harus tunduk patuh pada penguasa bersangkutan. Realitas kekinian Kurikulum lebih banyaak menekankan pelajaran apa yang besok masih diajarkan atau penghapusan pelajaran apa sajakah sehingga kurikulum lebih pantas dipandang dan dilihat.
Degradasi keteladanan pendidikan
Imbas penurunan keteladanan pendidikan ini Nampak pula pada kebijakan keguruan,tanpa disadari pengambilan kebijakan keguruan lebih memposisikan guru sebatas komoditas bukannya manusia cerdas. Pengambilan kebijakan keguruan guru tidak ubahnya menjadikan homo homini lupus kalangan guru bersangkutan. Paham mini sempat menghangat menghangat manakala carut marut pun berimbas memperlakukan dosen beberapa bulan terakhir. Guru/Dosen saat ini menjelma sedemikian buas layaknya predator menangkap mangsa sehingga seluruh komponen harus awas meretas. Kebijakan kewajiban guru profesional untuk mengajar 24 jam/pekan menjadikan guru sedemikian banal. Apapun dilakukan asalkan jam mengajar tidak melayang menjadi paradigma guru saat ini.
Parameter apakah yang mendasari besaran jam mengajar hingga 24 jam hanya menjadi pertanyaan mengingat realitasnya kebijakan ini justru memposisikan guru mengalami devide et impera dengan guru lain. Parahnya pengambil kebijakan melaksanakan manajemen mata tertutup padahal jika mau jujur peran guru sebenarnya tidak sebatas aktor mengajar namun memiliki peran agen intelektual.
Kecerdasan mengamati sosial ini sering saya dapati pada beberapa rekan guru yang sangat produktif menulis di beragam media tak kalah dengan beberapa pakar tenar. Namun mudah ditebak ditengah kebijakan keguruan yang masih teramat primordial keberadaan beberapa rekan guru tersebut terkadang tidak mendapatkan tempat semestinya dilingkungannya. Stigma guru pemberontak, guru waton suloyo kerapkali dialamtkan padahal mereka secara tidak langsung menjadi aktor intelektual sebenarnya bukan sekedar penghamba rente semata.
Reposisi pendidikan sebagai usaha sadar pencerdasan anak bangsa selayaknya dilaksanakan dengan penuh perhitungan mengingat permasalahan pendidikan hanya akan dapat diselesaikan pribadi yang memiliki kepedulian memadai pada pencerdasan negeri. Usaha sadar disertai langkah nyata dan linier dengan konteks kekinian akan menciptakan humanisasi pendidikan dan tidak melebarkan ilusi pendidikan tak terselesaikan. Pendidikan dalam konteks kekinian selayaknya mampu mencerdaskan semua pihak didalamnya dengan melibatkan seluruh komponen pendukung secara optimal. Pelibatan aktif semua pihak dalam Pendidikan menjadikan humanisasi Pendidikan bukanlah impian hujan di musim kemarau.
Peran sentral pendidikan dalam pengembangan pembangunan berkelanjutan menjadikan pengambilan kebijakan pendidikan di negeri ini haruslah mengedepankan seluruh potensi didalamnya tanpa terkecuali. Kepala sekolah bukanlah jabatan segalanya namun jabatan peneguhan integritas, sekolah. Hakikat jabatan Kepala sekolah sebagai tugas sampiran seorang guru patut menjadi refleksi jabatan kepala sekolah selama ini.
———— *** ————–


