Surabaya, Bhirawa
Perseteruan antara Bupati Sidoarjo Subandi dan Wakil Bupati Mimik Idayana terkait mutasi aparatur sipil negara (ASN) mendapat sorotan tajam dari pakar politik.
Pengamat Politik Universitas Trunojoyo Madura (UTM), Surokim Abdussalam, menilai konflik terbuka antarpimpinan daerah tidak pantas dipertontonkan ke publik.
“Tugas kepala daerah dan wakil itu berat, jangan ditambahi dengan konflik individual internal seperti ini. Mereka dipilih dalam satu paket, harusnya seperti sayap kanan kiri yang saling mendukung, bukan saling meniadakan,” ujar Surokim saat dikonfirmasi Bhirawa, Selasa (23/9).
Menurut Surokim, banyak kepala daerah tidak menyadari bahwa masa jabatan mereka terbatas. Jika energi habis untuk konflik, mereka justru gagal meninggalkan legacy positif dan hanya dikenang publik karena pertikaian.
“Hal seperti ini sering menghambat kinerja pemda dan bisa mematik potensi kubu-kubuan di internal aparatur. Itu berbahaya bagi soliditas pemerintahan. Jangan sampai rakyat hanya dirasani buruk karena kepala daerah dan wakilnya tidak akur,” tegasnya.
Ia pun menyarankan agar kedua pimpinan segera duduk bersama, membangun komunikasi, saling respek, dan fokus pada agenda besar untuk masyarakat.
“Kalau mau terbuka dan saling memahami, pasti ada jalan keluar,” tambahnya.
Ketegangan ini mencuat setelah Bupati Subandi melantik 61 ASN pada Rabu (17/9/2025). Wabup Mimik menilai langkah tersebut menyalahi kesepakatan awal yang hanya mencakup 31 ASN.
Sebagai pengarah Tim Penilai Kinerja (TPK), Mimik merasa tidak dilibatkan secara penuh. Ia bahkan telah mengirim surat klarifikasi sehari sebelum pelantikan, namun tetap saja mutasi berjalan.
“Mutasi ini tidak objektif karena ada ASN berprestasi justru tidak dilantik. Mekanisme ini melanggar PP tentang Penilaian Kinerja PNS dan UU Sistem Merit,” jelas Mimik, Minggu (21/9/2025).
Menanggapi hal tersebut, Bupati Subandi mengaku tidak mempermasalahkan rencana pelaporan wakilnya ke Kemendagri. Ia menegaskan bahwa proses mutasi sudah sesuai aturan dan telah mendapat persetujuan Badan Kepegawaian Negara (BKN).
“Mutasi ini dilakukan dengan sistem terbaru, IMUD. Semua sudah melalui TPK dan PPK, serta dinyatakan sah oleh BKN. Kalau masih ada yang kurang puas, silakan saja,” kata Subandi.
Ia juga menepis isu jual beli jabatan. “Kami terbuka, tidak ada masalah. Tidak ada praktik jual beli jabatan,” pungkasnya.
Menurut Surokim, kasus di Sidoarjo ini seharusnya menjadi pelajaran bagi kepala daerah lain di Indonesia. Hubungan harmonis antara bupati dan wakil bupati bukan hanya soal etika, tapi juga menyangkut efektivitas pemerintahan dan kepercayaan publik.
“Kalau energi dihabiskan untuk konflik, rakyat yang jadi korban. Yang dibutuhkan justru kolaborasi menghadapi tantangan pembangunan, bukan rebutan di dalam,” tandasnya. (geh.dre)


